Kamis, 12 Juni 2025

Aqidah Wahabi/Salafi Pemicu Takfir dan Pembid'ahan Kepada Kaum Muslimin Sunni

  

Mari kita bahas secara ilmiah dan sistematis aqidah Wahabi/Salafi terkait pengkafiran terhadap kaum Muslimin yang berbeda pendapat, khususnya dalam hal tawassul, tabarruk, istighatsah, dan penggunaan konsep tauhid rububiyyah-uluhiyyah yang menurut Ahlussunnah wal Jama’ah telah disalahgunakan.


🟥 1. Aqidah Wahabi: Membagi Tauhid Menjadi Tiga

Mereka membagi tauhid menjadi:

  1. Tauhid Rububiyyah: meyakini bahwa Allah adalah pencipta, pengatur, dan pemberi rezeki.
  2. Tauhid Uluhiyyah: mentauhidkan Allah dalam ibadah.
  3. Tauhid Asma' wa Sifat: meyakini nama dan sifat Allah sebagaimana adanya tanpa takwil.
➤ Konsep ini bukan berasal dari Al-Qur’an atau Sunnah secara eksplisit, tetapi dikembangkan oleh Ibnu Taimiyah dan dijadikan dasar utama oleh Muhammad bin Abdul Wahhab dalam mengkafirkan Muslim lain.

🟥 2. Pengkafiran Berdasarkan Tauhid Uluhiyyah

📌 Klaim Wahabi:

Mereka menyatakan:

“Kaum musyrikin Quraisy dahulu beriman kepada Allah dalam rububiyyah, tetapi kafir dalam uluhiyyah. Demikian pula umat Islam hari ini yang bertawassul, tabarruk, ziarah kubur – itu syirik dalam uluhiyyah meski mereka shalat dan puasa.”

➡️ Akibatnya: mereka mengkafirkan mayoritas umat Islam yang melakukan amalan-amalan yang dianggap mengandung syirik kecil maupun besar, termasuk:

  • Bertawassul dengan Nabi ﷺ
  • Berziarah ke makam wali
  • Membaca tahlil berjamaah
  • Mengucapkan "Ya Rasulallah, unzhurna" (minta syafaat)

🟩 3. Jawaban Ahlussunnah wal Jama’ah

✅ 1. Tauhid Tidak Terbagi Tiga Secara Tekstual

Para ulama Asy’ariyah dan Maturidiyah menyatakan bahwa pembagian tauhid menjadi 3 bagian bukan berasal dari Al-Qur’an atau hadis, dan pembagian tersebut lebih banyak merusak pemahaman awam.

Imam Al-Ghazali, Imam Fakhruddin Ar-Razi, Imam As-Sanusi, dan ulama besar lainnya tidak membagi tauhid seperti itu.


✅ 2. Kaum Musyrikin Arab Dulu Tidak Beriman Sama Sekali

🔹 Klaim Wahabi salah dalam menyatakan kaum musyrikin Quraisy hanya kafir dalam uluhiyyah.
Al-Qur’an menjelaskan bahwa mereka tidak benar-benar beriman kepada Allah, meskipun mengakui penciptaan.

📖 QS. Al-Ankabut: 61

“Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka: ‘Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?’ Niscaya mereka akan menjawab: ‘Allah’.”

➡️ Namun ini tidak disebut iman dalam aqidah karena:

📖 QS. Yusuf: 106

“Dan sebagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah kecuali dalam keadaan menyekutukan-Nya.”

🔹 Maka mereka tidak bisa disebut beriman kepada Allah dalam rububiyyah, karena:

✅ Tauhid rububiyyah tidak berdiri sendiri sebagai bentuk iman. Jika seseorang menyekutukan Allah dalam doa, ibadah, atau keyakinan – maka ia tidak disebut muwahhid dalam rububiyyah.


🟩 4. Hukum Orang Jahil di Zaman Dahulu

✅ Menurut Ahlussunnah wal Jama’ah:

Orang awam di zaman dulu yang berbuat syirik belum tentu kafir, jika:

  1. Belum sampai dakwah secara benar
  2. Tidak mengerti bahwa amalnya menyimpang
  3. Tidak melakukannya karena menentang Allah dan Rasul

➡️ Maka mereka tetap berada dalam hukum asal sebagai Muslim, selama tidak ada bukti bahwa mereka menolak ajaran Islam secara sadar.


🟩 5. Mengapa Wahabi Mudah Mengkafirkan?

Karena mereka:

  • Menganggap semua bentuk perantara (tawassul/tabarruk/ziarah) sebagai ibadah kepada selain Allah.
  • Tidak membedakan antara syirik akbar (besar) dan syirik dalam bahasa umum (seperti menyebut sesuatu "penolong")
  • Menganggap umat Islam yang awam dan ulama besar terdahulu berada dalam kesesatan selama berabad-abad, kecuali kelompok mereka.

🟦 Kesimpulan dari Ahlussunnah Wal Jama’ah

✅ Ahlussunnah menegaskan:

"Tidak setiap yang tidak dilakukan Nabi berarti bid’ah sesat."
"Tidak setiap kekeliruan berarti kekufuran."


📚 Referensi Ulama ASWAJA:

  • Imam Nawawi (Syarh Muslim, Al-Majmu’)
  • Imam Asy-Syathibi (Al-I’tisham)
  • Imam Al-Ghazali (Ihya’, Al-Munqidz)
  • Imam Sanusi (Ummul Barahin)
  • Imam Subki, Imam Suyuthi, Imam Ibn Hajar, Imam Alusi, dll.


Pengkafiran Akibat Trilogi Tauhid 

Trilogi Tauhid dalam doktrin Wahabi-Salafi merujuk pada pembagian tauhid menjadi tiga bagian utama, yaitu:


🔺 1. Tauhid Rububiyyah (توحيد الربوبية)

❖ Pengertian:

Meyakini bahwa Allah adalah satu-satunya:

  • Pencipta (Al-Khaliq),
  • Pengatur alam (Al-Mudabbir),
  • Pemberi rezeki (Ar-Razzaq),
  • Yang menghidupkan dan mematikan.

❖ Dalil yang mereka gunakan:

QS. Az-Zukhruf: 87
“Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka: ‘Siapakah yang menciptakan mereka?’ niscaya mereka menjawab: ‘Allah’. Maka bagaimana mereka bisa dipalingkan (dari kebenaran)?”

❖ Kritik dari Ahlussunnah:

Pembenaran bahwa kaum musyrik Arab dahulu bertauhid dalam rububiyyah namun kafir dalam uluhiyyah adalah klaim tidak tepat, karena Al-Qur’an juga menyebut mereka tetap menyekutukan Allah bahkan dalam rububiyyah-Nya.


🔺 2. Tauhid Uluhiyyah (توحيد الألوهية)

❖ Pengertian:

Meyakini bahwa hanya Allah yang berhak disembah, dan segala bentuk ibadah harus ditujukan hanya kepada-Nya. Mereka menyebut syirik uluhiyyah sebagai:

  • Berdoa kepada selain Allah,
  • Bertawassul kepada Nabi ﷺ atau wali,
  • Mencari berkah dari kubur ulama,
  • Istighatsah dan sebagainya.

❖ Dalil yang mereka gunakan:

QS. Al-Fatihah: 5
“Iyyāka na‘budu wa iyyāka nasta‘īn”
“Hanya kepada-Mu kami menyembah dan hanya kepada-Mu kami meminta pertolongan”

QS. Al-A'raf: 194
“Sesungguhnya sembahan-sembahan yang kalian seru selain Allah itu adalah hamba-hamba seperti kalian juga.”

