Nilai-nilai kehambaan seseorang, seperti Iman, Ichsan, dan Irfan kepada Allah SWT, mencerminkan tingkat kedalaman hubungan spiritual dan penghambaan manusia kepada Tuhan. Berikut penjelasan setiap nilai:
1. Iman (Kepercayaan yang kokoh kepada Allah)
- Merupakan dasar dari kehambaan.
- Iman membuat seseorang yakin bahwa hanya Allah yang menciptakan, mengatur, dan memberi petunjuk.
- Kehambaan dalam iman tampak dalam kepasrahan total (tawakkal), ketaatan tanpa syarat, dan menjauhi larangan-Nya.
2. Ichsan (Beribadah seolah melihat Allah)
- Ichsan adalah puncak keindahan dalam kehambaan.
- “Engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihat-Nya. Jika tidak, yakinlah bahwa Allah melihatmu.” (HR. Bukhari-Muslim)
- Ini menciptakan kesungguhan dalam ibadah, ketulusan niat, dan akhlak mulia dalam semua aspek kehidupan.
3. Irfan (Makrifat atau pengenalan hakiki terhadap Allah)
- Merupakan pemahaman batin yang mendalam tentang nama, sifat, dan kehendak Allah.
- Irfan melahirkan kehambaan yang tidak tergantung pada pahala atau takut siksa, tetapi karena cinta kepada Allah.
- Orang arif merasa tidak memiliki apa pun, termasuk dirinya, dan tunduk total kepada Allah.
Makna Terdalam dari "Wa Iyyāka Nasta‘īn" (dan hanya kepada-Mu kami mohon pertolongan):
Makna literal:
- "Hanya kepada-Mu (ya Allah) kami meminta pertolongan."
Makna terdalam:
- Menegaskan tauhid af‘āl (mengesakan Allah dalam perbuatan).
- Mengakui bahwa tiada daya dan upaya kecuali dari Allah.
- Merendahkan diri sepenuhnya di hadapan-Nya, melepaskan segala kebergantungan kepada selain Allah.
- Menandakan kerapuhan makhluk dan keagungan Sang Khalik.
- Menyatu dengan hakikat kehambaan: kita tidak bisa beribadah tanpa pertolongan-Nya, bahkan untuk taat pun kita butuh ditolong-Nya.
Inilah puncak kehambaan: menyadari bahwa segala usaha, kekuatan, dan hasil, hanya bermakna jika ditopang oleh pertolongan Allah. Itulah sebabnya ayat ini datang setelah “Iyyāka na‘budu” — karena ibadah sejati tak mungkin tanpa isti‘ānah (pertolongan)-Nya.
Berikut kutipan dari para ULAMA SUFI mengenai makna terdalam dari "Iyyāka na‘budu wa iyyāka nasta‘īn", terutama dalam konteks kehambaan (ubūdiyyah) dan tauhid spiritual (tawḥīd af‘āl):
1. Imam al-Qushayri (w. 465 H) dalam al-Risālah al-Qushayriyyah:
"Al-‘Ubūdiyyah ḥaqīqatu-hā fī ẓuhūr al-‘ajzi wa l-inkisār, wa lā yakūnu taḥaqququhā illā bi isti‘ānah min Allāh."
Artinya: “Kehambaan sejati terletak pada tampaknya kelemahan dan kehancuran diri (di hadapan Allah), dan itu tidak bisa terwujud kecuali dengan pertolongan dari Allah.”
2. Abu Yazid al-Bisṭami (w. 261 H):
"Iyyāka na‘budu" – ay jarradnā al-‘ubūdiyyah laka, wa "iyyāka nasta‘īn" – ay a‘tarafnā bi ‘ajzinā ‘anhu illā bika."
Makna: “’Hanya kepada-Mu kami menyembah’ – maksudnya kami menelanjangi diri dari selain kehambaan kepada-Mu. Dan ‘hanya kepada-Mu kami mohon pertolongan’ – artinya kami mengakui bahwa kami lemah dalam ibadah itu sendiri kecuali dengan pertolongan dari-Mu.”
3. Al-Junayd al-Baghdadi (w. 298 H):
"Laysa al-‘ābidu ḥaqan man ‘abadahu bidūni isti‘ānahihi, bal huwa man waqqarahu fī qalbihi wa lam yaḥrukhū ḥatta ya’khudh ‘anhu al-quwwah."
Artinya: “Bukanlah hamba sejati orang yang beribadah tanpa pertolongan-Nya, melainkan yang hatinya tunduk kepada-Nya dan tidak bergerak kecuali setelah Dia memberi kekuatan.”
