Dalam kitab Qashash al-Anbiya’ karya Ibnu Katsir, kisah Nabi Syu‘aib ‘alayhis salam memiliki beberapa poin utama yang ditekankan, terutama terkait dakwahnya kepada kaum Madyan dan penduduk Aykah. Berikut adalah ringkasan pembahasan tentang Nabi Syu‘aib dalam kitab tersebut:
1. Nasab dan Kedudukan Nabi Syu‘aib ‘alayhis salam
Ibnu Katsir menyebutkan bahwa Nabi Syu‘aib berasal dari bangsa Arab dan keturunannya dikaitkan dengan Nabi Ibrahim ‘alayhis salam melalui keturunan Madyan, putra Ibrahim. Ada pendapat yang menyatakan bahwa beliau juga berasal dari keturunan Nabi Luth ‘alayhis salam.
Beliau diutus kepada kaum Madyan dan penduduk Aykah untuk menyeru mereka kepada tauhid dan kejujuran dalam bermuamalah.
2. Kaum Madyan dan Penduduk Aykah
Kaum Madyan dikenal sebagai pedagang dan penduduk kota yang memiliki sistem ekonomi yang maju. Namun, mereka sering melakukan kecurangan dalam takaran dan timbangan, serta melakukan riba dan penipuan dalam transaksi dagang. Mereka juga menyembah berhala.
Penduduk Aykah adalah kelompok lain yang memiliki perilaku serupa dengan kaum Madyan. Mereka disebut tinggal di daerah yang penuh pepohonan rimbun (aykah berarti hutan lebat).
3. Seruan Dakwah Nabi Syu‘aib
Nabi Syu‘aib menyeru kaumnya kepada tiga hal utama:
- Tauhid – Meninggalkan penyembahan berhala dan hanya menyembah Allah.
- Kejujuran dalam Muamalah – Menghindari kecurangan dalam perdagangan dengan menegakkan keadilan dalam takaran dan timbangan.
- Meninggalkan Kezaliman dan Kejahatan – Tidak merampas hak orang lain serta tidak menyalahgunakan kekuasaan.
Namun, kaumnya menolak dakwah beliau dengan berbagai alasan, termasuk karena mereka sudah terbiasa dengan praktik ekonomi yang curang dan menganggap harta sebagai sumber kekuasaan mutlak mereka.
4. Penolakan dan Azab bagi Kaum Madyan dan Aykah
Penduduk Madyan menantang Nabi Syu‘aib dan meminta agar azab Allah segera diturunkan jika beliau benar. Akhirnya, Allah mengazab mereka dengan beberapa tahap siksaan:
- Panas ekstrem – Udara menjadi sangat panas sehingga mereka tidak tahan tinggal di rumah.
- Awan azab – Ketika mereka keluar mencari tempat berteduh, Allah mendatangkan awan yang tampak memberikan naungan, tetapi ternyata mengeluarkan api yang membakar mereka.
- Guncangan dahsyat (Rajfah) – Allah mengirimkan gempa bumi yang menghancurkan kota mereka.
Sedangkan penduduk Aykah diazab dengan angin panas yang menyengat dan suara keras (shaihah) yang membuat mereka mati secara tiba-tiba.
5. Keselamatan Nabi Syu‘aib dan Hijrah ke Tempat Baru
Setelah kaumnya binasa, Nabi Syu‘aib meninggalkan daerah tersebut. Ada riwayat yang menyebutkan bahwa beliau kemudian bertemu dengan Nabi Musa ‘alayhis salam di Madyan dan menikahkan putrinya dengannya, meskipun riwayat ini masih diperdebatkan.
6. Hikmah dari Kisah Nabi Syu‘aib
Kisah Nabi Syu‘aib memberikan beberapa pelajaran penting:
- Kejujuran dalam bisnis adalah bagian dari iman, dan Allah membinasakan kaum yang menghalalkan kecurangan ekonomi.
- Penolakan terhadap kebenaran sering kali didasarkan pada kepentingan duniawi, seperti yang dilakukan kaum Madyan yang lebih memilih mempertahankan sistem ekonomi curang mereka.
- Azab Allah datang dengan berbagai bentuk sesuai dengan keburukan dan kezaliman suatu kaum.
