Konsep ruh (spirit/jiwa) dalam tradisi tasawuf atau ilmu ruhaniyah sering dipandang sebagai ruang atau wadah bagi berbagai lapisan nafsu (dorongan batin). Dalam kerangka ini, ruhani sebagai "ruang hawa nafsu" dapat dimaknai sebagai medan perjuangan antara berbagai lapisan atau tingkatan nafs (jiwa) manusia yang terus berkembang atau berubah sesuai dengan proses tazkiyah (penyucian jiwa) dan mujahadah (perjuangan spiritual).
Mari kita uraikan tingkatan-tingkatan nafsu yang Anda sebutkan:
1. Nafs Syahwah (nafsu syahwat)
- Merupakan dorongan hawa nafsu paling rendah.
- Berorientasi pada pemuasan jasmani: makan, minum, seks, tidur, kenyamanan.
- Berkaitan erat dengan jiwa hewaniyah (nafsu binatang) yang hanya ingin kesenangan duniawi.
- Ruhani pada tahap ini seperti ruang yang dikotori oleh dorongan duniawi yang rendah.
2. Nafs Lawaamah (nafsu yang mencela)
- Merupakan nafsu yang mulai sadar diri.
- Ketika seseorang berbuat dosa atau salah, muncul penyesalan dan mencela dirinya sendiri.
- Ini adalah tahap transisi, antara kegelapan syahwat dan cahaya ruhani.
- Ruhani mulai menjadi ruang pertarungan antara dorongan kebaikan dan keburukan.
3. Nafs Ammaarotun Bissu' (nafsu yang selalu menyuruh kepada keburukan)
- Disebut dalam QS Yusuf:53.
- Ini adalah bentuk nafsu yang belum terkendali, selalu mendorong kepada kejahatan.
- Bisa berpadu dengan syahwat dan hawa nafsu negatif.
- Ruhani dalam keadaan ini bisa menjadi ruang dominasi setan dan bisikan jahat.
4. Nafs Shofiyyah (nafsu yang bening/suci)
- Ini bukan istilah umum dalam pembagian nafs klasik, namun digunakan sebagian sufi untuk menggambarkan nafs yang mulai jernih dari dorongan duniawi.
- Ruhani dalam tahap ini menjadi ruang refleksi ketenangan, bening dari kepentingan ego.
- Biasanya dicapai setelah proses suluk (perjalanan spiritual) yang cukup panjang.
5. Nafs Muthmainnah (nafsu yang tenang)
- Disebut dalam QS Al-Fajr: 27-30.
- Ini adalah puncak dari pembersihan jiwa: jiwa yang tenang, ridha kepada Allah dan diridhai-Nya.
- Ruhani pada tahap ini menjadi ruang kedamaian, keikhlasan, dan ketundukan total kepada Allah.
- Jiwa tidak lagi terganggu oleh dorongan duniawi.
Kesimpulan:
Jika ruhani dipandang sebagai "ruang" atau "wadah", maka tingkatan nafs adalah isi dan kondisi dari ruang tersebut. Dari nafsu rendah (syahwah dan ammarah) menuju ke tingkatan tinggi (shofiyyah dan muthmainnah), perjalanan ruhani adalah proses pembersihan dan transformasi ruang itu agar menjadi layak bagi tajalli (manifestasi cahaya Tuhan).
Nafsu Ammārah bis-Sū’ (النفس الأمارة بالسوء) adalah jenis nafsu yang paling rendah dan berbahaya dalam klasifikasi jiwa menurut tasawuf. Istilah ini secara eksplisit disebut dalam Al-Qur’an, Surah Yusuf ayat 53:
"Inna an-nafsa la-ammāratun bis-sū’(in) illā mā rahima Rabbī..."
“Sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku.”
(QS. Yusuf: 53)
1. Definisi Nafs Ammaarotun Bissuu'
- Nafs ini cenderung kepada keburukan, mengajak manusia kepada maksiat, egoisme, kemalasan, hawa nafsu, dan kebodohan spiritual.