4. Ibnu ‘Aṭā’illah as-Sakandari (w. 709 H) dalam al-Ḥikam:
"Ajabun kayfa tuṭālibuhu bima huwa ṭālibuka bih – wa anta turīdu an tadkhulu ‘alayhi bighayri mā huwa dakhala bika fīhi."
Makna: “Sungguh mengherankan, engkau menuntut-Nya sesuatu yang justru Dia yang menuntut darimu – dan engkau ingin masuk kepada-Nya (melalui ibadah) tanpa Dia yang terlebih dahulu memasukkanmu ke dalamnya (melalui pertolongan).”
5. Syaikh ‘Abd al-Qadir al-Jilani (w. 561 H) dalam al-Fatḥ al-Rabbānī:
"Waqfuka ‘inda iyyāka na‘budu wa iyyāka nasta‘īn huwa taḥaqquq al-‘abd bi maqām al-faqr wa l-iftiqār, wa huwa aṣlu kulli ma‘rifah."
Maknanya: “Berhentinya hati seorang hamba pada ayat ‘Hanya kepada-Mu kami menyembah dan hanya kepada-Mu kami mohon pertolongan’ adalah puncak kesadaran akan kefakiran dan kebutuhan mutlak, dan itu adalah akar dari semua makrifat.”
Kesimpulan:
Para ulama sufi sepakat bahwa makna terdalam dari ayat ini adalah:
- Menyadari keterbatasan total manusia,
- Mengakui Allah sebagai satu-satunya sumber kekuatan,
- Menyatukan pengabdian (na‘budu) dan pengharapan (nasta‘īn) dalam satu tarikan napas keikhlasan.
Berikut tafsir makna "Iyyāka na‘budu wa iyyāka nasta‘īn" menurut Imam al-Ghazali, terutama sebagaimana termaktub dalam karya-karyanya seperti Ihya' ‘Ulum al-Din, Jawāhir al-Qur’ān, dan al-Maqṣad al-Asnā:
1. Dalam Ihya’ ‘Ulum al-Din (Kitab Shalat dan Makna Bacaan):
Imam Ghazali menjelaskan bahwa ayat ini mengandung:
- Tauhid niat: "Iyyāka na‘budu" adalah pengikhlasan ibadah hanya untuk Allah, tanpa riya atau pamrih.
- Tauhid amal: "Wa iyyāka nasta‘īn" adalah pengakuan bahwa amal tidak bisa dilakukan tanpa kekuatan dari Allah.
"Wa iyyāka nasta‘īn ya‘nī lā natawajjahu fī kulli ḥājah ilā ghayrika."
Artinya: “Dan hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan, artinya kami tidak akan menghadapkan diri dalam setiap kebutuhan kepada selain-Mu.”
Menurut Imam Ghazali, ayat ini adalah ikrar total tauhid dalam niat dan amal, dan menjadi kunci penyelamat dalam seluruh ibadah.
2. Dalam Jawāhir al-Qur’ān:
Al-Ghazali menyebut ayat ini sebagai bagian dari inti intisari Al-Qur’an, karena mengandung:
- Hakikat ‘ubūdiyyah (penghambaan mutlak),
- dan hakikat rubūbiyyah (keagungan Tuhan).
Ia menyatakan:
"Iyyāka na‘budu wa iyyāka nasta‘īn jam‘un bayna al-taḥaqquq bi-dzuliyyat al-‘abd wa ta‘aẓẓum al-rabb."
Artinya: “‘Hanya kepada-Mu kami menyembah dan hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan’ adalah gabungan antara kesadaran akan kehinaan hamba dan keagungan Tuhan.”
3. Dalam al-Maqṣad al-Asnā (syarh Asmā’ Allah al-Ḥusnā):
Imam Ghazali mengaitkan ayat ini dengan Nama Allah Al-Qawiyy (Yang Maha Kuat) dan Al-Mu‘īn (Yang Maha Penolong):
"Lā yaḥṣul ‘ibādah illā bi-quwwatin min Allāh, wa lā quwwata illā bi-isti‘ānah minhu."
Maknanya: “Ibadah tidak mungkin dilakukan kecuali dengan kekuatan dari Allah, dan kekuatan itu tidak datang kecuali dengan permohonan pertolongan kepada-Nya.”
Kesimpulan Tafsir Imam Ghazali:
- "Iyyāka na‘budu" = Puncak keikhlasan niat dan ibadah.