Demikian ringkasan kisah Nabi Syu‘aib ‘alayhis salam berdasarkan Qashash al-Anbiya’ karya Ibnu Katsir.
Dalam Qashash al-Anbiya’ karya Ibnu Katsir, aspek ketaatan dan tasawuf dalam kisah Nabi Syu‘aib ‘alayhis salam dapat dilihat dari beberapa sudut pandang, terutama dalam hal ketundukan kepada perintah Allah, kesabaran dalam berdakwah, serta keyakinan terhadap kekuasaan Allah atas segala sesuatu.
1. Ketaatan Nabi Syu‘aib ‘alayhis salam kepada Allah
a. Konsistensi dalam Menyampaikan Kebenaran
Meskipun menghadapi perlawanan keras dari kaumnya, Nabi Syu‘aib tetap menyeru mereka kepada tauhid dan akhlak yang baik. Ia tidak takut terhadap ancaman dan ejekan mereka. Ini menunjukkan bentuk ketaatan penuh kepada Allah, sebagaimana firman-Nya dalam Al-Qur’an:
وَمَا أُرِيدُ أَنْ أُخَالِفَكُمْ إِلَىٰ مَا أَنْهَاكُمْ عَنْهُ ۚ إِنْ أُرِيدُ إِلَّا ٱلْإِصْلَٰحَ مَا ٱسْتَطَعْتُ ۚ وَمَا تَوْفِيقِىٓ إِلَّا بِٱللَّهِ ۚ عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَإِلَيْهِ أُنِيبُ
"Dan aku tidak berkehendak menyalahi kalian dalam hal yang aku larang. Aku hanya ingin melakukan perbaikan semampuku. Dan taufik (petunjuk)ku hanya dari Allah. Kepada-Nya aku bertawakkal dan kepada-Nya aku kembali."
(QS. Hud: 88)
Ayat ini mencerminkan ketaatan Nabi Syu‘aib yang tidak tergoyahkan, diiringi dengan tawakkal penuh kepada Allah.
b. Kesabaran dalam Menghadapi Kaum yang Membangkang
Dalam tasawuf, salah satu sifat utama seorang wali atau orang yang dekat dengan Allah adalah kesabaran (ṣabr). Nabi Syu‘aib menunjukkan kesabaran luar biasa ketika kaumnya tidak hanya menolak ajarannya, tetapi juga mengancam akan mengusirnya atau membunuhnya jika ia tetap berdakwah.
Allah menggambarkan sikap mereka dalam Al-Qur’an:
قَالُوا۟ يَٰشُعَيْبُ أَصَلَوٰتُكَ تَأْمُرُكَ أَن نَّتْرُكَ مَا يَعْبُدُ ءَابَآؤُنَآ أَوْ أَن نَّفْعَلَ فِىٓ أَمْوَٰلِنَا مَا نَشَٰٓؤُا۟ ۖ إِنَّكَ لَأَنتَ ٱلْحَلِيمُ ٱلرَّشِيدُ
"Mereka berkata, ‘Hai Syu‘aib, apakah shalatmu menyuruhmu agar kami meninggalkan apa yang disembah nenek moyang kami, atau melarang kami melakukan apa yang kami kehendaki terhadap harta kami? Sesungguhnya kamu benar-benar orang yang sangat penyantun lagi cerdas.’”
(QS. Hud: 87)
Sikap sabar ini mengingatkan pada ajaran tasawuf bahwa seorang hamba yang dekat dengan Allah harus tetap istiqamah meskipun menghadapi ujian berat.
2. Aspek Tasawuf dalam Kisah Nabi Syu‘aib
Dalam ilmu tasawuf, ada beberapa aspek yang dapat diambil dari perjalanan hidup Nabi Syu‘aib ‘alayhis salam:
a. Zuhud terhadap Dunia dan Kekayaan
Kaum Madyan sangat terobsesi dengan harta dan perdagangan. Mereka menolak dakwah Nabi Syu‘aib karena tidak ingin kehilangan keuntungan dari sistem ekonomi yang curang. Dalam tasawuf, kecintaan terhadap dunia (hubb al-dunya) adalah salah satu penghalang besar dalam perjalanan menuju Allah.