- Ia belum tersentuh oleh cahaya ilahi, dan lebih condong kepada bisikan syaitan.
- Nafsu ini tidak hanya menyukai kejahatan, tetapi juga menganggapnya wajar, bahkan bisa membenarkannya.
2. Ciri-ciri Nafsu Ammaarotun Bissuu'
- Suka menunda taubat.
- Meremehkan dosa dan pelanggaran.
- Merasa cukup dengan dunia dan melupakan akhirat.
- Mencintai pujian dan merasa paling benar.
- Cenderung hasad, dengki, dan tamak.
- Suka menyalahkan orang lain, tetapi buta terhadap kesalahannya sendiri.
3. Contoh Nafsu Ammaarotun Bissuu' dalam Al-Qur’an dan Hadits
A. Kisah Nabi Yusuf dan Zulaikha
- Nafsu Zulaikha ingin mengajak Yusuf berbuat zina. Ini adalah contoh konkret nafsu syahwat yang berasal dari nafs ammarah.
- Yusuf berkata:
“Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan.”
(QS. Yusuf: 53)
B. Perilaku Qabil terhadap Habil
- Qabil membunuh saudaranya karena iri dan dengki, dorongan dari nafsu jahat.
“Nafsu Qabil mendorongnya membunuh saudaranya, maka dia pun membunuhnya...” (QS. Al-Maidah: 30)
C. Firaun dan Hawa Nafsu Kekuasaan
- Firaun menolak kebenaran dari Musa karena nafsu ingin menguasai dan dipuja. Ia berkata:
“Aku tuhan kalian yang paling tinggi.” (QS. An-Nazi’at: 24)
D. Kaum Nabi Luth
- Dorongan syahwat yang menyimpang (homoseksual) adalah bentuk lain dari nafsu ammarah yang merajalela:
“Apakah kalian mendatangi laki-laki di antara manusia dan meninggalkan istri-istri yang diciptakan Tuhanmu?” (QS. Asy-Syu’ara: 165–166)
E. Hadits tentang Nafsu dan Syaitan
- Nabi Muhammad ﷺ bersabda:
“Musuhmu yang paling besar adalah nafsumu yang berada antara dua sisi tubuhmu.” (HR. Al-Baihaqi dalam Zuhd)
4. Penanganan Nafsu Ammaarotun Bissuu'
Agar nafs ini tidak berkuasa, Islam mengajarkan:
- Dzikir dan muraqabah (kesadaran akan kehadiran Allah).
- Mujahadah an-nafs (melawan keinginan nafsu).
- Taubat dan istighfar secara terus menerus.
- Shalat dan puasa sebagai pelatih diri menahan hawa nafsu.
- Berteman dengan orang saleh dan menjauhi lingkungan maksiat.
Kesimpulan
Nafsu Ammaarotun Bissuu’ adalah dorongan jahat dalam jiwa manusia yang mendorongnya kepada dosa dan kesesatan. Ia adalah musuh dalam diri yang harus dikenali, dilawan, dan dikendalikan dengan ilmu, ibadah, dan kesungguhan dalam mendekat kepada Allah.
1. Definisi Nafsu Lawwāmah
Nafsu Lawwāmah adalah tingkatan jiwa yang masih bisa tergelincir dalam dosa, tetapi memiliki kesadaran spiritual yang kuat untuk menyesali, mencela, dan mengevaluasi diri sendiri setelah melakukan kesalahan.
Istilah “lawwāmah” berasal dari akar kata لَوْم (lauma) yang berarti “mencela”. Maka, nafsu lawwāmah adalah jiwa yang mencela dirinya sendiri karena menyadari telah berbuat salah.
2. Dalil dari Al-Qur’an
Allah bersumpah atas eksistensi nafsu ini:
"Dan Aku bersumpah dengan jiwa yang selalu mencela (nafs lawwāmah)."
