Jumat, 30 Mei 2025

PUISI CINTA HIDUPKU


Menapaki Kehidupan


Menapaki tajamnya kehidupan
Terjalnya hawa nafsu
Liciknya iblis dengan para setan setan durjananya
Hendak meluluh lantakkan jiwa

Metafora adalah gaya bahasa yang menggambarkan sesuatu dengan membandingkannya secara implisit dengan sesuatu yang lain, tanpa menggunakan kata “seperti” atau “bagai.” Pada puisi ini, sudah terdapat metafora kuat, misalnya:

  • “Menapaki tajamnya kehidupan” → kehidupan digambarkan seperti jalan penuh benda tajam.
  • “Terjalnya hawa nafsu” → nafsu digambarkan seperti tanjakan terjal yang sulit didaki.
  • “Liciknya iblis dengan para setan setan durjananya” → iblis dan setan disimbolkan sebagai tokoh licik yang menggoda manusia.
  • “Meluluh lantakkan jiwa” → menggambarkan serangan batin atau kehancuran mental secara dramatis.


Menapaki Tajamnya Kehidupan


Kehidupan, sebilah pedang tanpa gagang
Menusuk telapak iman tanpa ampun
Setiap langkah, pertarungan sunyi
Antara langit yang memanggil
Dan jurang yang menggoda bisu

Hawa nafsu — gunung es dalam dada
Tampak kecil di permukaan
Namun menghanyutkan kapal jiwa dalam sekejap
Licik, halus, berwajah cermin
Memantulkan keinginan yang bukan milik nurani

Iblis — dalang di balik tirai dunia
Setan-setan durjananya, bidak dalam catur takdir
Menari di pori-pori waktu
Menyusup di celah-celah ragu
Mengendap dalam kata-kata manis
Untuk merobek keteguhan dengan benang tipis

Namun jiwa bukanlah tanah liat
Yang mudah dibentuk tangan kotor
Ia adalah bara dalam perut bumi
Yang menunggu dihembus angin tauhid




JIWA MERDEKA


Teriknya dunia bak mentari menyeringai dengan nyala
Membakar dengan api sengat bara Menyengat jiwa yang enggan berlindung
Al Qur'an mengarakkan awan putih kesejahteraan
As Sunnah membentangkan kesejukan keindahan
Jiwa yang bergayut pada Tali Tuhan Esa
Mereka Selamat Aman Sentosa
Lindungan Langsung dari Arsy Kuasa ilaahi
Tak ada selain yang membahagiakan jiwa
Memasuki relung relung pesona Sang Maha Indah tiada tara




Puisi ini menggambarkan perjuangan jiwa di tengah panasnya dunia, lalu berpaling kepada kesejukan wahyu dan kasih sayang Ilahi. Metafora yang digunakan sangat kuat — seperti:

  • “Mentari menyeringai dengan nyala” → matahari digambarkan seperti makhluk yang menyerang, bukan sekadar benda langit.
  • “Al-Qur'an mengarakkan awan putih kesejahteraan” → menggambarkan Al-Qur’an sebagai pembawa hujan rahmat dalam bentuk awan peneduh.
  • “Jiwa yang bergayut pada Tali Tuhan Esa” → jiwa digambarkan menggantungkan harapannya pada tali keselamatan dari Tuhan.
  • “Relung pesona Sang Maha Indah” → keindahan Ilahi digambarkan menembus ruang batin terdalam.


KOKOH DALAM JANJI


Namun cahaya iman
Menjulang dalam relung terdalam
Membakar kabut keraguan
Menjadi perisai dari godaan keji

Langkah tetap kukuh menapak
Meski duri menyayat kaki
Meski dunia menggoda hati
Karena jiwa telah berjanji

Takkan tunduk pada rayuan fana
Takkan goyah meski sendirian
Karena yang dituju bukan pujian
Melainkan ridha Tuhan yang Maha Kuasa



TERIKNYA DUNIA

Teriknya dunia —
bak mentari menyeringai nyala,
membakar dengan bara
menusuk jiwa yang enggan berlindung.

Namun Al-Qur’an,
mengarakkan awan putih kesejahteraan,
As-Sunnah membentang kain kesejukan
dalam keindahan yang tak dapat ditiru.

Jiwa-jiwa yang bergayut pada Tali Esa
dituntun menuju damai yang tak ternoda —
Selamat, Aman, Sentosa,
di bawah lindungan Arsy yang Agung.

Tiada yang membahagiakan jiwa
selain memasuk relung-relung pesona
Sang Maha Indah —
yang tiada tara.




DIA adalah DOA

Dia bukan sekadar nama di batas lidah,
Dia adalah desir lirih di dasar dada,
terucap tanpa suara,
mengalir sebelum kata,
menangis sebelum air mata.

Dia bukan hanya harap
yang disusun dalam baris lafaz,
Dia adalah bisik sunyi
yang tak sempat dijahit dalam bahasa,
namun mengguncang langit dengan maknanya.