❖ Kritik dari Ahlussunnah:

Ahlussunnah menegaskan bahwa tawassul, tabarruk, dan istighatsah tidak berarti menyembah selain Allah, melainkan bentuk wasilah atau permohonan syafaat yang diperbolehkan dalam syariat — dengan dalil dari Al-Qur’an, hadits, dan amalan para sahabat.


🔺 3. Tauhid Asma’ wa Sifat (توحيد الأسماء والصفات)

❖ Pengertian:

Meyakini bahwa Allah memiliki nama dan sifat sebagaimana disebut dalam Al-Qur’an dan Sunnah, tanpa ta’wil (penafsiran), tahrif (mengubah makna), tamtsil (menyerupakan), atau ta’thil (menolak sifat).

❖ Dalil yang mereka gunakan:

QS. Asy-Syura: 11
“Laysa kamitslihi syai’un wa huwa as-Sami’ul Bashir”
“Tidak ada sesuatu pun yang menyerupai-Nya, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”

❖ Ciri pemahaman mereka:

  • Menolak ta’wil sifat Allah seperti "yad" (tangan), "wajh" (wajah), "istiwa" (bersemayam), dan cenderung memaknai secara zahir (tekstual) tanpa tafsiran kalam.
  • Menuduh Asy’ariyyah dan Maturidiyyah melakukan ta’wil batil atau jahmiyah.

❖ Kritik dari Ahlussunnah:

Ahlussunnah menjelaskan bahwa memahami sifat-sifat Allah secara literal menyeret kepada tasybih (penyerupaan Allah dengan makhluk). Maka, para ulama seperti Imam Nawawi, Imam Baihaqi, Imam Al-Ghazali, Imam Fakhruddin Ar-Razi, dan lain-lain memaknai sifat-sifat tersebut secara takwil bila diperlukan, agar tidak terjebak dalam pemahaman mujassimah (yang menyerupakan Allah dengan makhluk).


🟥 Kritik Umum Ahlussunnah wal Jama'ah terhadap Trilogi Wahabi:

  1. Pembagian ini tidak dikenal di masa salaf, bahkan tidak ada dalam kitab-kitab aqidah klasik seperti Aqidah Imam Abu Hanifah, Imam Asy'ari, Imam Maturidi, Imam Nawawi, dan Imam Al-Ghazali.
  2. Digunakan sebagai alat mengkafirkan umat Islam, yang bertawassul, tabarruk, istighatsah, dll.
  3. Dibangun atas logika Ibnu Taimiyyah, dan dihidupkan oleh Muhammad bin Abdul Wahhab untuk menjustifikasi pemberontakan terhadap umat Islam di Hijaz dan sekitarnya.


Salah satu perbedaan mendasar dalam cara menafsirkan Surah Al-Māidah ayat 3 antara Wahabi/Salafi dan Ahlussunnah wal Jama'ah (Sunni), khususnya dalam hal pemahaman "kesempurnaan Islam".


📖 Teks Ayat Al-Māidah: 3 (kutipan relevan)

"…Al-yawma akmaltu lakum dīnakum wa atmamtu ‘alaykum ni‘matī wa raḍītu lakumu al-islāma dīnān…"
"Hari ini telah Aku sempurnakan untuk kalian agama kalian, dan telah Aku cukupkan kepada kalian nikmat-Ku, dan telah Aku ridai Islam sebagai agama kalian…" (QS. Al-Māidah: 3)


🔍 Perbedaan Tafsir

1. Wahabi/Salafi:

  • Memaknai secara sempit dan tekstual bahwa "kesempurnaan agama" berarti Islam telah selesai secara final pada zaman Nabi ﷺ, dan:
    • Semua bentuk ibadah harus ada dasarnya dari Nabi ﷺ secara eksplisit.
    • Segala sesuatu yang tidak dicontohkan Nabi secara spesifik dianggap bid’ah, sesat, bahkan bisa sampai syirik.
    • Mereka mengklaim: "Agama ini sudah sempurna, tidak butuh tambahan!"

➤ Contoh kesalahan penerapan:

  • Menolak maulid, tahlilan, zikir berjamaah, tawassul, tabarruk, dsb.
  • Semua dianggap tidak sesuai “agama yang sempurna”.

2. Ahlussunnah wal Jama’ah (Sunni):

  • Memaknai kesempurnaan Islam sebagai:
    • Kesempurnaan sistem hukum Islam, yang:
      • Lengkap secara prinsip (ushul dan qawa'id)
      • Fleksibel dan adaptif lewat ijtihad, qiyas, istihsan, istishlah, dan sebagainya
    • Sempurna bukan berarti kaku dan tertutup, tetapi siap diterapkan sepanjang zaman oleh ulama yang mujtahid.

➤ Tafsir Para Ulama Ahlussunnah:

  • Imam Al-Qurthubi (w. 671 H):

    "Agama ini sempurna karena seluruh hal pokok dan prinsipnya telah ditetapkan oleh Allah. Adapun cabang-cabangnya terbuka untuk ijtihad para ulama."

  • Imam Fakhruddin Ar-Razi:

    "Kesempurnaan Islam adalah bahwa hukum-hukum pokok telah diturunkan. Sedangkan masalah-masalah baru bisa dipecahkan dengan qiyas, ijtihad dan prinsip umum syariat."


⚖️ Perbandingan Sederhana

Aspek

Wahabi / Salafi

Ahlussunnah Wal Jama'ah

Tafsir "Islam sempurna"

Semua ibadah harus persis seperti Nabi

Prinsip hukum sudah sempurna, cabang bisa dikembangkan

Sikap terhadap hal baru

Menolak semuanya (bid‘ah)

Diterima jika tidak bertentangan dengan ushul

Metode istinbat (pengambilan hukum)

Tidak mengakui qiyas, istihsan, dst.

Mengakui qiyas, ijtihad, istihsan, istishlah, ‘urf

Pandangan terhadap maulid, zikir jama‘i, dst.

Bid‘ah sesat

Boleh, asal tidak bertentangan syariat


📚 Dalil Tambahan Pendukung Pendekatan Ahlussunnah

  1. QS. An-Nahl: 89

    “…Kami turunkan kepadamu al-Kitab untuk menjelaskan segala sesuatu…”
    ➤ Maknanya: penjelasan prinsip dan dasar, bukan semua bentuk ibadah secara rinci.

  2. Hadis Muadz bin Jabal saat diutus ke Yaman (HR. Abu Dawud):

    "Bagaimana engkau akan memutuskan?"
    Muadz: "Dengan Kitabullah"
    Nabi: "Jika tidak engkau temukan?"
    Muadz: "Dengan Sunnah Rasulullah"
    Nabi: "Jika tidak engkau temukan?"
    Muadz: "Aku akan berijtihad dengan pendapatku."

    ➤ Rasulullah ﷺ membenarkan metode ijtihad.


✅ Kesimpulan:

  • Kesempurnaan Islam bukan berarti menutup ijtihad atau melarang kebijakan baru yang baik (bid‘ah hasanah).
  • Wahabi mengartikan secara tekstual dan kaku, sedangkan Sunni melihat bahwa Allah menyempurnakan agama dalam bentuk sistem dan prinsip, bukan menutup pintu kreativitas dalam koridor syariah.