(QS. Al-Qiyamah: 2)
Para mufassir menjelaskan bahwa Allah tidak bersumpah atas sesuatu yang hina, sehingga ini menandakan kedudukan penting nafsu lawwāmah dalam proses penyucian jiwa.
3. Ciri-ciri Nafsu Lawwāmah
- Selalu introspeksi diri (muhāsabah).
- Menyesal setelah melakukan dosa.
- Berjuang melawan nafsu ammarah (nafsu jahat).
- Kadang jatuh ke dalam dosa, tapi tidak tenang kecuali setelah bertobat.
- Mulai menyukai ibadah, dzikir, dan majelis ilmu, tapi masih berjuang melawan kelalaian.
4. Contoh Nafsu Lawwāmah dalam Islam
A. Nabi Adam ‘alayhis salam
- Setelah melanggar larangan Allah, beliau segera sadar dan menyesal, berkata:
“Ya Tuhan kami, kami telah menzalimi diri kami sendiri. Jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya kami termasuk orang-orang yang merugi.”
(QS. Al-A’raf: 23)
Ini adalah contoh pertobatan dari jiwa yang sadar (lawwāmah).
B. Ka'ab bin Malik (Sahabat Nabi ﷺ)
- Tidak ikut serta dalam Perang Tabuk tanpa uzur, kemudian menyesali dan mencela dirinya, hingga akhirnya bertobat dengan jujur.
- Allah menerima taubatnya setelah 50 hari (QS. At-Taubah: 118).
Contoh klasik dari jiwa yang bangkit dari kelalaian, bukan membela diri atau mencari alasan.
C. Orang-orang Beriman yang Bertobat
- Dalam QS. Az-Zumar: 53, Allah menyeru orang-orang berdosa untuk tidak berputus asa:
"Wahai hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kalian berputus asa dari rahmat Allah..."
Ini menunjukkan adanya jiwa-jiwa yang mengakui kesalahan, yaitu nafsu lawwāmah, sebagai pintu menuju pengampunan.
D. Umar bin Khattab Radhiyallahu ‘anhu (sebelum masuk Islam)
- Sebelum masuk Islam, Umar adalah pembenci Nabi, namun setelah mendengar Al-Qur'an, hatinya berubah, dan akhirnya masuk Islam.
- Ini contoh orang yang berhijrah dari kerasnya hati menuju pencelaan diri, hingga mendapat hidayah.
5. Kedudukan Nafsu Lawwāmah
- Nafsu ini merupakan jembatan antara nafs ammarah (jahat) dan nafs muthmainnah (tenang).
- Ia masih bergumul dengan godaan dunia, tapi sudah memiliki kesadaran dan rasa malu kepada Allah.
- Sufi seperti Imam Al-Ghazali menyebut nafsu ini sebagai tanda awal keberhasilan tazkiyatun nafs (penyucian jiwa).
6. Cara Memperkuat Nafsu Lawwāmah
- Rutin muhasabah setiap hari.
- Memperbanyak istighfar dan taubat.
- Bergaul dengan orang-orang saleh.
- Menjauhi lingkungan dosa dan kelalaian.
- Membaca kisah-kisah tobat dalam Al-Qur’an dan hadits.
Kesimpulan
Nafsu Lawwāmah adalah jiwa yang mencela dirinya sendiri karena sadar akan dosa dan berusaha memperbaiki diri. Ini adalah tingkatan jiwa yang sangat penting dalam perjalanan menuju Allah. Jiwa ini adalah tanda cinta Allah, karena menunjukkan bahwa hati masih hidup dan peka terhadap kebenaran.