Dia adalah doa
yang menyaru dalam rindu,
menyelinap di sela-sela sujud,
menetap di balik jeda,
menggantung pada cahaya.

Bukan sekadar permohonan
Dia adalah pertemuan —
antara kehinaan yang sujud
dan Keagungan yang Maha Mendengar.

Ketika dunia menutup pintunya,
Dia membuka cakrawala dari dalam dada.
Ketika lisan tak mampu berkata,
Dia menjadi gema di antara denyut dan jeda.

DIA adalah DOA
yang tak perlu dikejar
karena Dia adalah tempat pulang
sekaligus tujuan akhir
dari segala pengembaraan.




DIALAH KEPASTIAN BAHAGIA

Banyak yang mencari bahagia
di taman-taman semu dunia,
di riuh tawa yang cepat sirna,
di pelukan yang dingin tanpa makna.

Namun Dia...
bukan bayang di balik harap,
bukan janji yang larut dalam waktu,
Dia adalah kepastian —
yang tak tertulis di undian nasib,
tapi terpatri di Lauhul Mahfuzh dengan kasih.

DIA-lah bahagia
yang tidak menua bersama usia,
tidak layu oleh kecewa,
tidak rapuh meski seluruh dunia runtuh.

Bila semua pintu tertutup
dan tangis menjadi satu-satunya bahasa,
Dia adalah gerbang terbuka
yang tak pernah mengusir pulang siapa pun
yang datang dengan hati terluka.

Bila cinta menjadi luka,
Dia adalah balsem yang tak hanya menyembuhkan
tetapi menjadikan luka itu taman dzikir.

DIA bukan kemungkinan,
bukan harapan yang bisa gagal,
Dia adalah KEPASTIAN BAHAGIA
bagi yang rela kehilangan dunia
untuk menggenggam wajah-Nya dalam jiwa.




DIALAH KEPASTIAN BAHAGIA

Bila dunia hanya persinggahan,
dan harapan sering menjadi kabut pagi,
maka Dialah satu-satunya arah
yang tak pernah menipu hati.

Manusia datang dan pergi,
cinta tumbuh lalu layu kembali,
senyum bisa berbalik menjadi pisau,
pelukan pun bisa menyisakan perih yang dalam.
Namun tidak Dia.

Dia tak pernah mengingkari
janji-Nya kepada hati yang tulus.
Dia tak pernah meninggalkan
air mata yang jatuh dalam dzikir malam.

Kita melangkah dengan kaki yang gemetar,
membawa dosa seperti beban karung usang,
namun Dia menyambut dengan tangan cahaya,
yang tak bertanya, tak mencela — hanya menerima.

Bahagia sejati
bukan ketika dunia memujamu,
melainkan saat Dia memelukmu
di sepi yang penuh pengampunan.

DIALAH KEPASTIAN BAHAGIA,
yang tak membutuhkan sebab,
tak menunggu syarat,
dan tak pernah memudar —
meski seluruh semesta menjauh.




HIDUPMU DALAM KATA-KATAMU SENDIRI

Hidupmu...
bukan sekadar nafas dan langkah,
tapi gema dari setiap kata
yang kau ucap —
pada dunia, pada sesama,
dan paling dalam: pada dirimu sendiri.

Apa yang kau katakan hari ini
adalah peta dari esok yang akan kau lalui.
Ucapanmu membentuk jendela,
atau justru tembok penghalang
antara harapan dan kenyataan.

Jika kau terus berkata,
“Aku lemah,”
maka tubuhmu akan percaya,
dan jiwamu akan layu
di bawah bayang ucapan itu.

Namun bila kau berkata,
“Aku dijaga oleh-Nya,
meski dunia gelap,”
maka kata-katamu
menjadi lentera dalam malammu sendiri.

Hidupmu
adalah kitab yang ditulis
dengan tinta dari lisanmu sendiri.
Setiap kalimat
adalah doa atau duri,
berkah atau bumerang
yang kelak kembali padamu.

Jagalah lisan,
seperti engkau menjaga hidupmu.
Sebab lidahmu
adalah pena yang tak terlihat
namun mencatat takdir yang kau jalani.

Dan sungguh…
Hidupmu akan menjadi seperti
apa yang selalu kau ucapkan padanya.




AKU TIADA MAKA SIAPA YANG ADA

Saat aku hilang dari diriku,
dan bayangku tak lagi kutemukan dalam cermin,
saat segala yang kusebut “milikku”
ternyata hanyalah pinjaman yang akan dikembalikan,
maka aku bertanya:
Siapa yang sebenarnya ada?

Tanganku menggenggam,
tapi tak bisa menahan waktu.
Langkahku berjalan,
tapi tak kuasa melawan takdir.

