Makna dan Hakikat Hati Menurut Islam
Hati yang membedakan baik dan buruk itu disebut sebagai Akal.
Hati yang memiliki keinginan disebut sebagai Hawa Nafsu.
Hati sebagai Spirit / Roh / Nyawa manusia yang tiada lain adalah "Ruh yang ditiupkan Allah".
Hati sebagai Penyandang Sifat Allah, karena di dalam hati tampil Sifat-Sifat Allah yang tujuh (7), yakni sifat Qudrat, Irodat, Ilmu, Chayat, Sama’, Bashor, dan Kalaam.
Hati itu bernama Nur Muhammad, karena menjadi Cahaya yang menyinari tubuh.
Hati (Sifat Allah) itu mendapatkan sinaran dari Rahasianya Hati, yakni Dzat Allah.
Rahasia Hati (Dzat Allah), Hati (Sifat Allah), dan Nama bagi Hati (Asma’ Allah) itu menjadi:
- Robb An-Naas (Pencipta manusia)
- Malik An-Naas (Yang Merajai manusia)
- Ilaah An-Naas (Sesembahan manusia)
Hati dan Rahasia Hati itulah yang kita sebut-sebut dengan Allah, dengan Dzat dan segala Sifat dan Asma’/Nama-Nya. Itulah Cahaya Allah, yakni “Cahaya Berlapis Cahaya (Nuurun ‘Alaa Nuurin)”, itulah yang Maha Menentukan, Maha Menguasai, Maha Mengkaruniai, serta Maha Menunjuki dan Menyesatkan dan sebagainya.
Badan kita / tubuh adami kita tercipta dari perilaku (fa’al) Allah dan sekaligus mendapatkan sinaran dari hati, sehingga tubuh “menjadi ada” dan “dapat berdaya upaya, berkeinginan, berpengetahuan, berkehidupan, berpendengaran, berpenglihatan dan berkata-kata”.
ALLAH sebenar-benarnya Tuhan, sedang manusia hanyalah hamba Allah.
Ketahui dan sadarlah!
"Seperti umpama Dzat matahari dengan panas dan terangnya matahari serta nama matahari itu tak terpisahkan! Akan tetapi matahari tetap saja berbeda dengan cahayanya dan panasnya."
TIDAK UNTUK MENGAKU TUHAN, TETAPI HANYA UNTUK MENGENAL ALLAH.
Dzat dan Sifat, Dzat dan Asma’ Allah tak terpisahkan.
Dengan Sifat dan Nama-Nya itulah kita mengenal Dzat Allah.
Karena Dzat, Sifat dan Asma’ Allah itulah Tuhan yang sebenar-benarnya disembah dan menguasai manusia.
Dan tidak satu pun ajaran Islam, ajaran Nabi Muhammad ﷺ yang mengajarkan untuk mengaku sebagai Allah, ingat itu.
Semuanya hanya untuk menyadarkan manusia akan ketiadaannya atau kefanaannya, agar manusia menjadi tahu diri dan mampu memposisikan diri sebagai hamba Allah dengan sebaik-baiknya dan selurus-lurusnya, tidak lebih daripada itu.
Adapun kedudukan manusia terhadap hatinya ada sekat pemisah.
Manusia bukanlah Allah dan Allah tidak pernah berubah menjadi manusia!
Manusia hanyalah hamba Allah!
Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alayhi Wa Sallam bukanlah Tuhan!
Nabi Muhammad hanyalah Hamba dan Rasulullah, yaitu manusia terutama dalam menerima curahan anugerah cahaya atau Nur Sifat Allah Ta’ala, sehingga “lebih sempurna mengenal Allah”.
Makna Syahadatain (Dua Kalimat Syahadat)
- Bersyahadatain itu mengucap dan menyaksikan:
- “Laa ilaaha illallaah” yakni Rahasia Hati / Rahasia Nur Muhammad, yaitu Dzat Allah.
- “Muhammadar Rasulullah” yakni Rahasia badan, yaitu Sifat Allah, yakni Cahaya yang diutus kepada tubuh, yaitu Nur Muhammad / Ruh.