Nabi Syu‘aib memperingatkan mereka bahwa harta bukanlah segalanya, dan keberkahan datang dari ketaatan kepada Allah:
بَقِيَّتُ ٱللَّهِ خَيْرٌ لَّكُمْ إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ
"Sisa (keuntungan) dari Allah lebih baik bagi kalian jika kalian beriman."
(QS. Hud: 86)
Dalam perspektif tasawuf, ayat ini menunjukkan bahwa keuntungan hakiki bukanlah harta duniawi, melainkan keberkahan dan ridha Allah.
b. Tawakkal dan Kesadaran Bahwa Segala Sesuatu Milik Allah
Nabi Syu‘aib menunjukkan tingkat tawakkal yang tinggi dalam menghadapi penolakan dan ancaman kaumnya. Dalam tasawuf, seorang hamba yang telah mencapai maqam tawakkal tidak lagi bergantung pada usaha dirinya, tetapi sepenuhnya menyerahkan hasilnya kepada Allah.
Ketika kaumnya menantangnya untuk mendatangkan azab jika dia benar, Nabi Syu‘aib tetap tenang dan menyerahkan urusannya kepada Allah:
فَٱصْبِرُوٓا۟ حَتَّىٰ يَحْكُمَ ٱللَّهُ بَيْنَنَا وَهُوَ خَيْرُ ٱلْحَٰكِمِينَ
"Maka bersabarlah kalian sampai Allah memberi keputusan di antara kita. Dan Dia adalah Hakim yang terbaik."
(QS. Al-A‘raf: 87)
Konsep ini dalam tasawuf dikenal sebagai fanā’ fi al-tawakkul, yaitu penghapusan diri dalam ketergantungan penuh kepada Allah.
c. Kesadaran Akan Amanah Allah dalam Kehidupan
Dalam tasawuf, kehidupan dunia dianggap sebagai amanah, bukan kepemilikan sejati manusia. Nabi Syu‘aib menegaskan kepada kaumnya bahwa mereka bukanlah pemilik harta yang sebenarnya, tetapi hanya pengelola yang harus bertanggung jawab kepada Allah.
Hal ini sejalan dengan prinsip tasawuf yang menekankan bahwa manusia hanya musafir di dunia dan harus menggunakan segala sesuatu sesuai dengan aturan Allah, bukan hawa nafsu.
d. Karamah dan Kepekaan Spiritual
Dalam tradisi tasawuf, para nabi dan wali sering diberi karamah oleh Allah. Salah satu karamah Nabi Syu‘aib adalah kemampuannya membaca hati kaumnya dan mengetahui keburukan yang mereka sembunyikan. Ini mirip dengan konsep firasat al-mu’min (ketajaman batin seorang mukmin) dalam tasawuf.
Dalam hadis, Rasulullah ﷺ bersabda:
"Takutlah terhadap firasat seorang mukmin, karena ia melihat dengan cahaya Allah."
(HR. Tirmidzi)
Nabi Syu‘aib memiliki firasat ini ketika memperingatkan kaumnya tentang azab yang akan datang. Ia juga mampu merasakan keburukan yang berakar dalam jiwa mereka, sebagaimana para wali Allah dalam tasawuf memiliki mata hati yang tajam.
Kesimpulan
Dari sudut pandang ketaatan dan tasawuf, kisah Nabi Syu‘aib mengajarkan beberapa prinsip utama:
- Ketaatan tanpa kompromi dalam menyampaikan kebenaran, meskipun menghadapi perlawanan.
- Kesabaran dalam dakwah sebagai tanda maqam spiritual yang tinggi.
- Zuhud terhadap dunia, menolak keuntungan materi yang diperoleh dengan cara curang.
- Tawakkal penuh kepada Allah, tanpa rasa takut terhadap manusia atau kehilangan dunia.
- Kesadaran bahwa segala sesuatu adalah amanah dari Allah, bukan milik sejati manusia.
- Kepekaan spiritual dan firasat tajam, yang merupakan salah satu tanda kedekatan dengan Allah.
Kisah ini menjadi pengingat bahwa dalam perjalanan menuju Allah, seorang hamba harus membersihkan diri dari keserakahan dunia, menegakkan keadilan, dan sepenuhnya menyerahkan dirinya kepada kehendak Allah.
