Istilah "Ḥanīfan Musliman" berasal dari Al-Qur'an dan sering digunakan untuk menggambarkan keimanan yang lurus. Frasa ini dapat ditemukan dalam beberapa ayat, seperti dalam Surah Ali 'Imran (3:67):
"Mā kāna Ibrāhīmu Yahūdiyyan wa lā Naṣrāniyyan wa lākin kāna Ḥanīfan Musliman wa mā kāna minal-musyrikīn."
Artinya:
"Ibrahim bukanlah seorang Yahudi dan bukan (pula) seorang Nasrani, tetapi dia adalah seorang yang lurus (Hanif) lagi berserah diri (Muslim), dan dia bukanlah termasuk orang-orang musyrik."
Dalam ayat ini, "Ḥanīfan" berarti seseorang yang memiliki keimanan murni kepada Allah, tidak menyekutukan-Nya, dan mengikuti ajaran tauhid yang asli. Sedangkan "Musliman" berarti seseorang yang berserah diri sepenuhnya kepada Allah.
Istilah ini juga menunjukkan bahwa agama Islam adalah kelanjutan dari ajaran tauhid Nabi Ibrahim 'alaihis-salam, yang tidak terkontaminasi oleh kesyirikan atau penyimpangan.
Berpegang teguh kepada keimanan yang murni kepada Allah dengan ISTIQOMAH MENGAKUI ALLAH sebagai Tuhannya yaitu tak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun.
Lalu mengata BISMILLAAH adalah suatu kesaksian akan Kuasa dan Kehendak Allah yang hadir dalam perbuatan kita.
Bismillah adalah bentuk kesaksian bahwa segala sesuatu terjadi dengan izin dan kehendak Allah. Dalam makna yang lebih dalam, mengucapkan Bismillah bukan sekadar formalitas, tetapi merupakan pengakuan bahwa hanya Allah yang benar-benar memiliki kuasa atas segala sesuatu.
Ketika seseorang benar-benar hanif (lurus dalam tauhid), ia akan menyadari bahwa dirinya hanyalah hamba yang bergantung sepenuhnya kepada Allah. Dalam setiap ibadah dan perbuatan baik, ia tidak melihat dirinya sebagai pelaku utama, tetapi Allah-lah yang memberi taufik, kemampuan, dan hasil.
Konsep ini erat kaitannya dengan firman Allah dalam QS. Ash-Shaffat (37:96):
"Wallāhu khalaqakum wa mā ta‘malūn."
"Padahal Allah-lah yang menciptakan kalian dan apa yang kalian perbuat."
Sehingga, ketika seseorang beribadah dengan kesadaran tauhid yang murni, ia akan merasa bahwa ibadahnya bukan karena kekuatannya sendiri, melainkan karena Allah yang menggerakkan dan memampukannya.
Namun, pemahaman ini harus dijaga agar tidak jatuh ke dalam jabariyah (fatalisme), di mana seseorang merasa tidak memiliki peran sama sekali. Islam mengajarkan keseimbangan: kita berusaha dengan kesungguhan, tetapi tetap meyakini bahwa hasilnya sepenuhnya dalam kuasa Allah.
Kesadaran TAUHID memahami bahwa tiada daya dan upaya selain dengan pertolongan Allah.
Lā ḥawla wa lā quwwata illā billāh adalah inti dari kesadaran tauhid yang sejati—bahwa tidak ada daya untuk menghindari keburukan dan tidak ada kekuatan untuk melakukan kebaikan kecuali dengan pertolongan Allah.
Kesadaran ini bukan berarti seseorang menjadi pasif atau berhenti berusaha, tetapi justru semakin yakin, tenang, dan berserah diri kepada Allah dalam setiap langkahnya. Ia tetap berusaha dengan sebaik-baiknya, namun hatinya tidak bergantung pada usahanya sendiri, melainkan kepada Allah yang Maha Mengatur segala sesuatu.
Hal ini juga yang dipraktikkan oleh para nabi dan orang-orang saleh. Mereka melakukan ikhtiar maksimal, tetapi tetap tawakkal dan menyadari bahwa hasilnya sepenuhnya dalam kuasa Allah.