- "Wa iyyāka nasta‘īn" = Pengakuan lemah, total tawakkal dan bergantung hanya kepada Allah.
- Gabungan keduanya = Tauhid niat dan tauhid amal secara utuh.
Ia juga menekankan bahwa hamba sejati adalah orang yang:
"Tidak menyandarkan ibadahnya kepada amalnya, tapi kepada rahmat dan pertolongan Allah."
Berikut adalah tafsir makna "Iyyāka na‘budu wa iyyāka nasta‘īn" menurut Syaikh Muhyiddin Ibnu ‘Arabi (w. 638 H), terutama berdasarkan karya-karyanya seperti Futūḥāt al-Makkiyyah dan Fuṣūṣ al-Ḥikam:
1. Dalam Futūḥāt al-Makkiyyah:
Ibnu ‘Arabi menafsirkan ayat ini sebagai puncak dari tauhid tajalli dan syuhud (penyaksian ruhani), dengan makna sebagai berikut:
"Iyyāka na‘budu" – hādhā qawl al-‘abd al-muwahhid, alladhī lā yarā fi wujūdihī illā ḥaqqan wa lā yaḥtāj fī ‘ibādatihi illā ilayh.
Artinya: “’Hanya kepada-Mu kami menyembah’ adalah ucapan hamba yang benar-benar bertauhid, yang tidak melihat dalam eksistensinya kecuali Allah, dan tidak membutuhkan siapa pun dalam ibadahnya kecuali kepada-Nya.”
Menurut Ibnu ‘Arabi, hamba yang mencapai maqam ini tidak melihat dirinya sebagai pelaku ibadah, tetapi Allah-lah yang sedang beribadah melalui dirinya.
2. Dalam Fuṣūṣ al-Ḥikam (Ḥikmah Musawiyyah – Hikmah Nabi Musa):
Ibnu Arabi menjelaskan bahwa:
- "Na‘budu" adalah bentuk jamak (kami menyembah) karena ruh kolektif manusia—semua makhluk tunduk dalam ubudiyah.
- "Nasta‘īn" menunjukkan bahwa bahkan penghambaan itu sendiri memerlukan pertolongan dari yang diibadahi.
"Fī na‘budu yantafī al-iddi‘ā’, wa fī nasta‘īn yantaẓhir al-‘ajz al-maḥḍ."
Makna: “Dalam ‘kami menyembah’ gugurlah pengakuan diri (sebagai pemilik amal), dan dalam ‘kami memohon pertolongan’ tampaklah kelemahan mutlak.”
3. Prinsip Wahdatul Wujud (Kesatuan Wujud):
Ibnu ‘Arabi melihat bahwa:
- Hamba dan Tuhan tampak terpisah pada permukaan (na‘budu),
- namun di tingkat hakikat (syuhud), semua itu adalah manifestasi dari satu wujud: Allah sedang memuliakan diri-Nya melalui hamba-Nya.
"Fā ‘ibādatunā lahu hiya ‘ibādatuhu naḥwa nafsihi fī ẓuhūrihi binā."
Artinya: “Ibadah kita kepada-Nya adalah ibadah-Nya terhadap Diri-Nya dalam manifestasi-Nya melalui kita.”
Kesimpulan Maknawi versi Ibnu ‘Arabi:
- "Na‘budu" = Kita menyembah, tapi yang menyembah adalah Dia melalui kita.
- "Nasta‘īn" = Pertolongan bukan hanya untuk ibadah, tapi untuk melihat bahwa kita tidak punya kekuatan sama sekali.
- Kehambaan sejati = Sirnanya ego (fana) dan melihat hanya kehadiran Allah dalam setiap amal.
Berikut adalah tafsir makna "Iyyāka na‘budu wa iyyāka nasta‘īn" dari beberapa tokoh ulama besar lainnya, termasuk Imam Fakhruddin ar-Razi, Syekh Nawawi al-Bantani, dan tokoh sufi Nusantara, dengan penekanan pada aspek kehambaan (ubūdiyyah) dan kedalaman makna spiritualnya:
1. Imam Fakhruddin ar-Razi (w. 606 H) – dalam Tafsir al-Kabir:
Imam Razi menyebut ayat ini sebagai puncak tauhid dan sumber akhlak para nabi. Ia mengurai empat makna:
- Pembatasan ibadah hanya kepada Allah – menolak syirik lahir maupun batin.
- Ikrar kelemahan total manusia – karena semua amal butuh bantuan Allah.