    Berikut penjabaran komprehensif yang Anda minta, langsung ke poin-poin berikut:


    1. Contoh Bid‘ah Hasanah dari Sahabat dan Tabi’in

    Bid’ah Hasanah: perkara baru dalam agama yang tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan Sunnah, bahkan mendukung nilai-nilai syariat.

    🟢 Contoh dari Sahabat:

    1. Pengumpulan Al-Qur’an dalam satu mushaf

    • Oleh: Abu Bakar Ash-Shiddiq, atas usulan Umar bin Khattab (HR. Bukhari).
    • Tidak dilakukan oleh Nabi ﷺ, tapi disepakati para sahabat demi kemaslahatan.

    2. Adzan pertama untuk shalat Jum’at di luar masjid

    • Oleh: Utsman bin Affan (HR. Bukhari).
    • Nabi ﷺ hanya satu adzan, Utsman menambah satu adzan di pasar karena masjid sudah penuh.

    3. Penulisan ilmu hadis dan fiqh secara sistematis

    • Di masa Umar bin Abdul Aziz (Tabi’in).
    • Rasulullah ﷺ melarang menulis selain Al-Qur’an, tapi kemudian ditulis karena tuntutan zaman.

    4. Shalat Tarawih berjamaah dengan 20 rakaat

    • Oleh: Umar bin Khattab.
    • Ia berkata:

      "Sebaik-baik bid’ah adalah ini (ni’mat al-bid‘ah hadzihi)" (HR. Bukhari).


    2. Kesalahan Wahabi Menolak Qiyas dan Istihsan

    ❌ Kesalahan Wahabi:

    • Menolak penggunaan qiyas (analogi hukum) dan istihsan (memilih hukum terbaik secara maslahat).
    • Padahal, Imam Syafi’i, Hanafi, Maliki, dan Hanbali semua menggunakan qiyas dalam ushul fiqh mereka.

    🔍 Contoh Qiyas dan Istihsan:

    • Qiyas: Haramnya narkoba karena memabukkan → dianalogikan dengan khamr (QS. Al-Baqarah: 219).
    • Istihsan: Mengizinkan pengakuan wanita hamil tanpa wali dalam kondisi darurat (Mazhab Hanafi).

    🟢 Dalil Qiyas:

    • QS. An-Nisa: 59:

      “Jika kamu berselisih dalam suatu perkara, kembalikanlah kepada Allah dan Rasul…” → digunakan untuk memberi dasar kepada qiyas karena “berselisih” menuntut penalaran.

    • Kisah Muadz bin Jabal (HR. Abu Dawud): Rasulullah ﷺ membenarkan ijtihad dan qiyas.

    3. Perbandingan Ushul Fiqh 4 Mazhab vs Metode Wahabi

    Aspek

    Ahlussunnah (4 Mazhab)

    Wahabi / Salafi

    Qiyas

    Diterima

    Ditolak atau sangat dibatasi

    Istihsan

    Maliki, Hanafi menerima

    Tidak diterima

    Istishlah

    Maliki: ya; Syafi’i: terbatas

    Tidak diterima

    ‘Urf (adat/kebiasaan)

    Diakui sebagai dasar hukum

    Tidak diakui

    Sadduz zariah

    Digunakan untuk mencegah kemungkaran

    Jarang digunakan

    Metode pengambilan hukum

    Holistik, komprehensif, kontekstual

    Tekstual, literal, terbatas


    4. Bantahan ASWAJA terhadap Trilogi Tauhid Wahabi

    Trilogi Tauhid Wahabi:

    1. Tauhid Rububiyyah – mengesakan Allah sebagai Pencipta
    2. Tauhid Uluhiyyah – hanya Allah berhak disembah
    3. Tauhid Asma wa Shifat – menetapkan nama dan sifat Allah sesuai zahir

    🚫 Kritik ASWAJA:

    • Pembagian tauhid tiga ini tidak pernah disebut oleh Nabi atau sahabat, dan tidak dikenal dalam kitab-kitab ulama salaf.
    • Mengakibatkan pengkafiran terhadap Muslim yang melakukan tawassul, tabarruk, dsb.
    • Aswaja menolak tasybih (menyerupakan Allah dengan makhluk) dalam Tauhid Asma wa Shifat.

    🟢 Dalil ASWAJA:

    • Tauhid itu satu kesatuan, bukan dibagi-bagi secara filosofis buatan.
    • Imam Abu Hanifah (dalam Fiqh al-Akbar): tidak pernah membagi tauhid, tapi mengatakan:

      "Allah esa, tidak serupa dengan makhluk-Nya, tiada sekutu bagi-Nya, tidak berbentuk, tidak berjisim, tidak bertempat."


    5. Kutipan Ulama Salaf yang Tidak Membagi Tauhid seperti Wahabi

    UlamaKitabIsi Tauhid

    Imam Abu Hanifah

    Al-Fiqh Al-Akbar

    Tauhid: Allah esa, tidak ada sekutu, tidak berjasad, tidak duduk di Arsy

    Imam Asy’ari

    Al-Ibanah

    Menolak tasybih; tidak menyebut Tauhid Rububiyah-Uluhiyah

    Imam Nawawi

    Syarh Shahih Muslim

    Fokus pada tauhid zat dan perbuatan, bukan pembagian 3

    Imam Ghazali

    Ihya’ Ulumuddin

    Tauhid: ma’rifatullah yang mendalam, bukan klasifikasi teknis

    Imam Al-Qurthubi

    Tafsirnya

    Tidak pernah membagi tauhid seperti Wahabi


    6. Sejarah Penggunaan Konsep Trilogi Tauhid dalam Politik

    📜 Tokoh: Muhammad bin Abdul Wahhab (w. 1206 H)

    • Menggunakan trilogi tauhid ini dalam koalisi politik dengan Dinasti Saud di Najd (abad ke-18).
    • Menjadi dasar legitimasi untuk:
      • Menyerang kaum Muslimin yang dianggap musyrik
      • Menghalalkan darah dan harta umat Islam yang tak sepaham
      • Mengkafirkan penduduk Hijaz dan Syam karena tawassul dan ziarah kubur

    📌 Contoh Kekejaman:

    • Penyerangan Karbala tahun 1802 oleh pasukan Wahabi:

      Ribuan Muslim dibunuh karena dianggap penyembah kubur.

    • Penyerangan Makkah dan Madinah, menghancurkan kubah makam, termasuk maqam Ibrahim dan rumah sahabat.

    🟢 Kesimpulan:

    • ASWAJA mengedepankan dalil yang kontekstual, menyeluruh, dan tidak kaku dalam menafsirkan agama.
    • Trilogi Tauhid adalah inovasi Wahabi yang digunakan untuk memvonis sesat umat Islam lainnya, bukan warisan ulama salaf.
    • Kitab-kitab aqidah salaf tidak mengenal pembagian ini, dan justru menekankan keagungan dan keesaan Allah tanpa menyerupakan-Nya dengan makhluk.
    • Ushul fiqh Wahabi bersifat dangkal dan literal, berbeda dengan 4 mazhab utama yang ilmiah dan bijaksana.