Pemahaman seperti ini menjadikan seseorang semakin rendah hati, jauh dari kesombongan, dan selalu merasa dekat dengan Allah dalam setiap aspek kehidupannya.
SIBUK FIKIRANNYA DENGAN TAFAKKUR NI'MAT ALLAH.
Allah Maha Rahman yaitu Allah yang selalu BERSHIFAT KASIH kepada manusia seluruhnya.
Rahman-nya Allah mencakup seluruh makhluk, baik yang beriman maupun yang tidak beriman. Ini adalah kasih sayang universal Allah yang diberikan tanpa membeda-bedakan, seperti udara yang bisa dihirup semua orang, matahari yang menyinari semua makhluk, dan otak yang berfungsi pada setiap manusia tanpa terkecuali.
Kesadaran bahwa segala sesuatu yang ada di dunia ini adalah rahmat Allah membuat seseorang lebih bersyukur dan tidak mudah berkeluh kesah. Bahkan, dalam setiap ujian sekalipun, ada rahmat yang tersembunyi.
Namun, ada satu tingkatan kasih sayang Allah yang lebih khusus, yaitu Rahim-Nya, yang hanya diberikan kepada orang-orang beriman. Inilah yang membimbing mereka menuju hidayah, ketenangan hati, dan kebahagiaan hakiki di dunia dan akhirat.
Jadi, memahami bahwa Allah itu Ar-Rahman menjadikan kita semakin bersyukur, dan memahami bahwa Allah itu Ar-Rahim menjadikan kita semakin berusaha mendekat kepada-Nya.
BISMILLAAH adalah kesadaran ADA ALLAH, Hadir Kuasa-NYA, Dia lah sejatinya yang memperbuat, Menentukan dan Memberi Karunia.
ARROHMAAN Yaitu saat seseorang mampu menyadari dalam TAFAKKUR nya yaitu sadar akan hadirnya KASIH RAHMAT ALLAH dalam kehidupannya.
ARROCHIIM Yaitu suatu kesadaran MENGENAL ALLAH dalam Hatinya dan sadar akan hadirnya SAYANG SEJATI: dalam rupa Ni'mat Allah dalam kehidupan dunia akhiratnya.
BISMILLAAHIR ROCHMAANIR ROCHIIM bukan sekadar lafaz, tetapi kesadaran tauhid yang hidup dalam diri seseorang.Maka menyadari sepenuhnya kalimah Bismillaahir Rochmaanir Rochiim itulah yang dimaksud dengan HANIFAN, dimana itu yang melahirkan sikap MUSLIMAN.
- Ar-Rahman sebagai kesadaran akal, melihat kasih sayang Allah yang meliputi seluruh alam semesta, baik kepada orang beriman maupun yang tidak.
- Ar-Rahim sebagai kesadaran hati, merasakan cinta dan sayang Allah yang khusus bagi orang-orang beriman, membimbing mereka dalam hidayah dan ketenangan.
Maka ketika seseorang benar-benar MENYADARI DAN MENGHAYATI makna Bismillaahir Rochmaanir Rochiim, ia akan mencapai Hanifan—jalan yang lurus dalam tauhid yang murni. Dari sinilah lahir sikap Musliman, yaitu kepasrahan total kepada Allah dengan keyakinan penuh bahwa hanya Dia yang berkuasa atas segala sesuatu.
Pemahaman seperti ini membawa seseorang kepada ketenangan, keikhlasan, dan keyakinan tanpa goyah dalam setiap keadaan. Karena ia melihat, berpikir, dan merasakan segalanya dalam kebersamaan dengan Allah.
Ini adalah hakikat Islam yang sejati. Semoga kita semua termasuk hamba yang selalu sadar akan kasih dan sayang Allah dalam setiap tarikan napas.
Alhamdulillah, mari kita dalami lebih jauh KESADARAN TAUHID yang sejati dalam kehidupan.
