Nabi Yusya' bin Nun ‘alayhis salam disebutkan dalam beberapa kitab Qashash al-Anbiya’ (Kisah Para Nabi), terutama dalam karya Qashash al-Anbiya’ karya Ibnu Katsir dan Qashash al-Anbiya’ karya Abu Ishaq Ats-Tsa'labi. Berikut adalah ringkasan pembahasannya berdasarkan kitab-kitab tersebut:
1. Nabi Yusya' bin Nun dalam Kitab Qashash al-Anbiya’ Ibnu Katsir
Dalam kitab ini, Ibnu Katsir menempatkan Nabi Yusya' bin Nun sebagai pengganti Nabi Musa ‘alayhis salam dalam memimpin Bani Israil memasuki Tanah Suci (al-Ardh al-Muqaddasah). Beberapa poin penting dari kisahnya:
- Pengganti Nabi Musa: Nabi Yusya' adalah murid sekaligus penerus Nabi Musa. Setelah wafatnya Nabi Musa, ia yang memimpin Bani Israil untuk menaklukkan negeri yang dijanjikan (Palestina).
- Mukjizat Matahari Dihentikan: Dalam peperangan melawan kaum yang durhaka, Nabi Yusya' memohon kepada Allah agar matahari berhenti bergerak agar mereka dapat menyelesaikan peperangan sebelum malam tiba. Allah pun mengabulkan doanya.
- Penaklukan Yerikho: Nabi Yusya' berhasil memimpin Bani Israil menaklukkan Yerikho setelah menjalankan perintah Allah, termasuk mengelilingi kota selama beberapa hari.
- Tegas terhadap Pelanggaran Syariat: Dalam kepemimpinannya, Nabi Yusya' menegakkan hukum Allah dengan ketat dan menghukum Bani Israil yang melanggar perintah.
2. Nabi Yusya' bin Nun dalam Kitab Qashash al-Anbiya’ Abu Ishaq Ats-Tsa'labi
Ats-Tsa'labi juga membahas Nabi Yusya' dalam konteks sejarah Bani Israil setelah Nabi Musa:
- Dijadikan Khalifah oleh Nabi Musa: Ketika Nabi Musa hendak wafat, beliau menyerahkan kepemimpinan kepada Nabi Yusya'.
- Diuji dengan Kesabaran: Dalam perjalanannya bersama Nabi Musa mencari Khidhir, Nabi Yusya' diuji kesabarannya dalam memahami ilmu yang diberikan Allah kepada Nabi Khidhir.
- Keberanian dalam Perang: Nabi Yusya' dikenal sebagai pemimpin perang yang gagah berani, dengan ketundukan penuh kepada Allah.
Pelajaran dari Kisah Nabi Yusya' bin Nun
- Kepemimpinan yang Adil: Nabi Yusya' menunjukkan bagaimana seorang pemimpin harus berpegang teguh pada hukum Allah.
- Keimanan dan Tawakal: Doanya yang dikabulkan menunjukkan bahwa seorang nabi memiliki kedekatan luar biasa dengan Allah.
- Kesabaran dalam Mengikuti Ilmu: Kisahnya bersama Nabi Musa menunjukkan pentingnya kesabaran dalam belajar dari guru.
Berikut adalah kutipan dari kitab Qashash al-Anbiya’ karya Ibnu Katsir dan Abu Ishaq Ats-Tsa'labi mengenai Nabi Yusya' bin Nun ‘alayhis salam:
1. Nabi Yusya' bin Nun dalam Kitab Qashash al-Anbiya’ Karya Ibnu Katsir
Dalam Qashash al-Anbiya’, Ibnu Katsir menyebutkan:
وهو يوشع بن نون فتى موسى عليه السلام، وهو الذي استخلفه موسى على بني إسرائيل من بعده، وهو الذي قادهم إلى الأرض المقدسة التي كتبها الله لهم بعد أن امتنعوا من دخولها في حياة موسى عليه السلام، وبقي يحارب أهلها حتى فتحها الله له.
"Dialah Yusya' bin Nun, pemuda yang mendampingi Nabi Musa ‘alayhis salam. Dialah yang menjadi khalifah setelah Nabi Musa atas Bani Israil. Dialah yang memimpin mereka menuju Tanah Suci yang telah Allah janjikan kepada mereka, setelah sebelumnya mereka enggan memasukinya ketika Musa masih hidup. Ia terus berperang melawan penduduknya hingga Allah membukakan negeri itu untuknya."