Berikut adalah penjabaran lengkap tentang Nafsu Muthma’innah (النفس المطمئنة) beserta contoh-contohnya dalam Islam:
1. Definisi Nafsu Muthma’innah
Nafsu Muthma’innah adalah tingkatan tertinggi dari perkembangan spiritual jiwa dalam pandangan tasawuf dan tazkiyatun nafs. Kata “muthma’innah” berasal dari akar kata ط م أ ن yang berarti tenang, damai, dan mantap.
Ini adalah jiwa yang tenang dan ridha dengan ketentuan Allah, tidak tergoyahkan oleh godaan dunia, tidak gelisah saat ditimpa musibah, dan tidak sombong saat mendapat nikmat. Ia benar-benar berserah diri dan tunduk kepada Allah secara total.
2. Dalil dari Al-Qur’an
Allah berfirman:
"Wahai jiwa yang tenang (nafs muthma’innah). Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang rida dan diridai. Maka masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku."
(QS. Al-Fajr: 27–30)
Ayat ini menunjukkan bahwa jiwa muthma’innah adalah jiwa pilihan, yang layak masuk surga dengan kemuliaan.
3. Ciri-ciri Nafsu Muthma’innah
- Tenteram dengan dzikir kepada Allah (lihat QS. Ar-Ra’d: 28).
- Ridha dengan takdir Allah, baik suka maupun duka.
- Tidak lagi diperbudak oleh hawa nafsu duniawi.
- Selalu dalam keadaan syukur, sabar, dan tawakkal.
- Hidupnya terpusat pada tujuan akhirat, bukan ambisi dunia.
- Tidak mudah marah, gelisah, iri, atau sombong.
4. Contoh Nafsu Muthma’innah dalam Islam
A. Nabi Ibrahim ‘alayhis salam
- Ketika diperintahkan untuk menyembelih putranya Ismail, beliau tenang dan patuh tanpa keraguan.
- Ini menunjukkan ketenangan spiritual tertinggi, tidak diganggu oleh kecintaan duniawi.
B. Nabi Yusuf ‘alayhis salam
Saat dihadapkan pada godaan Zulaikha, ia memilih penjara demi menjaga kehormatan:
“Penjara lebih aku sukai daripada apa yang mereka ajak aku kepadanya.” (QS. Yusuf: 33)
Ini adalah jiwa yang kokoh dan tidak tunduk pada syahwat.
C. Rasulullah ﷺ
Ketika ditimpa musibah besar, seperti di Thaif, perang, atau kematian orang-orang tercinta, beliau tetap tenang, sabar, dan terus berdakwah.
Ketika ditawarkan dunia oleh Quraisy agar menghentikan dakwah, beliau menjawab:
“Andai mereka meletakkan matahari di kananku dan bulan di kiriku agar aku meninggalkan dakwah ini, aku tidak akan meninggalkannya.”
D. Para Sahabat Seperti Abu Bakar dan Bilal
- Abu Bakar tetap tenang saat hijrah bersama Nabi meski nyawanya terancam.
- Bilal tetap teguh mengucap “Ahad… Ahad” saat disiksa, tanpa takut mati.
Mereka adalah contoh jiwa yang kokoh, tenang, dan yakin kepada Allah.
5. Tingkatan Jiwa Setelah Muthma’innah
Beberapa ulama sufi seperti Imam Al-Ghazali dan Syaikh Abdul Qadir al-Jilani menyebut bahwa setelah nafsu muthma’innah, ada tingkatan nafsu rādiyah (jiwa yang ridha) dan nafsu mardhiyyah (jiwa yang diridhai Allah), namun semuanya merupakan bagian dari puncak spiritual yang disebut juga maqāmul ihsan (tingkatan ihsan).
6. Cara Mencapai Nafsu Muthma’innah
- Banyak berdzikir kepada Allah: “Alaa bidzikrillahi tathma’innul qulub” (QS. Ar-Ra’d: 28).
- Tawakkal dan ridha terhadap semua ketentuan Allah.
- Mengendalikan syahwat, amarah, dan hawa nafsu dunia.