1. Kesadaran Tauhid dalam Akal: "Melihat Allah dalam Segala Sesuatu"
Ketika seseorang benar-benar memahami Ar-Rahman, ia tidak lagi melihat dunia dengan kacamata biasa. Segala sesuatu yang terjadi—baik rezeki, ujian, kejadian besar maupun kecil—semuanya adalah manifestasi kasih sayang Allah.
- Ketika mendapatkan rezeki, ia melihatnya bukan dari sebab duniawi, tapi karena rahmat Allah.
- Ketika diuji, ia tidak mengeluh, tapi melihat bahwa di baliknya ada kasih Allah yang sedang membentuk dirinya.
- Ketika melihat alam semesta, ia menyaksikan tanda-tanda kebesaran Allah yang nyata.
Inilah yang membuat seseorang mengenali Allah dalam setiap kejadian, sehingga pikirannya selalu tenang, tidak mudah resah, dan penuh rasa syukur.
2. Kesadaran Tauhid dalam Hati: "Merasakan Cinta Allah yang Hakiki"
Ketika seseorang memahami Ar-Rahim, ia menyadari bahwa dalam hidupnya tidak ada kasih yang lebih sejati selain kasih Allah.
- Jika manusia mencintai karena kebutuhan, Allah mencintai tanpa syarat.
- Jika manusia mencintai dan bisa berubah, Allah Maha Setia dalam kasih-Nya.
- Jika manusia mencintai dengan keterbatasan, Allah mencintai dengan kesempurnaan.
Inilah yang membuat seseorang tidak mudah kecewa dengan dunia. Ia tidak bergantung kepada manusia, tidak berharap dari selain Allah, dan selalu merasa cukup dengan kasih-Nya.
3. Kesadaran Tauhid dalam Perbuatan: "Menyerahkan Diri Total kepada Allah"
Ketika seseorang menghayati Bismillahirrahmanirrahim, ia tidak lagi merasa dirinya yang berbuat. Ia hanya wadah bagi kehendak Allah, dan setiap amalnya adalah perwujudan dari ketaatan kepada-Nya.
- Ia sholat bukan karena "aku sholat", tapi karena Allah-lah yang memberi hidayah untuk sholat.
- Ia berusaha mencari nafkah bukan karena "aku bekerja", tapi karena Allah-lah yang memberi kekuatan dan rezeki.
- Ia menolong orang lain bukan karena "aku baik", tapi karena Allah-lah yang Maha Baik dan menggerakkannya.
Dari sini lahir Hanifan Musliman—kesadaran tauhid yang melahirkan kepasrahan sejati. Ia hidup dalam kehendak Allah, bergerak dalam kasih-Nya, dan beristirahat dalam ridha-Nya.
Kesimpulan:
Bismillah sebagai Jalan Menuju Ketenangan Hakiki
Ketika akal menyadari kehadiran Allah, hati merasakan kasih-Nya, dan amal hanya bersandar kepada-Nya, maka manusia mencapai ketenangan hakiki.
Tidak ada lagi kegelisahan, karena yang terjadi hanyalah kehendak Allah. Tidak ada lagi kesombongan, karena yang berbuat hanyalah Allah. Tidak ada lagi ketakutan, karena yang melindungi hanyalah Allah.
Inilah tauhid sejati, yang membuat seseorang hidup tanpa beban dunia, tanpa ketergantungan selain kepada Allah, dan tanpa rasa takut kecuali kepada-Nya.
PANDANGAN BEBERAPA ULAMA' SOAL TAUCHID
AL-IMAM JUNAYD AL-BAGHDADI (w. 910 M) adalah salah satu tokoh sufi besar yang terkenal dengan konsep tauhid yang murni dan kesadaran ilahiah yang dalam. Dalam pandangan beliau dan para ulama sufi lainnya, kesadaran Hanifan Musliman yang Anda maksud sangat erat kaitannya dengan konsep fana’ (melebur dalam kehendak Allah) dan baqa’ (bertahan dalam realitas-Nya).