- Tawassul dengan amal baik (na‘budu) untuk minta pertolongan (nasta‘īn).
- Menunjukkan bahwa semua usaha duniawi dan ukhrawi harus diawali dengan permohonan pada Allah.
"Wa iyyāka nasta‘īn fī jamī‘ al-umūr, min al-dīn wa al-dunyā, wa huwa ta‘liq al-‘ibādah bi al-tafkīr fī qudrah Allāh."
Artinya: “Dan hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan dalam semua urusan, agama maupun dunia, karena semua ibadah hanya berhasil dengan kekuatan dari Allah.”
2. Syekh Nawawi al-Bantani (w. 1314 H) – dalam Tafsir Marah Labid:
Sebagai ulama besar Nusantara, Syekh Nawawi memberikan penjelasan yang halus dan mendidik hati:
"Iyyāka na‘budu ma‘nahu: lā na‘budu ghayraka, ya‘nī lā nuṣallī wa lā nuṣawwim wa lā nu‘tikī wa lā nuzakkī illā laka."
Maknanya: “Kami tidak menyembah selain Engkau. Artinya: Kami tidak salat, tidak puasa, tidak berzakat, tidak bersedekah kecuali karena-Mu.”
Beliau menjelaskan bahwa “na‘budu” adalah syarat diterimanya amal (ikhlas), dan “nasta‘īn” adalah pengakuan bahwa kita tidak mampu beramal tanpa Allah.
Syekh Nawawi juga menekankan bahwa ini adalah doa rahasia seorang hamba, yang murni ditujukan hanya kepada Allah.
3. Tokoh Sufi Nusantara – misalnya Syekh Siti Jenar (versi tasawuf Jawa):
Dalam ajaran tasawuf lokal seperti yang berkembang dalam kisah-kisah Syekh Siti Jenar, meskipun sebagian kontroversial, makna “iyyāka na‘budu” dipahami dalam semangat manunggaling kawula-Gusti:
“Abdi sejati iku kang ilang saking aku, wujudku tinggal Panjenenganipun Gusti.”
("Hamba sejati adalah yang telah lenyap dari egonya, tinggal hanya Tuhan yang tampak.")
Dalam pendekatan ini:
- "Na‘budu" adalah sirna diri di hadapan Tuhan,
- "Nasta‘īn" adalah pasrah total, karena hanya Tuhan yang mampu menyempurnakan kehambaan itu sendiri.
Makna ini sejalan dengan paham fana’ dan baqa’ dalam tasawuf.
Kesimpulan dari Tiga Tafsir Ini:
Tokoh | Makna "Na‘budu" | Makna "Nasta‘īn" | Penekanan |
---|---|---|---|
Imam Razi | Ibadah murni karena Allah | Segala kekuatan berasal dari-Nya | Rasional dan teologis |
Syekh Nawawi | Ikhlas total dalam amal lahir dan batin | Ikrar kelemahan hamba | Sufi-fiqih mendidik hati |
Sufi Nusantara | Sirna ego dalam kehambaan | Total pasrah diri kepada Gusti | Manunggaling kawula-Gusti |
Berikut adalah tafsir mendalam "Iyyāka na‘budu wa iyyāka nasta‘īn" dari para sufi besar: Imam al-Qusyairi, Imam al-Junaid al-Baghdadi, dan Ibnu ‘Ajibah, dengan penekanan pada maqāmāt (tingkatan ruhani) dan rahasia ubūdiyyah:
1. Imam Abul Qasim al-Qusyairi (w. 465 H) – Lata’if al-Isyarat:
Dalam tafsir isyari-nya, beliau berkata:
"Na‘budu li-annā ‘abīd, wa nasta‘īn li-annā ḍu‘afā’."
Artinya: “Kami menyembah karena kami hamba, dan kami memohon pertolongan karena kami lemah.”
Ia menjelaskan bahwa dua bagian ini mewakili dua maqām utama dalam sulūk sufi:
- ‘Ubūdiyyah (pengakuan kehambaan),
- Iftiqar (kesadaran akan kefakiran mutlak kepada Allah).
Catatan: Menurut al-Qusyairi, siapa yang menyembah tanpa merasakan kelemahan dan butuh pertolongan Allah, ibadahnya terhijab oleh dirinya sendiri.
2. Imam Junaid al-Baghdadi (w. 298 H) – Imam Ahl at-Tasawuf:
Diriwayatkan beliau berkata tentang ayat ini:
"Al-‘ubūdiyyah jawhar laẓīf, ẓāhiruhā khidmah, wa bāṭinuhā ru’yah."