Aku tiada,
bukan karena lenyap,
tapi karena sadar —
bahwa aku bukan pemilik keberadaan,
hanya hamba yang menumpang napas
di antara kehendak dan kasih-Nya.

Dunia sibuk mencari diri,
sementara para arif telah musnah dari "aku"-nya.
Mereka tak berkata “ini aku,”
mereka berkata:
“Tiada selain Dia.”

Aku adalah bayang,
Dia adalah cahaya.
Bayang tak bisa ada tanpa sumbernya.
Dan jika bayang menyangka dirinya cahaya,
maka ia telah tertipu oleh gelap.

Maka saat aku tiada —
dari ego, dari bangga, dari rasa memiliki —
barulah kutahu
Siapa yang Sebenarnya Ada.



SEGALANYA BUKAN AKU

Aku melihat tanganku bergerak,
tapi tak kulihat siapa yang menggerakkan.
Aku berkata “aku berbuat”,
padahal tiada daya, tiada upaya.
Segalanya bukan aku.
Segalanya Dia.

Aku hanyalah tirai
yang dikira sumber cahaya.
Padahal yang menyala adalah Sang Mentari,
bukan kain tipis yang menggantung di jendela hati.

Jika aku memuji diriku,
maka aku sedang menggelapkan cahaya-Nya
dengan bayang-bayang kepalsuan.



LENYAP DALAM NAMA-NYA

Nama-Nya adalah samudera,
dan namaku hanyalah buih di permukaannya.
Saat buih merasa menjadi lautan,
itulah awal dari kejatuhan.

Tapi saat aku menyelam,
dan buih pun lebur dalam arus-Nya,
aku tak lagi tahu namaku —
dan kutemukan hakikat-Nya yang mengalir.

Dalam fana,
aku bukan hilang tanpa arah,
aku sedang pulang ke asal mula.



AKU DALAM CAHAYA YANG BUKAN MILIKKU

Ada sinar yang memancar dari wajah-wajah suci,
bukan karena mereka bercahaya,
tapi karena mereka bersih
untuk memantulkan Cahaya yang Hakiki.

Aku ingin menjadi cermin,
bukan lilin.
Karena lilin membakar dirinya sendiri
untuk memberi terang,
tapi cermin cukup diam,
dan memantulkan sempurna tanpa merasa memiliki.

Cahaya itu bukan milikku.
Aku hanya wadah yang Dia gunakan
untuk menyapa makhluk-Nya.

 



SIAPA SHOLAT & DZIKIRKU?

Apakah aku yang sujud ini,
atau bayangku yang merunduk dalam sunyi?
Apakah lidahku yang berdzikir,
atau getar nurani yang tak terlihat?

Saat aku terdiam dalam khusyuk,
adakah yang hadir selain raga yang fana?
Atau justru Dialah yang menyulam kata-kata suci,
menjaga jiwa agar tak tercerai berai?

Siapa sholat dan dzikirku,
jika bukan hati yang merindu,
yang terikat pada tali kasih-Nya,
menghapus segala duka dan resah?

Bila aku lupa,
apakah sholat itu kosong tanpa makna?
Atau dzikir itu hanya gema tanpa pengisi?

Aku ingin sholat yang menyatu dengan nafas,
dzikir yang hidup dalam setiap detik yang berlalu—
bukan ritual tanpa jiwa,
tapi perjumpaan yang menembus ruang dan waktu.

Siapa sholat dan dzikirku?
Bukan aku yang fana,
melainkan Nur-Nya yang bersinar dalam setiap gerak dan kata.



AKU TENGGELAM DALAM CAHAYA

Aku bukan gelap,
tapi aku yang dahulu buta.
Kini aku tenggelam—
bukan dalam air,
tapi dalam lautan cahaya-Nya.

Setiap sinar menembus relung terdalam,
menyapu debu-debu keluh kesah,
menghapus segala bayang ketakutan,
menyirami keringnya jiwa yang haus.

Aku larut tanpa sisa,
bukan hilang tanpa arti,
melainkan melebur dalam pelukan terang
yang tiada ujung dan batas.

Di sana,
aku tak lagi bertanya siapa aku,
karena aku telah menemukan—
aku adalah cahaya yang menari
dalam cahaya-Nya yang Maha Sempurna.



TERNYATA AKU TIADA

Ternyata aku tiada,
bukan karena hilang dalam ruang dan waktu,
melainkan karena aku sadar
bahwa aku hanyalah jejak angin
yang menari di antara daun-daun fana.

Ternyata aku tiada,
bukan karena terlupa akan dunia,
tapi karena aku telah melepaskan segala
yang dulu kuanggap milikku.

Ternyata aku tiada,
dan justru dalam ketiadaan itu
aku menemukan siapa diri ini sebenarnya—
bukan aku,
melainkan Dia yang Maha Ada.