    Berikut analisis ilmiah dan historis mengenai ideologi Wahabi Salafi dalam konteks akidah, khususnya:


    🧠 ANALISIS: Trilogi Tauhid dan Akidah Wahabi


    🔸 1. Tauhid Rububiyyah, Uluhiyyah, Asma wa Shifat – Analisis Konsep

    a. Asal-usul konsep

    • Pembagian Tauhid Rububiyyah, Uluhiyyah, dan Asma’ wa Shifat tidak pernah dikenal dalam kitab para ulama salaf sebelum Ibn Taimiyyah dan Muhammad bin Abdul Wahhab.
    • Ini adalah formulasi pasca-klasik, lalu dijadikan tolok ukur iman atau kekafiran, padahal tidak disebut dalam Al-Qur'an maupun hadis dengan klasifikasi seperti itu.

    b. Kesalahan mendasar

    • Membatasi tauhid hanya pada aspek ibadah fisik, sehingga menuduh tawassul, ziarah kubur, atau minta doa dari orang saleh (yang hidup maupun wafat) sebagai kesyirikan uluhiyyah.
    • Tauhid Asma’ wa Shifat digunakan secara literal:

      “Allah punya tangan, wajah, turun ke langit dunia,” tanpa tafwidh, takwil, atau tanzih, sehingga jatuh ke tasybih (penyerupaan).

    c. Akibat dari kesalahan ini

    • Umat Islam yang melakukan amalan yang berakar dari tradisi sahabat dan tabi’in dianggap musyrik, walau tidak menyembah selain Allah.
    • Mereka mengkafirkan umat Islam dari luar gerakan mereka dengan istilah-istilah seperti: quburiyyun, ahlul bid’ah, musyrik, kafir, dsb.

    🔸 2. Kesalahan Fatal dalam Penafsiran Wahabi atas Surah Al-Māidah ayat 3:

    "Hari ini telah Aku sempurnakan agama kalian..."

    🔍 Penafsiran Wahabi:

    • Semua amalan agama harus ada contohnya secara eksplisit dari Nabi ﷺ, jika tidak maka bid’ah sesat.

    📚 Tafsir Ahlussunnah:

    • Yang dimaksud kesempurnaan agama adalah:
      1. Sempurna sistem pengambilan hukum (melalui dalil-dalil dan metode ushul).
      2. Sempurna prinsip-prinsipnya – bisa menjawab perubahan zaman.
    • Imam Asy-Syathibi:

      "Syariat diturunkan untuk mewujudkan maslahat dan menolak mafsadat. Maka, semua hukum yang bersesuaian dengan itu, meski baru, bukan bid’ah yang sesat."


    🔸 3. Politik Kekuasaan di Balik Trilogi Tauhid

    📜 Fakta Sejarah:

    • Muhammad bin Abdul Wahhab bersekutu dengan Muhammad bin Saud (Najd) untuk:
      • Menguasai Hijaz
      • Mengklaim kekhalifahan
      • Menghapus pengaruh Mazhab Syafi'i dan Maliki di Hijaz

    🎯 Tujuan pembagian tauhid ini:

    • Menjustifikasi bahwa umat Islam mayoritas telah menyimpang dari Islam murni.
    • Memberi "izin ideologis" untuk menyerang mereka, mengkafirkan, bahkan membunuh, karena dianggap musyrik.
    • Membuka jalan bagi legitimasi kekuasaan politik Dinasti Saud melalui klaim pemurnian Islam.

    ⚖️ PERBANDINGAN: Ahlussunnah vs Wahabi dalam Ushul Akidah

    AspekAhlussunnah Wal Jama’ahWahabi Salafi

    Konsep tauhid

    Satu kesatuan: ma’rifat Allah secara holistik

    Dibagi ke dalam tiga (trilogi)

    Akidah tentang sifat Allah

    Tasybih dilarang; tafwidh atau takwil digunakan

    Sifat dipahami secara tekstual (antropomorfis)

    Sikap pada bid’ah

    Ada bid’ah hasanah dan bid’ah dhalalah

    Semua bid’ah adalah sesat

    Tawassul & tabarruk

    Dibenarkan dengan dalil-dalil sahih

    Dianggap syirik

    Pandangan pada umat Islam

    Berhusnuzhan; tidak mudah mengkafirkan

    Mudah mengkafirkan


    📌 Contoh Konkrit Akibat Kesalahan Wahabi

    1. Menganggap kaum Muslimin yang membaca shalawat dengan nama-nama wali sebagai musyrik.
    2. Menuduh ribuan ulama besar seperti Imam Nawawi, Al-Ghazali, Al-Suyuthi, dan Al-Haddad sebagai ahlul bid’ah.
    3. Menolak hadits shahih yang membolehkan tawassul dan istighatsah.
    4. Mengafirkan kaum Muslim awam yang tidak mengenal istilah Rububiyyah–Uluhiyyah.

    📚 Referensi Tambahan (untuk kajian lebih lanjut):

    1. Al-Milal wa al-Nihal – Imam Asy-Syahrastani
    2. Al-Ibanah – Imam Abu Hasan Al-Asy’ari
    3. Fath al-Bari – Imam Ibn Hajar
    4. Al-Maqashid al-Hasanah – As-Sakhawi
    5. Al-I’tisham – Imam Asy-Syathibi
    6. Bughyatul Mustarsyidin – Sayyid Abdurrahman Ba’Alawi
    7. Asyraful Wasail – Habib Abdullah bin Alawi Al-Haddad


    Berikut pembuktian bahwa para ulama salaf – dari generasi sahabat, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in – berziarah kubur dan bertabarruk (mengambil keberkahan) yang diakui oleh para ulama Ahlussunnah wal Jama’ah. Ini menggugurkan klaim Wahabi/Salafi bahwa amalan ini adalah bid'ah atau syirik.


    🔹 1. Ziarah Kubur Diajarkan Nabi ﷺ

    📖 Hadis Sahih:

    "Dulu aku melarang kalian ziarah kubur, maka sekarang berziarahlah, karena ziarah itu mengingatkan pada akhirat."
    — HR. Muslim no. 977

    Ziarah kubur bukan hanya sekadar ‘izin’, tapi dianjurkan karena mendidik rohani, dan Nabi ﷺ berziarah ke Baqi’ dan Uhud secara rutin.


    🔹 2. Nabi ﷺ Menziarahi dan Mendoakan Kubur

    Nabi ﷺ datang ke makam Baqi’ tiap malam, mendoakan mereka:

    “Assalamu ‘alaikum ya ahl al-qubur… kami insyaAllah akan menyusul kalian…”
    — HR. Muslim

    📌 Ini menunjukkan bahwa doa untuk penghuni kubur adalah sunnah, dan bertabarruk dengan tempat para shalih adalah bagian dari tradisi Nabi ﷺ.


    🔹 3. Para Sahabat Bertabarruk dengan Nabi ﷺ dan Tempat Beliau

    ✅ Contoh riwayat sahih:

    a. Bertabarruk dengan bekas air wudhu Nabi ﷺ

    "Para sahabat berebut air wudhu Nabi ﷺ untuk mengusap tubuh mereka dengan berkahnya."
    — HR. Bukhari no. 189

    b. Ummu Salamah menyimpan rambut Nabi ﷺ

    "Jika ada orang sakit, ia mencelupkan rambut Nabi ﷺ ke dalam air dan memberi minum padanya."
    — HR. Bukhari no. 5715

    📌 Ini adalah tabarruk fisik (jasadiyah) dan telah diamalkan para sahabat terkemuka.


    🔹 4. Para Tabi’in dan Ulama Salaf Menziarahi Makam dan Bertabarruk

    ✅ Imam Malik (w. 179 H)

    "Makruh mengangkat suara di sisi makam Nabi ﷺ dan sebaiknya menghadap ke makam dan berdoa di sana."
    — Diriwayatkan oleh Al-Qadhi ‘Iyadh dalam asy-Syifa’

    📌 Imam Malik menolak menghadap kiblat di sisi makam Nabi ﷺ saat berdoa, karena menurutnya lebih afdhal menghadap ke makam Nabi ﷺ.