Artinya: “Kehambaan adalah permata halus, lahirnya adalah pelayanan, batinnya adalah penyaksian (ru'yah).”
Makna "Na‘budu":
- Bentuk lahir: salat, puasa, amal-amal jasmani.
- Hakikatnya: kesaksian bahwa hanya Allah yang layak dilayani, dan hamba tak memiliki daya.
Makna "Nasta‘īn":
- Tidak cukup niat dan amal, semua butuh cahaya pertolongan Ilahi.
- Bahkan kemampuan untuk berserah pun datang dari Allah.
3. Imam Ahmad bin ‘Ajibah (w. 1224 H) – Bahr al-Madīd fī Tafsīr al-Qur’ān al-Majīd:
Ibnu ‘Ajibah membagi makna ayat ini dalam 3 tingkatan hamba:
A. Hamba ‘Āmmah (awam):
Menyembah karena pahala dan takut neraka.
Memohon pertolongan dalam kebutuhan dunia dan akhirat.
B. Hamba Khāṣṣah (kekasih Allah):
Menyembah karena syukur dan cinta.
Memohon pertolongan dalam menjaga keikhlasan dan kelestarian hubungan batin dengan Allah.
C. Hamba Khāṣṣ al-Khāṣṣ (maqām fana’):
Tidak menyembah kecuali Allah melalui dirinya.
Tidak meminta apa pun kecuali kelestarian musyahadah.
Beliau berkata:
"La ‘ibādah li-l-‘abd, innamā huwa majlā laẓhūr al-‘ubūdiyyah fī al-ḥaqq."
Artinya: “Tidak ada ibadah bagi hamba sejati, ia hanyalah cermin tempat terpantulnya penghambaan oleh Allah sendiri.”
Kesimpulan Tiga Tafsir Sufi Ini:
Tokoh | Na‘budu | Nasta‘īn | Ciri Khusus |
---|---|---|---|
Al-Qusyairi | Kehambaan mutlak | Fakir mutlak | Tidak boleh sombong dalam ibadah |
Junaid | Lahir: khidmah, Batin: ru’yah | Semua kekuatan dari Allah | ‘Ubūdiyyah adalah permata batin |
Ibnu ‘Ajibah | Tiga maqam ibadah | Pertolongan sesuai maqam | Fana’: Allah menyembah melalui kita |
Bagan Perbandingan Tafsir Makna “Iyyāka Na‘budu wa Iyyāka Nasta‘īn”
1. Bagan Visual (Tabel Ringkas) – Perbandingan Tokoh
Tokoh/Ulama | Tafsir "Na‘budu" (Kehambaan) | Tafsir "Nasta‘īn" (Pertolongan) | Fokus/Spesialisasi |
---|---|---|---|
Imam al-Ghazali | Mengosongkan hati dari selain Allah | Hanya Allah sandaran dalam amal & ujian | Tazkiyatun nafs (penyucian jiwa) |
Imam Fakhruddin ar-Razi | Ibadah sebagai puncak tauhid | Segala usaha bersandar pada Allah | Teologi-falsafi |
Syekh Nawawi al-Bantani | Ikhlas dalam amal lahir dan batin | Amal butuh pertolongan Allah | Fikih-sufistik Nusantara |
Syekh Siti Jenar | Sirna ego: manunggaling kawula-Gusti | Pasrah mutlak, tidak merasa memiliki daya | Tasawuf Jawa |
Imam Qusyairi | Hamba karena tak memiliki apa-apa | Lemah, butuh Allah di tiap langkah | Maqāmāt ruhaniyah |
Imam Junaid al-Baghdadi | Khidmah lahir, ru'yah batin | Pertolongan datang saat fana diri | ‘Ubūdiyyah hakiki |
Ibnu ‘Ajibah | 3 maqām hamba (awam, kekasih, fana') | Pertolongan sesuai tingkat ruhani | Tafsir isyari-sufistik |
2. Makna Terdalam dari “Wa iyyāka nasta‘īn” (Kami hanya kepada-Mu meminta pertolongan):
- Makna bahasa: Pemusatan permintaan hanya kepada Allah (mengandung penegasan/takhsis).
- Makna akhlak: Pengakuan bahwa segala kekuatan bukan milik kita.
- Makna spiritual: Hanya dengan pertolongan Allah-lah kita mampu menjadi hamba.