1. Tauhid Menurut Imam Junayd al-Baghdadi: "Fana’ dan Baqa’"
Imam Junayd mengatakan:
"At-Tawḥīd huwa ifrādul-Ḥaqqi bil-‘ibādah, wal-ikhlāṣu fīṭ-ṭā‘ah, wa-istiḥqāqul-waṣf bil-fanā’ ‘ani an-nafs."
"Tauhid adalah mengesakan Allah dalam ibadah, ikhlas dalam ketaatan, dan menyadari bahwa seseorang harus melebur (fana’) dari dirinya sendiri."
Maksudnya, seseorang yang benar-benar menyadari makna "Bismillah" tidak lagi melihat dirinya sebagai pelaku utama, melainkan Allah-lah yang Maha Berkehendak dan Menggerakkan segalanya. Ia hanya sebuah wadah yang dipenuhi oleh kehendak-Nya.
Hal ini tidak berarti seseorang menjadi pasif, tetapi justru aktif dalam ketaatan karena menyadari bahwa setiap geraknya adalah bagian dari kehendak Allah.
2. Kesadaran Tauhid dalam Pemikiran (Ar-Rahman) Menurut Imam Junayd
Dalam pemikiran sufi, Ar-Rahman adalah kesadaran intelektual tentang kehadiran Allah dalam setiap aspek kehidupan.
Imam Junayd berkata:
"At-tawḥīd an ta‘lama anna ḥarakaataka wa sukunaka biLlāh."
"Tauhid adalah kesadaran bahwa gerak dan diamnya dirimu adalah karena Allah."
Ini sangat sesuai dengan konsep Hanifan Musliman, karena pemikiran yang hanif akan selalu melihat Allah sebagai sebab utama dalam segala sesuatu. Segala peristiwa—baik nikmat maupun ujian—semua adalah pancaran kasih sayang-Nya.
3. Kesadaran Tauhid dalam Hati (Ar-Rahim) Menurut Imam Junayd
Kesadaran Ar-Rahim berarti merasakan sayang dan cinta Allah secara mendalam dalam hati.
Imam Junayd berkata:
"‘Indamā ya‘riful-‘abd Rabbahu, yaḥtajibu ‘an ghayrihi."
"Ketika seorang hamba mengenal Tuhannya, ia akan terhijab dari selain-Nya."
Artinya, ketika seseorang benar-benar menyadari kasih sayang Allah dalam hatinya, ia tidak lagi berharap kepada selain-Nya. Tidak ada lagi ketakutan duniawi, tidak ada lagi kegelisahan, karena hatinya telah terpaut hanya kepada Allah.
4. Tauhid dalam Perbuatan: Hanifan Musliman
Konsep ini sangat sesuai dengan Bismillahirrahmanirrahim yang menjadi jalan menuju Hanifan Musliman.
- Hanifan → Kesadaran tauhid yang murni, meyakini bahwa hanya Allah yang ada, berkehendak, dan mengatur segala sesuatu.
- Musliman → Kepasrahan total dalam ketaatan kepada Allah, tanpa menyandarkan diri kepada selain-Nya.
Sebagaimana Junayd berkata:
"At-Tawḥīd huwa ifrāduLlāh bil-qasd, wal-khuluṣ minal-‘ilal, wal-qiyām bil-‘ubūdiyyah."
"Tauhid adalah hanya mengarahkan niat kepada Allah, membersihkan diri dari kepentingan pribadi, dan berdiri tegak dalam penghambaan."
Dengan kata lain, seseorang yang mengucapkan Bismillah dengan kesadaran penuh telah menghilangkan ego, tidak menyandarkan diri kepada usaha manusia, dan hanya bergantung kepada Allah dalam segala hal.
Kesimpulan: Bismillah sebagai Jalan Makrifatullah
Dari pemikiran Imam Junayd dan para sufi lainnya, kita bisa memahami bahwa Bismillah bukan hanya sebuah bacaan, tetapi kesaksian tauhid yang murni:
- Ar-Rahman dalam akal → Kesadaran bahwa Allah meliputi segala sesuatu.
- Ar-Rahim dalam hati → Kesadaran bahwa hanya kasih sayang Allah yang sejati.