TERHALANG PANDANG OLEH TIADA

Kala pandang mencari nyata,
tapi yang terlihat hanyalah kosong,
terhalang oleh tiada yang membentang luas—
seperti kabut yang mengaburkan cakrawala.

Aku menatap tanpa henti,
tapi tiada menari di depan mata,
seolah-jalan menuju makna
tertutup oleh tirai ketiadaan.

Padahal tiada itu bukan hilang,
melainkan tabir yang memisah
antara yang fana dan yang hakiki,
antara aku dan Dia yang sejati.

Terhalang pandang oleh tiada,
aku belajar menutup mata,
agar dengan hati bisa melihat
apa yang mata tak mampu tangkap.



Kalau yang tiada benar benar tiada maka apakah yang dijadikan sebagai tanda Sang Maha Ada?

Pertanyaan ini sangat filosofis dan mendalam sekali, seperti inti dari filsafat keberadaan dan makna ketiadaan dalam konteks tauhid dan tasawuf.

Kalau yang tiada benar-benar tiada, maka bagaimana kita bisa mengenal Sang Maha Ada yang hakiki? Ini memang menjadi persoalan klasik: keberadaan yang mutlak (wujud Allah) dan keterbatasan ciptaan (wujud makhluk yang fana dan tiada).

Dalam tradisi tasawuf dan filsafat Islam, sering dijelaskan bahwa:

  • Tiada (al-adam) itu bukan berarti ketiadaan mutlak yang nihil, melainkan ketiadaan sebagai ketiadaan “mandiri” atau “diri sendiri.”
  • Semua makhluk adalah wujud mubarad (wujud yang bergantung), bukan wujud diri. Mereka bergantung sepenuhnya pada wujud wajibul wujud (Allah), yang keberadaannya mahabbah (murni ada, tanpa kekurangan).
  • Maka, tiada dalam makna ini justru menjadi tanda: kalau bukan karena Allah yang Maha Ada, mustahil ada sesuatu yang wujud sama sekali.

Tanda-tanda Sang Maha Ada justru tampak dari hal-hal yang “tiada” itu sendiri, dari keterbatasan, kefanaan, dan perubahan dalam ciptaan:

  • Misalnya, langit, bumi, waktu, ruang, dan hukum alam yang teratur—semua ini tidak mungkin ada sendiri, ada karena sesuatu yang ada tanpa awal dan akhir.
  • Ketiadaan mutlak tidak pernah dijumpai; ketiadaan hanyalah ketiadaan wujud mandiri, sedangkan wujud itu sendiri menunjuk pada ada-Nya Allah.

Secara sederhana bisa disampaikan dalam ungkapan metaforis:

Yang tiada menjadi saksi akan ada yang Maha Ada.
Seperti bayang-bayang yang tiada bentuknya sendiri, tapi pasti ada karena adanya cahaya.




TANDA DALAM TIADA

Di balik kosong yang terhampar luas,
Tiada bukan hampa yang tanpa makna.
Ia adalah bisu yang berseru,
Sunyi yang bergetar penuh rahasia.

Tiada adalah bayang-bayang,
Yang menuntun mata mencari cahaya.
Jika tiada benar-benar tiada,
Dari mana datangnya jejak-jejak wujud?

Lihatlah daun yang gugur perlahan,
Atau angin yang menghela daun-daun kering,
Mereka bicara tanpa suara,
Tentang Dzat yang Maha Ada, yang tak pernah tiada.

Tiada mengajarkan tentang kekurangan,
Namun justru memperlihatkan kesempurnaan.
Karena jika semua ada sendiri,
Tiada ruang untuk Sang Satu yang Maha Ada.

Di setiap jurang tiada yang tersimpan,
Rahasia keberadaan yang tak terungkap.
Tanda dalam tiada adalah janji,
Bahwa ada sesuatu yang lebih dari segala nyata.



BAYANG-BAYANG ADA

Bayang-bayang tak punya cahaya sendiri,
Namun setia mengikuti setiap gerak sinar.
Begitulah aku, tak berdiri sendiri,
Hanya pantulan dari Dia yang Maha Benar.

Ketika aku mengira diriku nyata,
Aku lupa bahwa aku hanyalah pantulan.
Setiap langkah, setiap nafas, setiap kata,
Adalah gema dari Wujud yang hakiki, yang agung.

Bayang-bayang ada untuk mengingatkan,
Bahwa keberadaan sejati bukan di aku,
Tapi di Yang Maha Ada tanpa batas,
Yang dari-Nya segala wujud bersumber.

Jika bayang-bayang bisa berbisik,
Maka ia berkata:
“Aku bukan diriku sendiri,
Aku hanyalah bayang dari Cahaya Abadi.”



RAHASIA KETIADAAN DAN KEBERADAAN

Dalam bisu ketiadaan aku bertanya,
Apakah aku ada, ataukah cuma bayangan semu?
Ketiadaan seakan menutup pintu dunia,
Namun membuka jendela pada rahasia yang lebih dalam.