Ketahuilah, seterang-terangnya cahaya / nur yang diutus kepada tubuh itu ada pada diri Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alayhi Wa Sallam.
Karena nur kita berasal dari nur Nabi kita. Maka itulah Nabi bersabda:
“Adam itu bapak tubuh dan aku bapak ruh.”
Tentang Niat dan Hati
- Niat dalam hati itu dari Dzat Allah (Rahasia/Sirr)
- Muncul pada Sifat Allah (Hati/Ruh)
- Terjadi pada tubuh/badan berupa amaliyah (perbuatan)
Hati sebagai Sifat Dzat Allah harus dibina, yakni mengingat panduan Dzat-Nya sendiri, yaitu Al-Qur’an sebagai petunjuk.
Petunjuk ini menjadi akal sehat dalam rangka mendatangi rahmat dan ridha Allah.
Sedangkan yang mengikuti hawa nafsu dan tidak mengikuti petunjuk, maka ia mendatangi murka Allah.
Penjelasan Umum tentang Hati
Hati adalah raja, tempat kita mengenal Allah.
Hakikat dari hati adalah tidak terlihat dan samar bagi panca indera manusia. Namun, keberadaan hati dapat dirasakan. Keberadaan hati juga termasuk perkara ghaib, sebagaimana ruh.
Oleh sebab itu, Imam al-Ghazali menempatkan hati sebagai hakikat ruh.
Beliau menyebut hati sebagai bagian dari jenis malaikat, karena hati merupakan bentuk yang abstrak, tidak dapat dilihat oleh panca indera.
(Lihat: Imam al-Ghazali dalam Kitab Kimiya as-Sa’adah)
Hati juga merupakan tempat diperolehnya pengetahuan hakiki setelah panca indera.
Jika Allah Subhanahu Wa Ta’ala tidak menciptakan hati, maka manusia tidak akan mengetahui sesuatu sampai hakikatnya.
Sebagaimana firman Allah:
“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati agar kamu bersyukur.”
(QS. An-Nahl [16]: 78)
Ulama mengatakan bahwa hati merupakan tempatnya akal (fikiran), dan hati memiliki cahaya sebagai daya yang memungkinkan akal bisa berfikir.
(Lihat: Kitab Jauhar at-Tauhid, Ibrahim al-Baijuri, hal. 99)
Tanpa hati beserta cahayanya, manusia tidak dapat berfikir, serta tidak mampu membedakan antara kebaikan dan keburukan.
Karena itu, hati adalah instrumen terpenting dalam diri manusia.
Objek kerja hati tidak hanya bersifat profan, melainkan mencakup perkara spiritual dan sakral, seperti:
- Ketulusan
- Keikhlasan
- Rasa syukur
- Bahkan untuk mengenal Allah Subhanahu Wa Ta’ala (al-ma’rifah)
Tanpa upaya memperbaiki hati, manusia bisa terjerumus ke dalam lembah kesesatan.
Seperti yang terjadi pada kaum musyrik yang mendustakan kebenaran Rasulullah Shallallahu ‘Alayhi Wa Sallam, yang menyebabkan mereka mendapat azab yang pedih.
Sebagaimana difirmankan oleh Allah:
“Allah telah mengunci-mati hati dan pendengaran mereka dan penglihatan mereka ditutup. Dan bagi mereka siksa yang amat berat.”
(QS. Al-Baqarah [2]: 7)
Hati Menentukan Tindakan
Hati sangat berpengaruh terhadap tindakan seseorang.
Jika hatinya baik, maka perilakunya baik.
Jika hatinya rusak, maka tindakannya pun rusak.
Sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alayhi Wa Sallam:
“Sesungguhnya di dalam jasad (badan) terdapat segumpal daging. Jika ia bagus maka seluruh jasadnya bagus. Dan jika rusak maka seluruh jasadnya pun rusak. Ingatlah! Segumpal daging itu adalah hati.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Seorang ulama mengatakan:
“Hati adalah raja. Ketika yang merawatnya bagus maka rakyatnya pun bagus.”