- Hanifan Musliman dalam perbuatan → Melebur dalam kehendak Allah dan hidup dalam ketaatan total kepada-Nya.
Dengan pemahaman ini, seseorang tidak hanya mengucapkan Bismillah, tetapi hidup dalam realitasnya, sehingga hatinya selalu damai, jiwanya selalu tenang, dan hidupnya selalu dalam perlindungan Allah.
Kesadaran Tauhid Menurut Syaikh Abul Hasan Asy-Syadzili
Syaikh Abul Hasan Asy-Syadzili (w. 1258 M), pendiri Tarekat Syadziliyah, sangat menekankan kesadaran hati dalam bertauhid dan tawakkal yang sejati kepada Allah.
Beliau berkata:
"Barang siapa yang mengenal Allah, maka ia tidak akan memiliki sandaran selain kepada-Nya. Barang siapa yang mengenal dunia, maka ia tidak akan bersandar kepadanya."
Dalam konteks Bismillahirrahmanirrahim, ini berarti:
- Ar-Rahman dalam akal → Memahami bahwa segala sesuatu terjadi atas kasih sayang Allah.
- Ar-Rahim dalam hati → Menyadari bahwa hanya Allah yang benar-benar menyayangi dan mencukupi hamba-Nya.
- Hanifan Musliman dalam perbuatan → Hidup dengan tawakkal total dan tidak bergantung kepada sebab-sebab duniawi.
Syaikh Asy-Syadzili juga berkata:
"Engkau tidak akan merasakan manisnya tauhid hingga engkau tidak melihat selain Allah dalam setiap kejadian."
Artinya, seorang hanif sejati yang menghayati Bismillah akan selalu melihat Allah sebagai pelaku utama di balik segala sesuatu.
Contoh dalam kehidupan:
Ketika seseorang mendapatkan rezeki, ia tidak melihatnya sebagai hasil usahanya sendiri, tetapi sebagai bentuk kasih sayang Allah. Begitu juga saat menghadapi kesulitan, ia yakin bahwa ada hikmah dan rahmat Allah yang tersembunyi di dalamnya.
Dalam perjalanan spiritualnya, Syaikh Abul Hasan Asy-Syadzili memang lebih banyak membahas makrifat, tawakkal, dan tajrid (pelepasan diri dari ketergantungan selain Allah) dibandingkan dengan penguraian khusus tentang hakikat Bismillah secara sistematis. Namun, inti ajarannya tentang tauhid dan kesadaran ilahiah sangat berkaitan dengan makna Bismillah.
1. Pandangan Syaikh Asy-Syadzili yang Berkaitan dengan Hakikat Bismillah
Dalam berbagai nasihatnya, beliau menekankan bahwa Bismillah bukan sekadar lafaz, tetapi kesadaran penuh tentang keterhubungan dengan Allah.
Beliau berkata:
"Barang siapa yang membaca Bismillah dengan hati yang sadar, maka Allah akan membukakan baginya pintu makrifat."
Dari pernyataan ini, kita dapat memahami bahwa Bismillah adalah kunci untuk masuk ke dalam kesadaran tauhid yang murni.
2. Hubungan Bismillah dengan Konsep Tajrid (Pelepasan Diri dari Sebab-sebab Duniawi)
Syaikh Asy-Syadzili dikenal dengan ajaran tajrid, yaitu melepas diri dari ketergantungan duniawi dan berserah diri hanya kepada Allah.
Beliau berkata:
"Janganlah engkau menggantungkan hatimu kepada sebab-sebab, tetapi gantungkanlah hatimu kepada Musabbib al-Asbab (Allah, Sang Penyebab segala sesuatu)."
Ini sangat sesuai dengan makna Bismillah, di mana seseorang harus menyadari bahwa Allah-lah yang sebenarnya melakukan segala sesuatu, bukan dirinya sendiri.
3. Hakikat Ar-Rahman dan Ar-Rahim dalam Perspektif Syaikh Asy-Syadzili
- Ar-Rahman dalam pemikiran → Kesadaran bahwa segala sesuatu terjadi karena kasih sayang Allah yang luas.