    ✅ Imam Ahmad bin Hanbal (w. 241 H)

    Ditanya tentang berdoa di sisi makam Nabi ﷺ, beliau berkata:

    “Ya, tidak mengapa.”

    Juga diriwayatkan bahwa beliau mendukung bertabarruk di sisi makam Nabi ﷺ.

    📚 Lihat dalam Manasik karya Imam Ahmad dan al-Mughni karya Ibn Qudamah (Hanbali).


    🔹 5. Ziarah ke Makam Para Wali dan Bertabarruk

    ✅ Imam Syafi’i (w. 204 H)

    Sering ziarah ke makam Imam Abu Hanifah di Baghdad dan berdoa di sana.
    — Diriwayatkan oleh al-Khatib al-Baghdadi dalam Tarikh Baghdad, 1/123

    Imam Ahmad juga berziarah ke makam Syafi’i.


    ✅ Imam Nawawi (w. 676 H)

    Dalam al-Adzkar, beliau menulis:

    "Disunnahkan berziarah ke makam orang saleh untuk mengambil berkah dan mendoakan mereka."


    🔹 6. Konsensus Ulama ASWAJA tentang Bolehnya Tabarruk dan Ziarah

    📘 Imam Ibn Hajar al-Haitami (Syafi’i):

    “Disunnahkan bertabarruk dengan peninggalan orang-orang saleh karena ada banyak riwayat shahih dari para sahabat dan tabi’in.”
    — al-Fatawa al-Haditsiyyah


    📘 Imam Jalaluddin As-Suyuthi:

    Dalam Al-Khasa’is al-Kubra dan Al-Hawi lil Fatawi, beliau menjelaskan bahwa:

    Ziarah ke makam Nabi dan para wali adalah amalan utama dan membawa berkah.


    🔹 7. Fatwa Ulama Empat Mazhab

    MazhabFatwa tentang Ziarah Kubur Nabi & Wali

    Hanafi

    Mustahabb, bahkan dianggap ibadah

    Maliki

    Disunnahkan, dengan adab dan penghormatan

    Syafi’i

    Sangat dianjurkan, bagian dari adab Islam

    Hanbali

    Dibenarkan, bahkan dianjurkan (pendapat Imam Ahmad)


    🔚 Kesimpulan

    ✔ Ziarah kubur dan tabarruk adalah praktik sahabat, tabi’in, dan ulama salaf yang tidak bisa disebut bid’ah atau syirik.
    ✔ Ahlussunnah wal Jama’ah melestarikan ajaran ini berdasarkan nas sahih, ijma’, dan praktik salaf.
    ✔ Wahabi menentangnya dengan menuduh syirik, padahal tuduhan ini bertentangan dengan praktik generasi awal Islam.



    PEMBAHASAN LANJUTAN:

    • 📌 Dalil-dalil dzikir jahr (keras)
    • 📌 Dalil doa berjamaah seperti qunut
    • 📌 Penjelasan pembagian bid’ah hasanah dan dhalalah
    • 📌 Kesalahan Wahabi menolak qiyas dan istihsan


    Berikut ini dalil-dalil dzikir jahr (dzikir keras/terdengar) yang menjadi dasar amalan Ahlussunnah wal Jama’ah dan menolak tuduhan Wahabi bahwa dzikir jahr adalah bid'ah atau haram:


    🔹 1. Dalil dari Al-Qur'an

    📖 Surah Al-A'raf: 205

    “Dan sebutlah (dzikirlah) Tuhanmu dalam hatimu dengan rendah hati dan rasa takut, dan tidak dengan suara yang keras, pada waktu pagi dan petang; dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai.”
    (QS. Al-A'raf: 205)

    🔍 Jawaban ulama tafsir: Ayat ini tidak melarang dzikir keras secara mutlak, tapi menganjurkan dzikir khafi (pelan) dalam konteks tertentu, bukan menolak jahr. Bahkan dzikir jahr ada dalilnya tersendiri.


    🔹 2. Dalil dari Hadis Nabi ﷺ

    ✅ HR. Bukhari & Muslim:

    "Ketika selesai salat, Nabi ﷺ berdzikir dengan suara keras, sehingga orang yang berada di luar masjid bisa mendengarnya."
    — HR. Bukhari no. 841, Muslim no. 583

    📌 Ini menunjukkan dzikir jahr adalah sunnah Nabi ﷺ setelah shalat fardhu berjamaah.


    ✅ HR. Bukhari:

    Ibnu Abbas berkata:
    “Aku tahu telah selesai salat mereka ketika aku mendengar takbir.”
    — HR. Bukhari no. 805

    🔍 Para ulama menjelaskan bahwa para sahabat bertakbir keras setelah shalat, bukan sekadar untuk diri sendiri, tetapi menghidupkan suasana dzikir jamaah.


    🔹 3. Dalil Praktik Sahabat

    ✅ Dari Ibnu Abbas (ra):

    “Aku tahu mereka telah selesai salat dari suara dzikir keras.”
    — HR. Bukhari & Muslim

    📌 Ini adalah dzikir jahr berjamaah setelah shalat yang menunjukkan dzikir bukan hanya boleh, tapi pernah dilakukan sahabat.


    🔹 4. Dzikir Jahr dalam Takbiran dan Hari Raya

    ✅ HR. Bukhari:

    "Perbanyaklah takbir kepada Allah atas petunjuk-Nya."
    (QS. Al-Baqarah: 185) → Diperkuat dengan hadis: "Para sahabat mengucapkan takbir keras di jalan, pasar, masjid pada hari raya."
    — HR. Bukhari bab “Al-‘Idayn”

    📌 Takbir hari raya adalah contoh dzikir keras yang disunnahkan.


    🔹 5. Ijma’ dan Pendapat Ulama Salaf

    ✅ Imam Nawawi (Syafi’i):

    “Dibolehkan dzikir jahr setelah shalat selama tidak ada gangguan. Bahkan itu sunnah sebagaimana praktik Nabi ﷺ dan para sahabat.”
    — Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, 3/488


    ✅ Imam An-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim:

    “Hadis ini menjadi dasar disyariatkannya dzikir keras setelah salat.”


    🔹 6. Fatwa Ulama Mazhab Empat

    Mazhab

    Hukum Dzikir Jahr

    Hanafi

    Sunnah, selama tidak mengganggu orang

    Maliki

    Boleh, apalagi jika untuk pengajaran atau membiasakan

    Syafi’i

    Sunnah, berdasarkan hadis sahih

    Hanbali

    Sunnah dan dilakukan oleh Nabi ﷺ dan sahabat


    🔚 Kesimpulan

    ✔ Dzikir jahr adalah sunnah berdasarkan hadis-hadis sahih dan praktik para sahabat.
    ✔ Bukan bid’ah atau haram, sebagaimana dituduhkan oleh kalangan Wahabi/Salafi.
    ✔ Ulama dari empat mazhab membolehkannya bahkan menganggapnya sunnah.