(Lihat: Kitab Syarah Arba’in Nawawi, Yahya bin Syarafuddin, hal. 29, hadis ke-6)
Dalam hadits dari Abu Sa’id Al-Khudri RA, Rasulullah bersabda:
“Sepasang mata adalah petunjuk. Sepasang telinga adalah corong. Lisan adalah juru bicara. Kedua tangan adalah sayap. Perut adalah kasih sayang. Limpa adalah senyuman. Paru-paru adalah jiwa. Kedua pinggang adalah tipu daya. Dan hati adalah raja. Ketika rajanya bagus, maka rakyatnya pun bagus. Dan jika rajanya rusak maka rakyatnya pun rusak.”
(HR. Ibnu Hibban, Abu Syaikh, dan Abu Nu’aim)
Seorang ulama mengatakan:
“Penglihatan, pendengaran dan indera pencium laksana daya kekuatan yang dilihat dan dipertimbangkan oleh jiwa. Sedangkan hati adalah rajanya. Jika yang merawatnya baik maka baik pula rakyatnya.”
(Lihat: Kitab Syarah Arba’in Nawawi, Yahya bin Syarafuddin, hal. 29)
Ibarat Emas
Hati merupakan instrumen penggerak dari aktivitas dan perilaku manusia.
Perilaku seseorang tidak dapat terpisah dari kondisi hatinya.
Bila bijaksana dalam mengupayakan hatinya, maka seseorang dapat mempertimbangkan perbuatannya dan membawanya ke jalan yang benar.
Sebaliknya, jika tidak bijaksana maka akan memalingkannya ke jalan yang menyimpang, seperti:
- Riya’
- Hasud
- Tamak
yang termasuk dalam macam-macam penyakit hati.
Menurut Imam al-Ghazali, hati merupakan elemen yang berharga bagi seorang hamba.
Beliau mengatakan bahwa hati adalah tempat mengenal Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Al-Ghazali menyebutkan bahwa di dalam hati terdapat hal-hal yang berarti:
- Hati memiliki akal, dan tujuannya adalah untuk mengenal Allah (al-ma’rifah).
- Hati memiliki penglihatan yang digunakan untuk berhadapan dengan kehadirat Ilahi.
- Hati memiliki niat yang tulus dan keikhlasan dalam ketaatan terhadap Allah.
- Hati memiliki ilmu dan kebijaksanaan yang menghantarkan hamba kepada kemuliaan dan akhlak yang terpuji.
Oleh sebab itu, menurut Al-Ghazali, sudah sepatutnya seorang hamba senantiasa menjaga dan merawat hatinya dari segala kekotoran duniawi, agar kemuliaan hati tetap terlindungi dan terjaga dalam keagungan.
Sudah sepatutnya bagi seorang hamba senantiasa mengupayakan hatinya dalam keagungan dan kemuliaan, agar hati senantiasa berada dalam kesadaran dan dapat menangkap kehadirat Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Mengupayakan hati dalam kebaikan adalah hal yang mutlak diperlukan.
Jangan sampai hati menjadi keruh karena kesalahan dan dosanya. Sebab hati adalah daya kekuatan dalam bertindak, yang berpengaruh dalam tindakan seseorang.
Seseorang yang senantiasa melakukan maksiat adalah karena tidak mengetahui potensi-potensi dalam hatinya.
Seorang ulama, Ibnu ‘Athoillah As-Sakandari, mengatakan bahwa:
“Tanda-tanda dari kematian hati seseorang adalah tidak merasa sedih ketika meninggalkan ketaatan terhadap Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan tidak menyesal ketika melakukan kesalahan dan dosa.”
(Lihat: Kitab Syarah al-Hikam, Muhammad bin Ibrahim, hal. 42, juz 1)
Sudah sepatutnya bagi seorang hamba untuk senantiasa menjaga hati dari kekotoran dan dosa yang dapat memadamkan cahaya hatinya.
Hati ibarat wadah yang terbuat dari emas.
Jangan sampai diisi dengan hal yang tak berharga dan sia-sia, agar nilai tinggi dari wadah itu tetap lestari.
Wallahu a’lam bish-shawab.
Disusun oleh Muhammad Anas, Mahasiswa Fakultas Dirasat Islamiyah (Studi Keislaman) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Rep: Admin Hidcom
Editor: Cholis Akbar
0 komentar:
Posting Komentar