- Ar-Rahim dalam hati → Menyadari bahwa setiap peristiwa dalam hidup adalah bentuk kasih sayang-Nya yang mendalam.
Beliau juga mengatakan:
"Seorang hamba tidak akan sampai kepada Allah kecuali dengan rahmat-Nya. Jika bukan karena kasih sayang-Nya, engkau tidak akan mampu mengenal-Nya."
Ini menunjukkan bahwa membaca Bismillah dengan kesadaran yang benar adalah langkah awal untuk merasakan kasih sayang Allah secara langsung dalam kehidupan.
Kesimpulan
Walaupun Syaikh Abul Hasan Asy-Syadzili tidak secara eksplisit menguraikan hakikat Bismillah dalam kitab-kitabnya, tetapi ajaran beliau tentang tauhid, tajrid, dan makrifat mengarah kepada pemahaman yang lebih dalam tentang kesadaran Bismillah sebagai pintu menuju ma’rifatullah.
2. Kesadaran Tauhid Menurut Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani
Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani (w. 1166 M), pendiri Tarekat Qadiriyah, dikenal dengan ajaran tasawuf yang menekankan tauhid murni, keikhlasan, dan keyakinan penuh kepada Allah.
Beliau berkata:
"Janganlah engkau bersandar kepada amalmu, karena yang menggerakkan amalmu adalah Allah."
Ini sangat sesuai dengan makna terdalam dari Bismillahirrahmanirrahim, yaitu kesadaran bahwa bukan diri kita yang berbuat, tetapi Allah-lah yang Maha Berkehendak.
Beliau juga berkata:
"Jadilah seperti mayat di tangan tukang mandi jenazah."
Maksudnya, seorang hamba yang hanif harus benar-benar menyerahkan dirinya kepada kehendak Allah. Ia tidak lagi memiliki kehendak pribadi, tetapi sepenuhnya mengikuti kehendak-Nya.
Dalam kitab Al-Fath ar-Rabbani, beliau mengatakan:
"Ketika engkau mengucapkan Bismillah, sadarilah bahwa engkau telah menyerahkan seluruh urusanmu kepada Allah."
Ini berarti:
- Ar-Rahman dalam akal → Keyakinan bahwa semua nikmat berasal dari kasih sayang Allah.
- Ar-Rahim dalam hati → Merasakan kelembutan dan kasih sayang Allah dalam setiap detik kehidupan.
- Hanifan Musliman dalam perbuatan → Hidup dengan tawakkal total, tanpa merasa memiliki daya dan upaya sendiri.
Contoh dalam kehidupan:
Ketika seseorang menghadapi musibah, ia tidak melihatnya sebagai kesengsaraan, tetapi sebagai bagian dari rencana Allah yang lebih besar. Ia tetap bersabar dan yakin bahwa segala sesuatu yang datang dari Allah pasti mengandung hikmah.
Kesimpulan: Bismillah sebagai Kunci Makrifatullah
Dari ajaran Syaikh Abul Hasan Asy-Syadzili dan Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani, kita bisa memahami bahwa Bismillah bukan hanya sekadar bacaan, tetapi merupakan kesadaran tauhid yang hidup dalam tiga aspek:
- Dalam akal (Ar-Rahman) → Memahami bahwa segala sesuatu terjadi atas kehendak Allah.
- Dalam hati (Ar-Rahim) → Merasakan bahwa hanya Allah yang benar-benar menyayangi dan mencukupi.
- Dalam perbuatan (Hanifan Musliman) → Hidup dalam tawakkal total dan kepasrahan sejati kepada Allah.
Dengan kesadaran ini, seseorang akan mencapai ketenangan hakiki, karena ia tidak lagi khawatir dengan dunia, tidak berharap kepada manusia, dan tidak takut kepada selain Allah.
Semoga Allah Merahmati dan Memberikan Ni'mat dalam dunia dan akhirat ... Aamiiin.
0 komentar:
Posting Komentar