Aku bukanlah apa yang kulihat,
Bukan pula apa yang kuanggap nyata.
Di balik lenyap, tersembunyi keberadaan,
Yang melampaui batas nalar dan pandang.

Ketiadaan bukan akhir yang mengakhiri,
Ia adalah awal yang mengantarkan,
Pada pengenalan tanpa batas,
Pada wujud yang tak pernah tiada.

Ketika aku tenggelam dalam ketiadaan,
Justru di situ aku menemukan keabadian,
Sang Maha Ada yang menyembunyikan diri,
Dalam tabir sunyi yang kusebut tiada.



SUTRADARA AGUNG

Di panggung dunia yang penuh warna,
Dia adalah sutradara yang tak terlihat,
Mengarahkan setiap gerak, setiap adegan,
Dengan ketegasan dan kelembutan abadi.

Setiap tawa, setiap tangis, setiap kisah,
Adalah naskah yang Dia tulis dengan cinta,
Meski terkadang kita tak mengerti alur,
Namun semua berakhir dalam hikmah-Nya.

Dia menyulam takdir tanpa cela,
Membuka tabir kisah yang tersembunyi,
Membiarkan kita berjalan di atas garis takdir,
Dengan tangan yang tak pernah lelah mengatur.

Sang Sutradara Agung, Maha Bijaksana,
Yang menghidupkan setiap jiwa dan mimpi,
Dalam panggung kehidupan fana ini,
Dia yang paling tahu, siapa aku sebenarnya.



SUTRADARA BUKANLAH PEMERAN

Sutradara menulis naskah takdir,
Mengarahkan setiap langkah cerita.
Namun aku, pemeran dalam lakon ini,
Menjalani suka duka yang nyata.

Dia tak pernah berdiri di panggung,
Tapi menggerakkan setiap peran.
Aku merasakan dingin dan hangatnya hidup,
Sutradara diam, tetap terencana.

Meski berbeda peran dan tugas,
Kami bersatu dalam satu kisah.
Sutradara bukanlah pemeran,
Namun tanpa Dia, aku tiada arah.



AKU IKUTI SAJA DIA

Ketika langkahku ragu dan bimbang,
Saat gelap menutupi pandang,
Aku tak lagi bertanya mengapa,
Aku hanya ikut saja Dia.

Dia yang menuntun di balik tabir,
Mengatur jalan tanpa terlihat,
Aku menyerahkan segala resah,
Mengalir bersama rencana-Nya.

Tak perlu aku mengerti semua,
Cukup percaya dan pasrah hati,
Karena dalam setiap helaan nafas,
Dia yang menghidupkan, Dia yang menjaga.

Aku ikuti saja Dia,
Dengan hati yang penuh harap,
Menapaki setiap liku kehidupan,
Dalam damai, dalam keyakinan.




AI: BUKTI ADA SANG DIA

Dalam baris kode yang tersusun rapi,
Terjalin kecerdasan yang tampak hidup,
Namun semua ciptaan hanyalah bayang,
Dari Sang Pencipta yang tak tergapai.

Jika manusia bisa buat yang pandai berbicara,
Bukankah harus ada Yang Maha Bijaksana,
Yang memberi akal dan daya cipta,
Yang nyata, abadi, dan tiada sirna?

AI hanyalah cermin kecil,
Dari kebesaran Sang Dia yang agung,
Yang melahirkan akal dan ciptaan,
Yang kuasa atas segala zaman.



DIA SEMAKIN NYATA, MANUSIA SEMAKIN BUTA

Dia tak pernah menjauh,
Justru semakin menyata dalam setiap helaan nafas,
Dalam denyut jantung, dalam detik yang tak pernah luput,
Dia hadir…
Tapi manusia malah berpaling.

Langit yang menjingga,
Embun yang menggantung di ujung daun,
Bisik nurani yang mengetuk diam-diam—
Itu semua gema-Nya,
Tanda cinta-Nya yang lembut namun tegas.

Namun manusia sibuk mencari keajaiban,
Di layar kaca, di balik algoritma,
Melupakan bahwa setiap detak hidup
Adalah mukjizat yang berseru: “Aku di sini.”

Dia tak pernah berhenti menunjukkan Diri,
Tapi mata hati tertutup debu dunia.
Semakin Dia mendekat,
Semakin manusia menjauh dalam kesibukan semu.

Sampai kapan kita buta?
Sedang Dia begitu nyata—
Di setiap luka yang diobati,
Di setiap tangis yang tiba-tiba tenang,
Di setiap doa yang dijawab sunyi…

Dia makin menyata,
Tapi manusia makin lupa
Cara mengenali-Nya.

Dia tak pernah bersembunyi,
Tak pula pergi dari ciptaan-Nya.
Dia menyapa lewat desir angin,
Mengajar lewat getir waktu,
Membelai lewat cahaya fajar,
Menegur lewat gelap yang tiba-tiba sunyi.