      Berikut adalah dalil-dalil doa berjamaah seperti qunut (baik Qunut SubuhQunut Nazilah, maupun bentuk doa kolektif lainnya) beserta bantahan terhadap anggapan Wahabi/Salafi bahwa hal ini bid‘ah:


      ✅ 1. Dalil Qunut Subuh (Doa Jamaah Rutin di Subuh)

      📖 Hadis dari Anas bin Malik:

      "Rasulullah ﷺ senantiasa berqunut pada shalat Subuh hingga beliau wafat."
      — HR. Ahmad, Baihaqi, dan lainnya, sanad hasan menurut Imam Nawawi

      📌 Ini menjadi dalil utama mazhab Syafi’i dan diamalkan oleh Ahlussunnah wal Jama’ah.
      Wahabi menolak dengan anggapan bahwa hadis ini lemah, padahal para imam besar seperti Imam Nawawi dan Al-Baihaqi mensahihkan.


      📖 Hadis lainnya (Sahih Bukhari dan Muslim):

      "Nabi ﷺ pernah berqunut selama sebulan mendoakan kebinasaan untuk orang-orang kafir yang membunuh para sahabat."
      — HR. Bukhari no. 1009, Muslim no. 677

      📌 Ini adalah Qunut Nazilah, dilakukan bersama jamaah dan secara berjamaah (diucapkan imam, diaminkan makmum).


      ✅ 2. Ijma’ Ulama Mazhab Tentang Qunut Subuh

      MazhabHukum Qunut Subuh
      HanafiTidak dilakukan di Subuh kecuali Qunut Nazilah
      MalikiDilakukan kadang-kadang
      Syafi’iSunnah muakkadah, setiap hari di Subuh
      HanbaliDilakukan hanya untuk Qunut Nazilah

      📌 Mayoritas ulama membolehkan, hanya berbeda pendapat waktu dan keistikamahan.


      ✅ 3. Doa Kolektif Setelah Shalat

      📖 HR. Bukhari:

      "Ketika Rasulullah ﷺ selesai salat, beliau duduk sejenak, lalu memanjatkan doa."

      📌 Dalam banyak riwayat, para sahabat mengamini doa Rasulullah — ini adalah doa berjamaah, walau tidak serentak mengucapkannya.


      ✅ 4. Doa Bersama di Kesempatan Lain

      📖 Doa Rasulullah ﷺ bersama para sahabat:

      "Saat terjadi hujan, Rasulullah ﷺ berdoa bersama para sahabat mengangkat tangan memohon hujan."
      — HR. Bukhari dan Muslim (Doa Istisqa’ Berjamaah)

      📌 Ini menunjukkan doa bersama bukan bid'ah, karena dilakukan oleh Nabi ﷺ dan sahabat.


      ✅ 5. Dalil dari Sahabat dan Ulama Salaf

      ✅ Umar bin Khattab berdoa qunut saat jadi imam:

      "Umar memimpin shalat dan berdoa qunut, dan para sahabat mengaminkannya."
      — HR. Baihaqi, Ibn Abi Syaibah

      📌 Ini doa berjamaah, diaminkan oleh seluruh makmum. Ahlussunnah menjadikannya dalil amaliyah.


      🛡️ Bantahan terhadap Wahabi yang Menyatakan Bid'ah

      Wahabi sering berkata:

      "Qunut itu tidak dilakukan Nabi ﷺ secara terus menerus, maka itu bid‘ah."

      🧭 Jawaban Ahlussunnah:

      • Tidak semua yang tidak dilakukan Nabi secara rutin berarti bid’ah. Sebab, ada beberapa sunnah ghairu muakkadah yang tidak terus-menerus, tapi tetap sah dilakukan.
      • Qunut Subuh dilakukan oleh para sahabat besar, seperti:
        • Umar bin Khattab
        • Ubay bin Ka'ab
        • Anas bin Malik
        • Bahkan Ali bin Abi Thalib

      📌 Maka siapa yang mencela Qunut Subuh sebagai bid'ah, berarti mencela para sahabat besar Nabi ﷺ.


      🔚 Kesimpulan

      ✅ Doa berjamaah seperti Qunut Subuh dan Qunut Nazilah memiliki dasar kuat:

      • Hadis sahih
      • Amalan para sahabat
      • Disepakati oleh mazhab Syafi’i dan dibolehkan oleh mazhab lain
      • Tidak ada larangan yang tegas dalam syariat
      • Praktik ini tidak bertentangan dengan prinsip tauhid


        Berikut penjelasan lengkap mengenai pembagian bid‘ah menurut Ahlussunnah wal Jama‘ah, beserta dalil dan bantahan terhadap klaim Wahabi/Salafi yang menolak adanya bid‘ah hasanah:


        🔹 APA ITU BID’AH?

        Secara bahasa:

        Bid‘ah (البدعة): sesuatu yang baru dibuat tanpa ada contoh sebelumnya.

        Secara istilah syariat (menurut jumhur ulama):

        Sesuatu yang baru dalam agama yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syariat dan tidak ditolak oleh nash.


        🔹 PEMBAGIAN BID’AH MENURUT ULAMA ASWAJA

        Mayoritas ulama Ahlussunnah wal Jama‘ah, seperti Imam Asy-Syafi’i, Imam Nawawi, Al-‘Izz bin Abdissalam, membagi bid‘ah menjadi lima hukum taklifi:

        1. ✅ Bid‘ah Wajibah (yang diwajibkan)

        Contoh:

        • Mempelajari ilmu nahwu untuk menjaga Al-Qur’an
        • Menulis mushaf dalam bentuk kitab

        2. ✅ Bid‘ah Mandubah (yang dianjurkan)

        Contoh:

        • Mendirikan madrasah atau pesantren
        • Menulis kitab-kitab ilmu

        3. ✅ Bid‘ah Mubahah (yang dibolehkan)

        Contoh:

        • Menggunakan pengeras suara untuk adzan
        • Makan makanan tertentu saat Maulid

        4. ❌ Bid‘ah Makruhah (yang dibenci)

        Contoh:

        • Berlebihan dalam menghias masjid

        5. ❌ Bid‘ah Muharramah / Dhalalah (yang sesat/terlarang)

        Contoh:

        • Meyakini Nabi baru setelah Muhammad ﷺ
        • Menambah rukun Islam atau rukun iman

        📖 DALIL BID’AH HASANAH

        1. Hadis Nabi ﷺ:

        "Barang siapa yang membuat dalam Islam suatu sunnah yang baik (سنة حسنة), maka ia mendapat pahala dan pahala orang-orang yang mengikutinya."
        — HR. Muslim no. 1017

        ✅ Ini dalil paling jelas bahwa ada inovasi yang baik dalam agama.


        2. Perkataan Imam Syafi’i:

        "Apa yang tidak bertentangan dengan Al-Qur’an, Sunnah, ijma’, atau atsar, maka ia tidak disebut bid’ah yang tercela."
        — Diriwayatkan oleh Imam Al-Baihaqi dalam Manaqib Asy-Syafi‘i


        3. Perkataan Umar bin Khattab saat memerintahkan shalat Tarawih berjamaah:

        "Sebaik-baik bid‘ah adalah ini."
        — HR. Bukhari no. 2010

        📌 Bukti bahwa para sahabat sendiri menyebut amalan yang baru sebagai bid‘ah hasanah.


        🛡️ BANTAHAN TERHADAP WAHABI YANG MENOLAK BID’AH HASANAH

        Wahabi/Salafi sering mengutip:

        "Setiap bid‘ah adalah sesat." — HR. Abu Dawud

        🧭 Jawaban Ulama ASWAJA:

        • Kata "kullu (كلّ)" dalam bahasa Arab tidak selalu berarti ‘semua tanpa kecuali’, tergantung konteks.
        • Contoh: "Segala sesuatu pasti binasa kecuali wajah-Nya" (QS. Al-Qashash: 88) → tapi surga dan neraka tidak binasa.
        • Imam Nawawi menjelaskan: "Yang dimaksud adalah setiap bid‘ah yang menyelisihi syariat."