Intinya: Setiap ibadah sejati memerlukan dua hal: ikhlas (na‘budu) dan taufiq (nasta‘īn). Tanpa keduanya, ibadah hanyalah gerakan lahir tanpa ruh.
Tambahan dari Jalaluddin Rumi (dalam Mathnawi):
"Saat kau berkata 'iyyāka na‘budu', Allah menjawab dari dalam hatimu: 'Aku-lah tujuanmu.' Dan ketika kau berkata 'iyyāka nasta‘īn', Dia menjawab: 'Aku-lah kekuatanmu.'"
Rumi mengajarkan bahwa setiap ayat ini adalah dialog cinta, bukan sekadar bacaan. Ruh kita sedang berbicara dengan Allah, dan Allah membalas dari kedalaman qalbu kita.
Berikut adalah tafsir dan penghayatan “Iyyāka na‘budu wa iyyāka nasta‘īn” menurut tradisi Wali Songo, yang diwariskan melalui suluk, tembang, dan pengajaran tarekat. Meskipun tidak semua Wali Songo menulis kitab, ajaran mereka diwariskan secara lisan dan melalui santri-santri mereka, lalu terdokumentasi dalam bentuk suluk, serat, dan nadzam:
1. Sunan Kalijaga – Simbolisme dan Makrifat Kejawen
Penafsiran beliau lebih simbolik dan sufistik.
- "Na‘budu" dimaknai sebagai “ngelmu kasampurnan” – ibadah bukan sekadar gerak, tapi perjalanan menyempurnakan ruhani agar mengenal siapa dirinya dan siapa Tuhannya.
- "Nasta‘īn" adalah “pangruwating manungsa” – manusia hanya akan bisa berjalan menuju Allah jika dituntun oleh cahaya (nur Ilahi), bukan sekadar akal atau usaha sendiri.
Ajaran beliau dalam tembang:
"Sembah raga, sembah cipta, sembah rasa, sembah sukma."
Ibadah sejati (na‘budu) harus melalui semua lapisan jiwa, dan kekuatan untuk mencapai "sembah sukma" hanya datang dari pertolongan Allah (nasta‘īn).
2. Sunan Bonang – dalam Suluk Wujil dan Kitab Bonang
Beliau menulis suluk tentang maqām ruhani yang sesuai dengan ayat ini.
- "Na‘budu" adalah maqām taubat → wara‘ → zuhud → sabar → tawakal → ridha → mahabbah.
- "Nasta‘īn" adalah penyadaran bahwa setiap maqām ini tak dapat dicapai tanpa sirr Ilahi, yakni bantuan batin dari Allah.
Petikan Suluk Bonang:
“Tan ana dayaning anglakoni tapa tanpa sih kawelasaning Pangeran.”
Artinya: Tidak ada kemampuan untuk bertapa (beribadah) tanpa kasih dan pertolongan dari Tuhan.
3. Sunan Giri – Pendidikan dan Akidah Umum
Beliau menekankan aspek akidah yang murni dan tauhid.
- "Na‘budu" adalah bentuk pendidikan untuk memurnikan niat anak-anak dan santri dalam menyembah hanya Allah (bukan karena warisan atau budaya).
- "Nasta‘īn" adalah pelajaran bahwa keberhasilan dakwah dan pendidikan hanya berhasil bila Allah menolong hati manusia.
Sunan Giri mengajarkan ayat ini dalam bentuk tembang dolanan anak-anak agar meresap sejak kecil, contoh:
Sluku-sluku bathok, isine ketan...
Mengandung makna tasawuf halus tentang kehidupan dan penghambaan.
4. Sunan Kudus – Tauhid dalam Syariat dan Rahmat
Menyatukan syariat, akhlak, dan toleransi.
- "Na‘budu": ibadah harus mengikuti aturan syariat Nabi tapi dengan ruh kasih.
- "Nasta‘īn": pertolongan datang jika ibadah disertai dengan kasih dan rahmat bagi makhluk.
Inti Ajaran Wali Songo tentang Ayat Ini:
Aspek | Na‘budu | Nasta‘īn |
---|---|---|
Sunan Kalijaga | Ibadah sebagai jalan makrifat dan laku batin | Pertolongan Allah dalam suluk batin |
Sunan Bonang | Maqām ruhani yang harus ditempuh | Mustahil dicapai tanpa sirr Ilahi |
Sunan Giri | Tauhid murni sejak dini | Keberhasilan dakwah hanya dengan taufiq |
Sunan Kudus | Syariat dengan akhlak lembut | Pertolongan datang pada yang berkasih |
0 komentar:
Posting Komentar