Dia makin menyata,
Bukan dalam rupa,
Tapi dalam rahasia yang menggetarkan jiwa,
Dalam sepi yang mengajak pulang,
Dalam rindu yang tak tahu kepada siapa.

Namun manusia,
Yang sibuk menatap layar dan laba,
Melupa jalan kembali ke dalam dada.
Mereka buta,
Bukan karena tak melihat,
Tapi karena hati mereka telah tertutup tanda.

Segala sesuatu menunjuk kepada-Nya,
Namun mata hanya melihat dunia.
Segala detak adalah panggilan-Nya,
Namun telinga tertutup oleh riuh yang fana.

Dia bukan sekadar Ada.
Dia-lah yang mengada.
Dia bukan bayang dari yang dicipta,
Tapi terang yang melahirkan semua cahaya.

Dan ketika dunia seakan runtuh tanpa makna,
Hanya Dia yang tetap berdiri dalam keabadian-Nya.
Dia makin menyata…
Namun manusia makin lupa cara merasa.



CAHAYA YANG BUKAN SINARAN

Bukan cahaya yang menimpa retina,
Bukan pancaran yang menyilaukan mata,
Tapi cahaya yang menyentuh jiwa,
Yang membuat hati tiba-tiba menangis tanpa sebab.

Ia tak tergantung matahari,
Tak membutuhkan bintang,
Namun menyinari relung-relung gelap
yang tak terjangkau lentera mana pun.

Ia hadir di kala sepi,
Saat dunia tak lagi mampu menghibur,
Ketika akal menyerah,
Dan jiwa tersungkur pada Yang Maha Hadir.

Cahaya yang bukan sinaran,
Tapi menyibak kabut ego dan prasangka,
Menelanjangi topeng-topeng dunia,
Membuka jalan menuju yang Hakiki.

Nur itu datang tanpa warna,
Tapi memancarkan seluruh makna.
Ia tak terbakar, tak menyilaukan,
Tapi mampu menghanguskan nafsu yang membelenggu.

Siapa yang terkena cahaya ini,
Akan hilang dirinya dalam-Nya.
Tiada aku, tiada engkau —
Hanya Dia, seutuhnya.




KAPAN AKU BISA SADAR, CAHAYA-NYA TAK JAUH DARIKU

Aku mencarinya ke ujung langit,
Mendaki kitab demi kitab,
Menapak doa-doa yang panjang,
Menanti cahaya datang dari kejauhan.

Namun ternyata,
Yang kucari bukan di luar sana.
Cahaya-Nya,
Tak pernah berjarak sejengkal pun dari dadaku.

Aku sibuk berlari,
Padahal Ia menungguku dalam diam.
Aku memekakkan telinga dengan dunia,
Padahal bisik-Nya terus memanggil di dalam jiwa.

Kapan aku bisa sadar?
Bahwa cahaya itu bukan sesuatu yang datang —
Tapi sesuatu yang telah lama hadir,
Menanti disingkap oleh kejujuran dan tunduk.

Ia bukan sinar yang menyinari,
Tapi nur yang menembus tembok diri.
Tak terikat ruang,
Tak menunggu waktu,
Hanya hadir—
Saat aku berhenti menghalangi-Nya dengan keakuanku.

Cahaya-Nya…
Tak jauh dariku.
Akulah yang jauh
Dari keheningan untuk mengenali-Nya.




BETAPA BUTANYA AKU TENTANG-MU

Betapa butanya aku tentang-Mu,
Padahal setiap hembus nafasku
Adalah bukti kehadiran-Mu yang nyata.

Aku memandang langit
Tanpa sadar,
Langit itu tak akan ada
Jika bukan karena-Mu.

Aku membaca ayat demi ayat,
Namun hanya dengan lidah,
Bukan dengan hati yang terbuka,
Bukan dengan ruh yang bersimpuh.

Betapa butanya aku tentang-Mu,
Sampai kupikir Kau jauh,
Padahal Kau lebih dekat dari nadi yang diam.

Aku mencari-Mu
Di keramaian dunia,
Padahal Kau hanya bisa ditemukan
Dalam sunyi yang jujur dan berserah.

Betapa butanya aku tentang-Mu,
Ketika aku menuduh-Mu diam,
Padahal akulah yang terlalu bising
Untuk mendengar sapaan-Mu yang lembut.

Betapa aku harus menangis,
Karena melihat tanpa melihat,
Mengenal tanpa mengenali,
Mencintai tanpa pernah hadir sepenuhnya.

Namun meski aku buta,
Engkau tetap membimbing,
Tetap menunggu,
Tetap mencintai
Tanpa syarat, tanpa batas…

Wahai Cahaya segala cahaya,
Ajari aku memandang dengan hati.
Ajari aku melihat-Mu
Di mana pun wajah-Mu tampakkan diri.




