Rabu, 16 Juli 2025

ADAB DAN FIQIH

 

ADAB DAN FIQIH

Terdapat perbedaan sudut pandang antara Adab Akhlak dan Fiqih, terutama pada sisi keutamaan dan sikap sopan santun, yakni sikap tahu diri (ta’zhim).

Adab mengajarkan seseorang untuk melihat kekurangan dirinya, sehingga merasa tak layak terhadap suatu keutamaan.
Contoh:

  • Merasa tak pantas melihat Allah karena matanya masih dipakai untuk bermaksiat.
  • Merasa tak pantas berdiri di shaf depan karena dirinya merasa masih sering berbuat maksiat.
  • Mengunjungi Nabi adalah kebaikan dan keberkahan, tetapi di sisi lain merasa hal itu bisa memberatkan Nabi karena kedatangannya.
  • Memandang wajah Nabi Muhammad adalah keutamaan, namun ada yang merasa sungkan walaupun berhadap-hadapan langsung karena sikap ta’zhim yang tinggi.

Istiqamah dan Keikhlasan

Beristiqamah itu bagus. Misalnya, seseorang yang senantiasa menjadi imam shalat. Namun, pada sisi lain perlu ditinjau: apakah ia benar-benar ikhlas istiqamah, atau sebenarnya tidak ingin digantikan? Jika demikian, ia harus memutuskan istiqamahnya untuk menghindarkan diri dari kecenderungan mempertahankan posisi (muassasah).


Fiqih dan Pertimbangan Adab

Memenuhi undangan itu adalah perintah syariat dan bentuk penghormatan. Namun, pada saat yang sama, seseorang bisa saja mengurungkan diri datang karena khawatir kehadirannya justru memberatkan tuan rumah, merepotkan, atau menimbulkan beban tertentu.

Orang-orang yang lebih mengutamakan fiqih akan tampak dengan aturan-aturan yang mengikat. Sedangkan orang yang mengedepankan adab dan akhlak, lebih condong kepada sikap sopan, hati-hati, dan ta’zhim.

Contoh lain: Ada pertanyaan, “Si Fulan tidak sempurna shalatnya. Apakah ia masih perlu shalat atau tidak usah shalat saja, karena percuma jika tidak sah?”

Menjawab secara fiqih, maka semua syarat dan rukun harus dipenuhi. Bila tidak terpenuhi, maka shalatnya batal.

Namun, jika ditinjau dari adab kepada Allah, maka diterima atau tidaknya adalah hak prerogatif Allah sebagai Tuhan yang Maha Menilai.
Berani menilai perkara yang menjadi hak Allah justru dianggap tidak beradab.

Jika dilihat dari sisi niatnya yang baik, yaitu ia mau melaksanakan perintah Allah (shalat), maka lebih baik tetap melaksanakan daripada meninggalkannya, meski masih belajar menyempurnakan.


Kebaikan yang Tercampur Kekurangan

Segala perbuatan kebaikan pada sisi tertentu bisa saja masih menyimpan unsur keburukan dalam hati, seperti:

  • Melakukan kebaikan tapi dibarengi celaan, merendahkan orang lain, merasa lebih baik.
  • Rajin ibadah malam, tapi memaki orang yang tidur, menyebutnya pemalas atau tidak bersyukur.
  • Baru seminggu menjadi dermawan, tapi sudah mengecam orang lain sebagai pelit.
  • Memberi bantuan sambil mempermalukan penerima, atau menyebut-nyebut pemberiannya di hadapan orang.
  • Menasihati seseorang di depan umum, yang justru menjatuhkan martabat orang tersebut.

Itulah perbedaan pendekatan fiqih dan adab akhlak. Keduanya penting, namun akan sangat sempurna jika suatu urusan diselesaikan dengan bijak dan berimbang.
Agar kebaikan tetap bernilai baik, dan keburukan bisa disikapi dengan cara yang memperbaiki.


Manusia dan Kehambaannya

Yang terpenting adalah:

  • Memanusiakan manusia.
  • Mendudukkan diri sebagai hamba di hadapan Allah.
  • Menyukai kebaikan terjadi pada orang lain, sebagaimana kita menyukai kebaikan itu terjadi pada diri sendiri.
  • Mencegah keburukan dari orang lain, sebagaimana kita berusaha menghindari keburukan bagi diri sendiri.

Berbuat Kebaikan dan Memperbaiki Diri

Berbuat kebaikan itu tidaklah mudah, karena masih harus menjaga keutuhan niat dan pelaksanaannya.
Memperbaiki pun tidak mudah, sebab harus menimbang sisi buruk yang harus dijauhi agar tidak menjadi bentuk aniaya terhadap orang lain.

Kebaikan dan perbaikan akan menjadi sempurna jika terjadi keseimbangan antara:

  • Pemahaman nilai kehambaan di hadapan Allah
  • Kedudukan persaudaraan di hadapan manusia

Hal ini diperkuat dengan:

Mengenal Allah melalui Asma’ dan Sifat Kesempurnaan-Nya, serta mengasihi manusia sebagaimana kita mengasihi diri sendiri.
Dengan kebersihan hati dan kecerdasan yang bijak, barulah seseorang layak digolongkan sebagai Ahlu al-Jannah (golongan ahli surga).


Adab Akhlak Hamba Allah

  • Tahu Diri
    Menyadari bahwa dirinya hanyalah hamba Allah yang tidak layak mengangkat diri ke kedudukan mulia.

  • Kenal Diri
    Jiwa yang menjauhi sifat ‘ujub (merasa hebat), yakni sadar akan kekurangan lahir dan batin, serta yakin bahwa tak ada kebaikan yang diraihnya kecuali dengan izin dan bantuan dari Allah.

Hanya Allah yang mengetahui dan menilai apakah kita baik atau buruk.
Maka, takutlah kepada Allah!


Adab Mulia kepada Allah

Adab kepada Allah adalah:

  • Mengedepankan Allah dalam segala hal
    Menyegerakan perintah Allah dan mengemudiankan semua urusan selain Allah.
    Itu sebagai wujud syukur kepada Allah yang Maha Pengasih, Maha Penyayang, Maha Memberi, dan Maha Membalas kebaikan.

  • Bersungguh-sungguh dalam ta’zhim
    Menghadap Allah dengan penuh hormat, tunduk dan takut. Karena kita, hamba-Nya, tidak pernah luput dari dosa. Maka bersimpuhlah memohon ampunan, maaf, dan ridha-Nya.


Keseimbangan Empat

  1. Iman Syari’ati
    Melaksanakan amal taat berdasarkan keyakinan syari’ah, meski masih dalam tahap taqlid.

  2. Syari’at Imani
    Penghayatan amal dan iman secara nyata, dilatih oleh Allah melalui ujian hidup, dan dipersiapkan untuk menempuh jalan yang lurus.

  3. Iman Ichsani
    Hati mulai bersih, dan Allah menjadi satu-satunya tujuan dan kekasih.
    Dipersiapkan oleh Allah untuk mengenal-Nya lebih dalam.

  4. Iman Ma’rifati
    Telah sampai pada wushul—kedekatan dengan Allah, hatinya bersinar dengan Nur Allah, dan menjunjung tinggi Allah dalam ma’rifah yang dalam dan kokoh, bahwa Allah Maha Esa.




0 komentar:

Posting Komentar