        📚 PENDAPAT ULAMA SALAF & KHALAF

        🔸 Imam Nawawi (w. 676 H):

        “Bid‘ah terbagi menjadi lima, dan tidak setiap bid‘ah adalah sesat.”

        🔸 Imam ‘Izzuddin bin Abdissalam:

        “Bid‘ah dilihat dari tujuan dan dampaknya, bisa wajib, sunah, haram, dan sebagainya.”

        🔸 Imam Al-Baihaqi:

        “Pembukuan ilmu, penambahan adzan Jum’at kedua oleh Utsman — semuanya termasuk bid‘ah hasanah.”


        ✅ CONTOH BID’AH HASANAH YANG DISETUJUI ULAMA:

        AmalanPenjelasan

        Penulisan mushaf dalam satu kitab

        Diperintahkan Abu Bakar dan Umar (bid‘ah hasanah)

        Shalat tarawih berjamaah selama Ramadhan

        Disebut oleh Umar sebagai "bid‘ah yang paling baik"

        Adzan dua kali di hari Jumat

        Ditetapkan oleh Utsman bin ‘Affan

        Perayaan Maulid Nabi ﷺ

        Tidak ada di zaman Nabi, tapi dibenarkan karena mengingatkan umat pada Nabi

        Menggunakan mic, pengeras suara, mimbar tinggi

        Tidak ada di masa Nabi, tapi tidak bertentangan syariat


        🔚 KESIMPULAN

        ✅ Bid’ah hasanah adalah bagian dari kekayaan ijtihad umat Islam.
        ✅ Ahlussunnah tidak menolak hal baru selama tidak bertentangan dengan Al-Qur’an, Hadis, dan maqashid syariah.
        ❌ Wahabi mengeneralisasi semua bid’ah sebagai sesat, padahal itu bertentangan dengan pemahaman para sahabat dan imam mujtahid.



        Berikut penjelasan tentang kesalahan Wahabi/Salafi dalam menolak Qiyas dan Istihsan, disertai argumentasi dan dalil Ahlussunnah wal Jama‘ah:


        🔹 APA ITU QIYAS DAN ISTIHSAN?

        ✅ Qiyas

        Adalah menetapkan hukum suatu perkara baru yang tidak disebutkan secara eksplisit dalam Al-Qur’an atau Hadis, dengan cara membandingkannya (analogi) kepada perkara lain yang sudah ada hukumnya, berdasarkan ‘illat (alasan hukum) yang sama.

        Contoh Qiyas:

        Meng-qiyaskan narkoba kepada khamr, karena keduanya sama-sama memabukkan → Haram.


        ✅ Istihsan

        Adalah meninggalkan qiyas jali (yang nampak) demi kemaslahatan yang lebih kuat dengan dasar dalil syar‘i lain (nash, ijma‘, dharurat, atau ‘urf).

        Contoh Istihsan:

        Air sumur yang terkena najis di kampung terpencil tidak otomatis dihukumi najis seperti qiyas air sedikit, karena dharurat → dihukumi tetap suci.


        ❌ PENOLAKAN WAHABI

        Wahabi/Salafi cenderung:

        • Menolak istihsan karena dianggap menggunakan hawa nafsu.
        • Menerima qiyas terbatas dan dengan syarat sangat sempit, kadang hanya mengandalkan zhahir nash saja.
        • Lebih cenderung tekstual (literal) dalam memahami nash tanpa memperhatikan maqashid atau illat hukum.

        Tokoh seperti Ibnu Taimiyah dan Muhammad bin Abdul Wahhab sangat membatasi qiyas dan menolak istihsan.


        🛡️ BANTAHAN AHLUSSUNNAH WAL JAMĀ‘AH

        🔸1. DALIL-DALIL QIYAS

        a. Al-Qur’an:

        "Maka ambillah (kejadian) itu untuk menjadi pelajaran (ibrah), wahai orang-orang yang berakal."
        (QS. Al-Hasyr: 2)

        ➡ Ayat ini menunjukkan keharusan mengambil analogi/pelajaran dari kejadian terdahulu → dasar qiyas syar‘i.

        b. Hadis Mu‘adz bin Jabal:

        Rasulullah ﷺ bertanya saat mengutus Mu’adz ke Yaman:
        "Dengan apa kamu akan memutuskan?"
        "Dengan Kitabullah."
        "Jika tidak ada?"
        "Dengan Sunnah Rasul."
        "Jika tidak ada?"
        "Aku akan berijtihad dengan pendapatku."
        Rasul pun bersabda, “Segala puji bagi Allah yang telah memberi taufiq kepada utusan Rasul-Nya.”
        — HR. Abu Dawud, Tirmidzi (hasan)

        ➡ Ini dalil qiyas dan ijtihad dalam syariat.

        c. Ijma’ para sahabat:

        Para sahabat menggunakan qiyas dalam banyak perkara baru yang tidak ada nash-nya, misalnya:

        • Abu Bakar dan Umar meng-qiyaskan zakat kuda
        • Ibnu Abbas meng-qiyaskan kafarat pembunuhan seperti kafarat zihar

        🔸2. DALIL-DALIL ISTIHSAN

        a. Sabda Nabi ﷺ:

        "Haram bagi umatku apa yang membahayakan mereka."
        — HR. Ibn Majah

        ➡ Jika qiyas membawa bahaya, istihsan digunakan untuk menghindari mudarat → menjaga maqashid syariah.

        b. Kaidah Fiqih:

        "Darurat membolehkan yang terlarang."
        Contoh: Orang kelaparan boleh makan bangkai → bukan qiyas biasa, tapi istihsan berbasis darurat.


        📚 PENDAPAT ULAMA EMPAT MAZHAB

        🔹 Imam Abu Hanifah:

        • Qiyas: Sangat digunakan.
        • Istihsan: Disebut sebagai "kekuatan ijtihad yang tinggi."

        🔹 Imam Malik:

        • Menggunakan qiyas dan juga istihsan berdasarkan maslahat mursalah.

        🔹 Imam Syafi‘i:

        • Menerima qiyas dengan syarat ketat.
        • Tidak menolak istihsan secara mutlak, tapi menolaknya jika tanpa dasar syar‘i.

        🔹 Imam Ahmad bin Hanbal:

        • Menggunakan qiyas.
        • Menolak istihsan yang tidak berdasar pada nash atau atsar.

        🧭 Artinya: Empat mazhab menerima qiyas dan istihsan, meskipun dengan pendekatan berbeda-beda.


        ❌ KESALAHAN WAHABI

        1. Menolak istihsan secara mutlak, padahal:

          • Diperlukan dalam kondisi darurat, maslahat umum, atau tak ada nash.
          • Dipakai oleh sahabat dan imam mujtahid.
        2. Memaksa syariat hanya pada zhahir nash tanpa melihat illat (sebab hukum) dan maqashid (tujuan syariat).