Ibnu Katsir juga mengutip riwayat dari hadis:
إن الشمس لم تحبس لأحد إلا ليوشع بن نون ليالي سار إلى بيت المقدس
"Sesungguhnya matahari tidak pernah ditahan perjalanannya kecuali untuk Yusya' bin Nun, yaitu pada malam ketika ia berangkat menuju Baitul Maqdis." (HR. Ahmad dan Al-Hakim)
2. Nabi Yusya' bin Nun dalam Kitab Qashash al-Anbiya’ Karya Abu Ishaq Ats-Tsa'labi
Ats-Tsa'labi juga membahas Nabi Yusya' dalam kitabnya:
فلما مات موسى عليه السلام قام بأمر بني إسرائيل بعده يوشع بن نون، وكان قد أوصى إليه موسى بذلك، وكان من صفاته أنه لا يهاب أحدا في الله، وكان شديدا في الحق، فدخل بهم بيت المقدس بعد حروب عظيمة، وأقام بهم على دين التوراة.
"Ketika Musa ‘alayhis salam wafat, Yusya' bin Nun menggantikan kepemimpinan Bani Israil atas perintah Musa sebelumnya. Ia adalah seseorang yang tidak takut kepada siapa pun dalam membela agama Allah, dan ia sangat tegas dalam kebenaran. Ia memasuki Baitul Maqdis setelah melewati banyak peperangan besar dan menetapkan hukum Taurat di kalangan mereka."
Ats-Tsa'labi juga menyebutkan kisah pengembaraan Nabi Musa dan Yusya' saat mencari Nabi Khidhir:
قال يوشع بن نون: لما نسيت الحوت عند الصخرة، كان في البحر سربًا، وكان ذلك من آيات الله لنا
"Yusya' bin Nun berkata: Ketika aku lupa membawa ikan di dekat batu, ternyata ikan itu masuk ke laut dengan cara yang menakjubkan. Itu adalah salah satu tanda dari Allah bagi kami."
Kesimpulan dari Kutipan Kitab
- Ibnu Katsir menekankan kepemimpinan Nabi Yusya' setelah Nabi Musa dan mukjizat matahari dihentikan.
- Ats-Tsa'labi lebih banyak membahas sisi kepemimpinan Nabi Yusya' dan perannya dalam menegakkan hukum Taurat setelah menaklukkan Baitul Maqdis.
Nabi Yusya' bin Nun ‘alayhis salam dalam Perspektif Ketaatan dan Tasawuf
Dalam tinjauan tasawuf, kisah Nabi Yusya' bin Nun ‘alayhis salam mengandung beberapa pelajaran penting tentang ketaatan, penghambaan sejati (‘ubudiyyah), dan perjalanan spiritual (suluk). Berikut beberapa poin yang bisa dikaji dari segi ketaatan dan tasawuf:
1. Ketaatan Mutlak Nabi Yusya' kepada Nabi Musa
Ketaatan dalam tasawuf merupakan dasar utama dalam perjalanan menuju Allah. Salah satu contoh ketaatan Nabi Yusya' yang luar biasa adalah pengabdiannya kepada Nabi Musa ‘alayhis salam.
Dalam QS. Al-Kahfi: 60-62, Allah menyebutkan perjalanan Nabi Musa dan Yusya' dalam mencari Nabi Khidhir:
وَإِذْ قَالَ مُوسَىٰ لِفَتَىٰهُ لَاۤ أَبْرَحُ حَتَّىٰۤ أَبْلُغَ مَجْمَعَ ٱلْبَحْرَیْنِ أَوْ أَمْضِیَ حُقُبࣰا فَلَمَّا بَلَغَا مَجْمَعَ بَیْنِهِمَا نَسِیَا حُوتَهُمَا فَٱتَّخَذَ سَبِیلَهُۥ فِی ٱلْبَحْرِ سَرَبࣰا فَلَمَّا جَاوَزَا قَالَ لِفَتَىٰهُ ءَاتِنَا غَدَآءَنَا لَقَدْ لَقِینَا مِن سَفَرِنَا هَـٰذَا نَصَبࣰا
"Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada muridnya, 'Aku tidak akan berhenti (berjalan) sebelum sampai ke pertemuan dua lautan, atau aku akan berjalan (terus) dalam waktu yang lama.' Maka ketika mereka sampai ke pertemuan dua lautan, mereka lupa akan ikannya, lalu ikan itu mengambil jalannya ke laut dengan cara yang menakjubkan. Ketika mereka telah melewati tempat itu, Musa berkata kepada muridnya, 'Bawalah ke mari makanan kita, sungguh kita telah merasa letih dalam perjalanan ini.'"
Dalam tasawuf, kisah ini menggambarkan bahwa:
- Seorang murid harus memiliki kepatuhan penuh kepada gurunya (syaikh atau mursyid), sebagaimana Yusya' taat kepada Nabi Musa.
- Kesabaran dalam perjalanan spiritual: Yusya' dengan sabar mengikuti Nabi Musa dalam perjalanan panjang untuk mencari ilmu.
- Mengakui kelemahan diri: Nabi Yusya' yang lupa membawa ikan menunjukkan bahwa dalam perjalanan menuju Allah, manusia pasti memiliki kekurangan, dan ia harus kembali kepada gurunya untuk menemukan kebenaran.