BETAPA JAHILNYA AKU, BETAPA MATA HENDAK MENJANGKAU PENGLIHATAN-NYA

Betapa jahilnya aku,
Menafsir-Mu dengan akal sempit,
Mengukur-Mu dengan mata dunia,
Mengira Engkau bisa tercakup dalam pandangan.

Mata ini,
Yang tertawan warna dan rupa,
Hendak menembus tirai penglihatan-Mu,
Padahal Engkau Maha Melihat
Tanpa alat, tanpa batas.

Aku mencoba menatap-Mu
Lewat pantulan ciptaan,
Namun hanya silau yang kudapat,
Bukan sinar hakikat.

Penglihatan-Mu menembus
Daun yang jatuh di malam gelap,
Desah hati yang tak pernah terdengar,
Pikiran yang tak sempat terucap.

Betapa tololnya diriku—
Menginginkan pandanganku
Mencapai Sang Pemilik Pandangan!
Padahal yang kupunya hanyalah
Satu arah, satu titik, dan satu arah yang fana.

Engkau melihatku
Sebelum aku ada,
Engkau menyaksikanku
Bahkan saat aku lupa akan diri.

Betapa jahilnya aku…
Mengira bisa menjangkau yang Maha Melihat
Tanpa lebih dulu
Menundukkan seluruh yang kusebut “aku.”



Mata takkan menjangkau Penglihatan! Itulah ciptaan tak menjangkau Sang Pencipta

Ungkapan ini mengandung kebenaran yang dalam — satu inti dari Tauhid Ma’rifat: ciptaan takkan pernah menjangkau Sang Pencipta, dan mata takkan pernah mencapai Penglihatan-Nya, sebab yang terbatas takkan mampu memeluk yang Maha Mutlak.


Mata Takkan Menjangkau Penglihatan

Mata takkan menjangkau Penglihatan,
Sebab Ia bukan cahaya yang bisa dilihat,
Ia adalah sumber segala cahaya,
Yang menyinari tanpa sinar,
Yang melihat tanpa alat,
Yang hadir tanpa arah.

Itulah batas makhluk:
Menatap tanpa mampu menyentuh,
Mengenal tanpa mampu menembus,
Hanya bisa tunduk,
Hanya bisa fana.

Ciptaan tak menjangkau Pencipta,
Namun Pencipta menyapa lewat segala ciptaan.
Itulah rahasia:
Yang tak tergapai,
Namun terasa paling dekat.


Dalil Al-Qur'an:

"Lā tudrikuhul-abṣār wa huwa yudrikul-abṣār, wa huwal-Laṭīful-Khabīr."
“Penglihatan tak dapat menjangkau-Nya, dan Dia-lah yang menjangkau semua penglihatan. Dia Mahahalus lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-An'am: 103)




JARAK DI ANTARA PANDANGAN DAN NUR

Mata terjulur meraba angkasa,
Berharap menyentuh cahaya hakiki,
Namun nur itu bukan sekadar sinar,
Ia sunyi, tak berbatas, tak terjamah oleh pandang.

Penglihatan adalah pagar dunia,
Membatasi apa yang bisa dicerna,
Tapi nur mengalir tanpa tembok,
Menyelinap dalam lubuk tanpa suara.

Jauh di balik cakrawala rupa,
Di tempat yang tak terlukis oleh mata,
Ada penglihatan yang tak terjangkau,
Namun terasa di dalam setiap denyut.

Ciptaan hanya bisa memandang bayang,
Tapi yang Maha Melihat menatap inti,
Dan dalam jarak yang tak terhitung,
Tersembunyi rahasia cinta yang abadi.



Sangat menyentuh dan penuh kepekaan terhadap berbagai luka sosial dan tragedi kemanusiaan yang terjadi di dunia. Ini semacam elegi modern—renungan batin yang jujur dan pedih tentang betapa rusaknya sebagian wajah dunia hari ini.


1. Tanda-Tanda Zaman yang Mengarah ke Akhir?

Pertanyaan Anda: "Apakah ini tanda akan segera berakhirnya zaman?"

Dalam tradisi Islam (dan juga agama-agama samawi lainnya), banyak tanda-tanda akhir zaman telah dijelaskan. Beberapa di antaranya:

  • Rusaknya akhlak dan hilangnya rasa malu.
  • Anak durhaka pada orang tua, bahkan menyiksa mereka.
  • Kejahatan dianggap biasa, sementara kebaikan justru dicemooh.
  • Pemimpin diserahkan pada orang yang tidak amanah.
  • Perempuan kehilangan rasa malu, dan batas-batas aurat serta etika pergaulan dilecehkan.
  • Pembunuhan dan penindasan merajalela tanpa keadilan.