Berikut adalah beberapa referensi dari kitab-kitab tasawuf klasik yang membahas konsep ketaatan, zuhud, tawakkal, dan kesadaran bahwa segala sesuatu adalah amanah dari Allah yang berkaitan dengan ajaran Nabi Syu‘aib ‘alayhis salam:
1. Ketaatan Tanpa Kompromi
Referensi: Iḥyā’ ‘Ulūm ad-Dīn – Imam Al-Ghazali
Dalam Iḥyā’ ‘Ulūm ad-Dīn, Imam Al-Ghazali membahas bahwa ketaatan kepada Allah harus berada di atas segala kepentingan duniawi. Beliau menjelaskan konsep ikhlas dalam dakwah, seperti yang ditunjukkan oleh Nabi Syu‘aib ketika tetap menyeru kepada tauhid meskipun diancam oleh kaumnya.
Imam Al-Ghazali berkata:
"Orang yang mengenal Allah tidak akan gentar terhadap celaan manusia, karena yang ditakutkan hanyalah kemurkaan-Nya. Maka, seorang da’i sejati akan tetap menyampaikan kebenaran tanpa memedulikan dunia."
Ini sesuai dengan sikap Nabi Syu‘aib yang tidak mundur meskipun diancam oleh kaumnya.
2. Zuhud terhadap Dunia dan Harta
Referensi: Kitab Ar-Risālah al-Qusyairiyyah – Imam Al-Qusyairi
Dalam kitab Ar-Risālah al-Qusyairiyyah, Imam Al-Qusyairi menekankan bahwa seorang hamba sejati harus memahami bahwa harta dan dunia hanyalah ujian. Kaum Madyan terlalu mencintai dunia dan menolak Nabi Syu‘aib karena takut kehilangan keuntungan haram mereka.
Imam Al-Qusyairi menulis:
"Zuhud bukan berarti meninggalkan dunia sepenuhnya, tetapi hati tidak terikat padanya. Seorang wali Allah menggunakan dunia hanya sebagai sarana menuju akhirat."
Ini selaras dengan ajaran Nabi Syu‘aib dalam QS. Hud: 86:
"Baqiyyatullah lebih baik bagi kalian jika kalian beriman."
Yang berarti bahwa keberkahan dari Allah lebih berharga daripada keuntungan duniawi yang diperoleh dengan cara curang.
3. Tawakkal Sejati kepada Allah
Referensi: Tawakkul dalam Futūḥāt al-Makkiyyah – Ibn ‘Arabi
Dalam Futūḥāt al-Makkiyyah, Ibn ‘Arabi menjelaskan bahwa tawakkal adalah tingkatan spiritual di mana seseorang menyerahkan sepenuhnya urusannya kepada Allah. Ini tercermin dalam perkataan Nabi Syu‘aib dalam QS. Hud: 88:
"Aku hanya ingin melakukan perbaikan semampuku. Dan taufik (petunjuk)ku hanya dari Allah. Kepada-Nya aku bertawakkal dan kepada-Nya aku kembali."
Ibn ‘Arabi menafsirkan bahwa tawakkal sejati bukanlah meninggalkan usaha, tetapi meyakini bahwa hasilnya sepenuhnya ada di tangan Allah. Ia berkata:
"Tawakkal adalah melepaskan segala ketergantungan pada sebab-sebab duniawi, lalu menyerahkan hatinya hanya kepada Allah, sebagaimana seorang bayi yang hanya bergantung kepada ibunya."
Nabi Syu‘aib menunjukkan bentuk tawakkal ini ketika tetap menyeru kaumnya meskipun mereka mengancamnya dengan pengusiran dan pembunuhan.
4. Kesadaran Bahwa Segala Sesuatu adalah Amanah dari Allah
Referensi: Al-Hikam – Ibnu ‘Atha’illah as-Sakandari
Dalam kitab Al-Hikam, Ibnu ‘Atha’illah menjelaskan bahwa dunia dan segala isinya hanyalah titipan. Seorang hamba yang menyadari hakikat ini tidak akan serakah dan tidak akan melakukan kecurangan dalam urusan duniawi.
Beliau berkata:
"Apa pun yang kamu anggap sebagai milikmu, sesungguhnya bukan milikmu. Semua hanya dipinjamkan oleh Allah. Maka, janganlah engkau berbangga dengan apa yang sementara."