2. Kepemimpinan sebagai Amanah dan Ujian Spiritual
Dalam tasawuf, kepemimpinan bukanlah kedudukan untuk mencari kemuliaan dunia, tetapi amanah yang berat dan harus dipikul dengan penuh tanggung jawab.
Ibnu Katsir menyebutkan bahwa Nabi Yusya' memimpin Bani Israil setelah wafatnya Nabi Musa. Dalam kepemimpinannya, ia tidak mencari kehormatan pribadi, tetapi menjalankan tugas sebagai seorang khalifah di bumi.
Dalam perspektif tasawuf:
- Pemimpin sejati bukanlah mereka yang merasa memiliki kekuasaan, tetapi yang memahami bahwa kepemimpinan adalah amanah dari Allah (al-imarah taklifun laa tasyrifun – kepemimpinan adalah beban, bukan kehormatan).
- Pemimpin harus menjaga hubungan dengan Allah lebih dari segalanya, sebagaimana Nabi Yusya' yang selalu bertawakal dalam peperangan dan meminta pertolongan Allah.
3. Mukjizat Matahari Dihentikan: Tanda Kedekatan dengan Allah
Dalam hadis disebutkan bahwa matahari berhenti berputar agar Nabi Yusya' dapat menyelesaikan peperangan:
إن الشمس لم تحبس لأحد إلا ليوشع بن نون (HR. Ahmad dan Al-Hakim)
"Sesungguhnya matahari tidak pernah dihentikan pergerakannya kecuali untuk Yusya' bin Nun."
Dalam tasawuf, ini menunjukkan derajat maqam kedekatan dengan Allah (maqam al-qurb), di mana Allah memperlihatkan tanda-tanda kekuasaan-Nya kepada para wali dan nabi-Nya. Seorang hamba yang benar-benar taat kepada Allah bisa mendapatkan pertolongan langsung dari-Nya.
4. Tawakal dan Keberanian dalam Jihad
Nabi Yusya' adalah contoh utama seorang hamba yang bertawakal penuh kepada Allah dalam menghadapi ujian dunia. Dalam banyak riwayat, disebutkan bahwa ketika Bani Israil takut memasuki Tanah Suci, Nabi Yusya' berkata:
ادْخُلُوا الأَرْضَ المُقَدَّسَةَ الَّتِي كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ وَلَا تَرْتَدُّوا عَلَى أَدْبَارِكُمْ فَتَنْقَلِبُوا خَاسِرِينَ (QS. Al-Ma'idah: 21)
"Masuklah ke Tanah Suci yang telah Allah tetapkan bagi kalian, dan janganlah kalian berbalik ke belakang, sehingga kalian menjadi orang-orang yang rugi."
Dari sudut pandang tasawuf:
- Orang yang bertawakal tidak takut kepada dunia, karena ia hanya berharap kepada Allah.
- Tantangan dunia adalah ujian bagi hati, apakah tetap yakin kepada Allah atau tidak.
5. Zuhud dalam Kepemimpinan
Setelah menaklukkan Baitul Maqdis, Nabi Yusya' tetap hidup dalam kesederhanaan dan tidak mengejar kemewahan. Dalam tasawuf, ini adalah bentuk zuhud (meninggalkan dunia untuk Allah).
Sebagaimana dalam ajaran tasawuf:
الزهد هو أن لا تملك شيئًا، ولا يملكك شيء
"Zuhud adalah tidak memiliki sesuatu, dan tidak dimiliki oleh sesuatu."
Nabi Yusya' mengajarkan bahwa kepemimpinan bukanlah kesempatan untuk menumpuk harta, tetapi untuk menegakkan hukum Allah di muka bumi.
Kesimpulan
Dari perspektif ketaatan dan tasawuf, Nabi Yusya' bin Nun adalah sosok yang mencerminkan beberapa maqam spiritual tinggi:
- Maqam Ketaatan: Ketaatannya kepada Nabi Musa adalah teladan dalam suluk dan hubungan murid dengan guru.
- Maqam Kepemimpinan Ruhani: Ia memimpin bukan untuk dunia, tetapi untuk menjalankan amanah Allah.
- Maqam Tawakal dan Jihad: Ia menghadapi ketakutan kaumnya dengan keyakinan penuh kepada Allah.
- Maqam Kedekatan dengan Allah: Mukjizat matahari yang dihentikan menunjukkan maqam spiritualnya yang tinggi.
- Maqam Zuhud: Kepemimpinannya dijalankan dengan penuh kesederhanaan dan ketundukan kepada Allah.
Dengan demikian, Nabi Yusya' bin Nun adalah sosok nabi yang tidak hanya dikenal sebagai pemimpin, tetapi juga sebagai teladan dalam tasawuf dalam aspek ketaatan, tawakal, dan zuhud terhadap dunia.
0 komentar:
Posting Komentar