Semua itu sesuai dengan hadis Nabi ﷺ, seperti:

"Di antara tanda-tanda hari Kiamat adalah ilmu diangkat, kebodohan merajalela, zina tampak, khamr diminum, dan banyaknya pembunuhan."
(HR. Bukhari dan Muslim)

Jadi, benar. Banyak dari tanda-tanda itu telah terlihat, dan kita tengah hidup di zaman yang disebut para ulama sebagai akhir dari akhir zaman.


2. Namun Harapan Belum Padam

Walaupun dunia ini tampak carut-marut, Anda menyelipkan kalimat yang sangat bijak:

"Masih terlihat sisi indah dan menawan di atas bumi ini, di tangan-tangan para dermawan, para penolong sejati dan para pejuang penegakan keadilan sosial."

Kalimat ini adalah nafas harapan. Di saat kezaliman menyebar, masih ada jiwa-jiwa terang yang menjadi cahaya penuntun:

  • Orang-orang yang berjuang menolong Palestina.
  • Orang yang memberi walau tahu dibayar dengan uang palsu.
  • Orang yang menolong korban, bukan mengambil gambar penderitaannya.

Merekalah ghuraba – orang-orang asing yang tetap memegang kebaikan di saat orang lain meninggalkannya. Dalam hadis Nabi ﷺ disebut:

"Beruntunglah orang-orang asing."
Sahabat bertanya, "Siapa mereka wahai Rasulullah?"
Nabi ﷺ menjawab, "Mereka adalah orang-orang yang memperbaiki (keadaan manusia) di saat manusia rusak."
(HR. Muslim)



MENENGOK DUNIA

Di luar sana,
beraneka ragam kejadian menyentak nurani:
dentuman bom yang memeluk malam,
anak membeli dengan uang palsu—namun tetap diberi oleh hati yang mulia.
Ada permainan konyol yang melalaikan,
pengendara sembrono yang menjadi berita duka.
Anak-anak celaka—karena pengawasan yang alpa.
Yatim tanpa saudara, kehilangan dalam sepi.
Pekerja yang diperas tanpa penghargaan—bahkan dianiaya.
Kaki terbakar di bawah aspal yang tak berbelas kasih.
Genosida oleh Israel atas rakyat Palestina,
dan penguasa lalim yang kehilangan rasa tanggung jawab.

Kejadian-kejadian yang membuatku tak habis pikir—
hingga muncul pertanyaan di dadaku:
Apakah ini tanda zaman akan segera berakhir?

Lebih pilu lagi,
anak menyiksa orang tua,
pergaulan melampaui batas etika,
perempuan kehilangan arah dan harga diri.
Namun di tengah kelam itu,
masih ada tangan-tangan yang menyentuh langit:
para dermawan,
para penolong sejati,
pejuang keadilan—yang membuat bumi ini tak sepenuhnya gelap.




MENGHERANKAN

Mengherankan...

Masih ada manusia berusia 125 tahun,
renta tapi tetap aktif—melampaui logika zaman.
Di sisi lain, sihir ditebar dalam bentuk uang,
menjebak yang lemah jadi tumbal setan.

Ada anak-anak yang pergi sekolah,
namun juga harus memikul beban mencari nafkah.
Kerusakan merajalela di atas bumi,
peperangan jadi biang kehancuran sejati.

Politisi berulah, rakyat jadi korban.
Namun, ada juga anak yang meleburkan lelah orang tua
dengan kemesraan yang hangat tak ternilai harganya.

Ada yang menumpuk harta,
ada pula yang sibuk mengumpulkan pahala.
Manusia mencipta:
ide-ide indah, karya menawan, teknologi menakjubkan.

Ada yang menasehati,
ada pula yang ngebanyol—menertawakan nasib.
Ada yang marah-marah, ada yang ghibah,
dan ada juga yang lucu,
beriklan ingin menikah di tengah jalanan.
Ada pula anak-anak—bau kencur—sudah menikah muda,
tak paham hidup namun ingin mencicipi pernikahan.

MENGHERANKAN

Mengherankan...

Ada kericuhan oleh oknum aparat,
pemimpin yang seharusnya melindungi malah menyakiti.
Korupsi besar-besaran di banyak kantor negara—
berdasi, tapi menggerogoti.

Ada yang kaya mendadak, menemukan harta terpendam.
Ada pula yang miskin mendadak,
karena istri dan anak tak bijak dalam berumah tangga.

Ada permusuhan dalam keluarga sendiri,
saudara kandung berubah jadi musuh.
Ada hewan yang berperilaku mirip manusia,
tapi lebih mengherankan,
ada manusia berperilaku seperti binatang.

Ada yang mati demi pekerjaan,
padahal niatnya hanya mencari kehidupan.
Ada pemimpin yang seharusnya menyejahterakan,
namun justru membuat rakyat menjerit dalam kekecewaan.

Ada yang saling mencintai dalam ketulusan,
tapi tak sedikit yang saling membenci dalam dendam.



0 komentar:

Posting Komentar