Kaum Madyan mengira bahwa harta dan kekayaan adalah kepemilikan mutlak mereka, sehingga menolak ajakan Nabi Syu‘aib untuk jujur dalam perdagangan. Padahal, semua harta hanya amanah yang harus digunakan dengan benar.
5. Kepekaan Spiritual dan Firasat Orang yang Dekat dengan Allah
Referensi: Lata’if al-Minan – Imam Ibnu ‘Atā’illah as-Sakandari
Dalam kitab Lata’if al-Minan, Ibnu ‘Atā’illah menjelaskan bahwa para nabi dan wali memiliki firasat tajam dalam memahami manusia dan keadaan sekitar.
Beliau berkata:
"Siapa yang hatinya bersih dari dunia, maka Allah akan memberikan cahaya yang membuatnya melihat dengan mata hati."
Nabi Syu‘aib memiliki firasat ini saat memperingatkan kaumnya bahwa azab Allah akan segera datang. Ia tahu bahwa mereka sedang berada di jalan kebinasaan meskipun mereka menganggap diri mereka kuat.
Ini sesuai dengan hadis Nabi ﷺ:
"Takutlah terhadap firasat seorang mukmin, karena ia melihat dengan cahaya Allah."
(HR. Tirmidzi)
Kesimpulan
Dari berbagai kitab tasawuf klasik, kisah Nabi Syu‘aib mengajarkan:
- Ketaatan kepada Allah lebih utama dari kepentingan dunia (Iḥyā’ ‘Ulūm ad-Dīn – Imam Al-Ghazali).
- Zuhud sejati bukan meninggalkan dunia, tetapi tidak terikat padanya (Ar-Risālah al-Qusyairiyyah – Imam Al-Qusyairi).
- Tawakkal adalah penyerahan penuh kepada Allah tanpa meninggalkan usaha (Futūḥāt al-Makkiyyah – Ibn ‘Arabi).
- Dunia hanyalah amanah, bukan milik sejati manusia (Al-Hikam – Ibnu ‘Atha’illah as-Sakandari).
- Firasat dan kepekaan spiritual adalah tanda kedekatan dengan Allah (Lata’if al-Minan – Ibnu ‘Atā’illah as-Sakandari).
Kisah Nabi Syu‘aib ‘alayhis salam dalam perspektif tasawuf menekankan bahwa dunia bukan tujuan akhir, kejujuran dalam muamalah adalah bagian dari iman, dan tawakkal sejati membawa ketenangan dalam menghadapi ujian.
Baik, berikut tambahan referensi dari kitab-kitab tasawuf lainnya yang memperdalam aspek ketaatan, zuhud, tawakkal, dan kesadaran bahwa dunia hanyalah amanah dalam ajaran Nabi Syu‘aib ‘alayhis salam:
6. Ketaatan Tanpa Keraguan
Referensi: Ṭabaqāt al-Kubrā – Imam As-Sya‘rani
Imam As-Sya‘rani dalam Ṭabaqāt al-Kubrā menyebutkan bahwa salah satu sifat utama para nabi adalah ketaatan penuh kepada Allah tanpa terpengaruh tekanan sosial.
Beliau berkata:
"Jika engkau telah mengenal kebenaran, maka jangan ragu mengikutinya meskipun engkau sendirian. Karena kebanyakan manusia terhijab oleh hawa nafsu mereka."
Nabi Syu‘aib tidak terpengaruh oleh ancaman kaumnya dan tetap menyeru kepada kejujuran. Ini mencerminkan prinsip "berpegang teguh pada agama meskipun sendirian", seperti yang juga ditegaskan dalam hadis Nabi ﷺ:
"Islam bermula dalam keadaan asing, dan akan kembali menjadi asing. Maka beruntunglah orang-orang yang dianggap asing." (HR. Muslim)
7. Zuhud: Dunia Bukan Tujuan, Tetapi Sarana
Referensi: Al-Futuwwah – Syaikh As-Sulami
Dalam kitab Al-Futuwwah, Syaikh As-Sulami menuliskan bahwa zuhud sejati bukanlah meninggalkan dunia, tetapi memanfaatkannya dengan cara yang benar.
Beliau berkata:
"Orang yang zuhud bukanlah orang yang tidak memiliki harta, tetapi orang yang tidak dikuasai oleh hartanya."