        3. Menganggap semua hal baru sebagai bid’ah, padahal syariat memiliki mekanisme ijtihad, qiyas, dan istihsan.


        🔚 KESIMPULAN

        ✅ Qiyas dan istihsan adalah bagian sah dari ushul fiqh Islam.
        ✅ Diakui dan digunakan oleh para sahabat dan imam 4 mazhab.
        ❌ Menolak qiyas dan istihsan berarti menolak sarana penting dalam pengembangan hukum Islam.
        ❌ Pandangan Wahabi yang literal dan kaku menjadikan mereka sempit dalam memahami keluwesan syariat.



        KESIMPULAN:

        Kesimpulan dari “Mengapa Wahabi/Salafi bersikap buruk terhadap Sunni Ahlussunnah wal Jama‘ah (ASWAJA)?” dapat diringkas sebagai berikut:


        💠 KESIMPULAN UTAMA:

        Karena perbedaan cara pandang terhadap dalil, metode istinbath (pengambilan hukum), dan pendekatan terhadap tradisi Islam, Wahabi/Salafi cenderung bersikap eksklusif, kaku, dan tekstual — sehingga menganggap Ahlussunnah wal Jama‘ah (ASWAJA) sesat, bahkan musyrik, padahal ASWAJA memiliki dasar keilmuan yang kokoh dan bersambung kepada para ulama salaf.


        🔍 Penjelasan Rinci:

        1. Perbedaan Manhaj Ushul Fiqh

        • ASWAJA (Mazhab 4) menggunakan nash, ijma’, qiyas, istihsan, mashlahah mursalah, dan perangkat ijtihad lainnya.
        • Wahabi hanya mengandalkan zhahir nash (tekstual literal) dan menolak ijtihad yang bersifat maslahat, qiyas luas, dan istihsan.
        • Akibatnya, banyak amalan yang hidup di kalangan Sunni dianggap “bid’ah” oleh mereka.

        2. Kekakuan dalam Memahami Tauhid

        • Wahabi memaksakan pembagian tauhid 3 serangkai (rububiyah, uluhiyah, asma’ wa shifat) dan mengkafirkan orang yang tidak memahaminya seperti mereka.
        • ASWAJA memahami tauhid dengan pendekatan 20 sifat wajib Allah dan menjaga adab dalam takfir (mengafirkan orang).

        3. Salah Faham terhadap Bid‘ah

        • Wahabi menolak bid’ah hasanah, padahal banyak sahabat dan tabi‘in melakukannya (seperti shalat tarawih berjamaah, kodifikasi Al-Qur’an, dan azan Jumat dua kali).
        • Mereka menyamaratakan semua hal baru sebagai sesat, tanpa membedakan antara "bid’ah madzmumah (tercela)" dan "bid’ah hasanah (baik)".

        4. Kurangnya Koneksi Ilmiah terhadap Sanad Ulama

        • ASWAJA menjunjung tinggi sanad keilmuan (mata rantai guru) yang bersambung sampai Nabi ﷺ.
        • Wahabi banyak mengambil rujukan dari tokoh internal mereka sendiri, seperti Ibnu Taimiyah atau Muhammad bin Abdul Wahhab, tanpa terikat dengan jaringan sanad ulama muktabar.

        5. Latar Belakang Politik dan Gerakan

        • Gerakan Wahabi muncul bukan sekadar gerakan keilmuan, tapi juga didorong oleh aliansi politik dengan kekuasaan (Dinasti Saud).
        • Untuk melegitimasi kekuasaan, mereka menganggap yang tidak sepaham sebagai musuh agama.

        ⚠️ Akibat Sikap Ini:

        • Mereka menyesatkan, membid’ahkan, bahkan mengkafirkan sebagian besar umat Islam yang menjalankan amalan turun-temurun.
        • Muncul konflik internal umat Islam yang tajam, padahal yang mereka serang justru adalah ajaran mayoritas umat Islam sepanjang zaman, yaitu ajaran Ahlussunnah wal Jama‘ah.

        🛡️ ASWAJA Tidak Membalas dengan Kebencian

        ASWAJA tetap menjawab tuduhan mereka dengan:

        • Ilmu,
        • Dalil dari Al-Qur’an, Hadis, dan pendapat ulama salaf,
        • Adab terhadap sesama Muslim,
        • Doa agar kaum yang keras kembali kepada jalan ilmu dan rahmat.

        ✅ Penutup:

        “Perbedaan Wahabi dengan ASWAJA bukan soal siapa lebih cinta sunnah, tapi siapa yang lebih dalam ilmunya, lebih lurus sanadnya, dan lebih luas maqasid-nya.”

         



        — (Ulama ASWAJA)



        ┌──────────────────────────────────────────────────────┐

                             │            AHLUSSUNNAH WAL JAMA'AH (ASWAJA)         │

                             └──────────────────────────────────────────────────────┘

                                        │

                                        ▼

                          Metode: Ushul Fiqh 4 Mazhab (Hanafi, Maliki, Syafi'i, Hanbali)

                                        │

           ┌──────────────────────────────────────────────────────────────────────────┐

           │ Menggunakan:                                                             │

           │ - Al-Qur’an & Hadis                                                      │

           │ - Ijma’ (Konsensus Ulama)                                                │

           │ - Qiyas (Analogi)                                                        │

           │ - Istihsan, Maslahah, Sadd Dzari’ah (Pertimbangan Kemaslahatan)         │

           └──────────────────────────────────────────────────────────────────────────┘

                                        │

                                        ▼

                     Amalan yang dituduh "bid’ah" oleh Wahabi tetap dilakukan

                 seperti: tawassul, ziarah kubur, qunut, maulid, dzikir jahr

                                        │

                                        ▼

                Dilandasi oleh: Dalil, praktik salaf, kaidah hukum, dan maqasid syari’ah


        ────────────────────────────────────────────────────────────────────────────────────


                             ┌──────────────────────────────────────────────────────┐

                             │                  WAHABI / SALAFI                     │

                             └──────────────────────────────────────────────────────┘

                                        │

                                        ▼

                      Metode: Literal tekstualis & trilogi tauhid (bid'ah baru)

                                        │

           ┌──────────────────────────────────────────────────────────────────────────┐

           │ Hanya menerima:                                                          │

           │ - Al-Qur’an & Hadis secara literal                                      │

           │ - Menolak qiyas luas, istihsan, maslahah mursalah                       │

           │ - Menganggap semua amalan yang tidak dicontohkan Nabi sebagai bid’ah    │

           └──────────────────────────────────────────────────────────────────────────┘

                                        │

                                        ▼

                   Menyesatkan: Tawassul, Ziarah Kubur, Qunut, Maulid, dll

                                        │

                                        ▼

           Sikap: Mengkafirkan/Memusyrikkan Sunni yang beramal tanpa memahami konteks


        ────────────────────────────────────────────────────────────────────────────────────


                      ⚠️ SIKAP WAHABI SALAFI TERHADAP ASWAJA:  


            ╭──────────────────────────────────────────────────────────╮

            │ - Bid’ah → Sesat → Neraka                                │

            │ - Tawassul → Syirik besar                                │

            │ - Maulid → Bid’ah yang menyesatkan                       │

            │ - Doa bersama & dzikir jahr → Inovasi terlarang          │

            │ - Qiyas & istihsan → Penambahan dalam agama              │

            ╰──────────────────────────────────────────────────────────╯


        ────────────────────────────────────────────────────────────────────────────────────


                           🔍 KESIMPULAN VISUAL:

             Wahabi Salafi ≠ ASWAJA bukan karena cinta sunnah,

             tapi karena perbedaan **metode, sanad, keluasan fikih, dan maqashid**.



        0 komentar:

        Posting Komentar