Kaum Nabi Syu‘aib sangat tamak terhadap dunia dan menggunakan kecurangan dalam perdagangan. Namun, Nabi Syu‘aib menasihati mereka bahwa keberkahan Allah lebih berharga daripada keuntungan haram (QS. Hud: 86).
8. Tawakkal dan Kesabaran dalam Dakwah
Referensi: Minhāj al-‘Ābidīn – Imam Al-Ghazali
Imam Al-Ghazali dalam Minhāj al-‘Ābidīn menjelaskan bahwa kesabaran adalah kunci tawakkal sejati. Ia membagi tawakkal menjadi tiga tingkatan:
- Tawakkal orang awam – masih mengandalkan usaha dunia.
- Tawakkal orang shalih – berusaha tetapi hatinya hanya bergantung kepada Allah.
- Tawakkal para wali dan nabi – tidak memiliki sedikit pun kecemasan terhadap dunia karena seluruhnya diserahkan kepada Allah.
Nabi Syu‘aib berada pada tingkatan tertinggi ini. Ketika diancam oleh kaumnya, beliau berkata:
"Kepada-Nya aku bertawakkal dan kepada-Nya aku kembali." (QS. Hud: 88)
Ini adalah puncak tawakkal sejati.
9. Hakikat Kepemilikan: Tidak Ada yang Benar-benar Milik Manusia
Referensi: Tanbīh al-Mughtarrīn – Syaikh Ibnu ‘Ajibah
Syaikh Ibnu ‘Ajibah dalam Tanbīh al-Mughtarrīn menegaskan bahwa tidak ada yang benar-benar dimiliki oleh manusia. Semua hanya titipan Allah.
Beliau berkata:
"Jika engkau merasa memiliki sesuatu, maka engkau telah tertipu. Sebab, semuanya akan kembali kepada Pemiliknya yang sejati."
Kaum Madyan merasa bahwa harta dan perdagangan adalah hak mereka sendiri, sehingga mereka tidak peduli terhadap hukum Allah. Nabi Syu‘aib mengingatkan bahwa dunia hanyalah titipan dan keberkahan hanya datang dari kejujuran.
10. Firasat dan Ilham dalam Hati Orang Bertakwa
Referensi: Ma‘ārif al-‘Ilāhiyyah – Syaikh Abdul Karim Al-Jili
Dalam Ma‘ārif al-‘Ilāhiyyah, Syaikh Al-Jili menjelaskan bahwa orang yang memiliki hati bersih akan diberikan firasat tajam oleh Allah.
Beliau berkata:
"Hati yang bersih adalah cermin dari cahaya Ilahi. Barang siapa yang mendekat kepada Allah, ia akan mampu melihat kebenaran meskipun tersembunyi."
Nabi Syu‘aib memiliki firasat bahwa kaumnya akan dihancurkan karena keburukan mereka. Beliau telah memperingatkan mereka, tetapi mereka menolak. Ini menunjukkan kepekaan spiritual yang Allah berikan kepada para nabi.
Kesimpulan Tambahan
Dengan tambahan dari kitab-kitab ini, kita bisa mengambil pelajaran bahwa ajaran Nabi Syu‘aib dalam perspektif tasawuf menekankan:
- Ketaatan sejati kepada Allah, meskipun mendapat tekanan dari masyarakat (Ṭabaqāt al-Kubrā – Imam As-Sya‘rani).
- Zuhud bukan berarti meninggalkan dunia, tetapi tidak diperbudak olehnya (Al-Futuwwah – Syaikh As-Sulami).
- Tawakkal sejati adalah ketika hati sepenuhnya bersandar kepada Allah (Minhāj al-‘Ābidīn – Imam Al-Ghazali).
- Hakikat kepemilikan: segala sesuatu hanyalah titipan dari Allah (Tanbīh al-Mughtarrīn – Syaikh Ibnu ‘Ajibah).
- Firasat dan kepekaan spiritual adalah tanda kedekatan dengan Allah (Ma‘ārif al-‘Ilāhiyyah – Syaikh Abdul Karim Al-Jili).
Kisah Nabi Syu‘aib dalam tasawuf mengajarkan bahwa kejujuran, kesabaran, dan tawakkal adalah kunci dalam menghadapi dunia, serta dunia hanyalah amanah yang harus digunakan sesuai dengan kehendak Allah.
0 komentar:
Posting Komentar