- Bersahabat dengan para ulama dan orang-orang saleh.
- Mendawamkan ibadah dan selalu berada dalam kondisi muraqabah (merasa diawasi Allah).
- Bersikap sabar dan syukur dalam segala keadaan.
7. Penutup
Nafsu Muthma’innah adalah jiwa yang menjadi kekasih Allah, yang hidupnya damai karena bersandar hanya kepada-Nya. Ia adalah buah dari perjuangan jiwa melawan nafsu ammarah dan lawwāmah hingga mencapai puncak ketenangan dan keridhaan ilahi.
Berikut penjabaran tentang Nafsu Shofiyyah (النفس الصفية) dalam konteks ruhani:
1. Pengertian Nafsu Shofiyyah
Nafsu Shofiyyah berasal dari kata ṣafā (صفا) yang berarti jernih, suci, murni. Ini adalah tingkatan ruhani yang lebih tinggi dari nafsu muthma’innah, dan dianggap sebagai nafs yang telah bersih dari semua kotoran hawa nafsu, syahwat, dan dorongan duniawi.
Nafsu ini disebut juga sebagai nafs al-kāmilah (jiwa sempurna) oleh sebagian sufi karena telah mencapai maqāmul ihsān, yaitu beribadah seolah-olah melihat Allah.
2. Ciri-ciri Nafsu Shofiyyah
- Hatinya bening, penuh cahaya ilahi dan rahmat.
- Seluruh hidupnya untuk Allah, tidak ada selain-Nya di dalam hatinya.
- Tidak terpengaruh dunia sama sekali, bahkan tidak cenderung pada surga, karena tujuannya hanya Allah.
- Mencintai semua makhluk karena Allah.
- Sifatnya rahmah, tawadhu’, syukur, sabar, qana’ah, dan ikhlas mutlak.
- Jiwa ini menjadi wadah bagi anwar ilahiyah (cahaya-cahaya ketuhanan).
3. Dalil-dalil Pendukung
Walaupun nafs shofiyyah tidak disebut eksplisit dalam Al-Qur'an, para ulama sufi menyimpulkannya dari berbagai ayat dan maqam ruhani:
“Sesungguhnya wali-wali Allah itu tidak ada rasa takut dan tidak pula sedih bagi mereka.”
(QS. Yunus: 62)
“Mereka itulah orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah, maka ikutilah petunjuk mereka.”
(QS. Al-An’am: 90)
Dalam hadits qudsi:
"Hamba-Ku senantiasa mendekat kepada-Ku dengan amal-amal sunnah hingga Aku mencintainya..."
(HR. Bukhari)
4. Contoh Nafsu Shofiyyah dalam Islam
A. Rasulullah Muhammad ﷺ
- Beliau adalah contoh paling sempurna jiwa shofiyyah.
- Hidupnya sepenuhnya untuk Allah, tidak memikirkan dunia, bahkan saat ditawari gunung menjadi emas, beliau menolaknya.
B. Nabi Isa ‘alayhis salam
- Hidupnya dalam zuhud total, berjalan tanpa membawa harta, menyendiri, dan menyembuhkan karena rahmat dari Allah.
- Jiwa beliau tidak tergoda sedikit pun oleh dunia.
C. Para Wali Allah Sejati
- Seperti Abu Yazid al-Bustami, Rabi’ah al-Adawiyah, Abdul Qadir al-Jilani, mereka hidup dalam cinta suci kepada Allah semata, tanpa pamrih dunia atau surga.
Contoh ucapan Rabi'ah al-Adawiyah:
“Ya Allah, jika aku menyembah-Mu karena takut neraka, bakarlah aku di dalamnya. Jika aku menyembah-Mu karena ingin surga, jauhkanlah aku darinya. Tapi jika aku menyembah-Mu karena cinta kepada-Mu, jangan Kau jauhkan aku dari keindahan-Mu.”
5. Jalan Menuju Nafsu Shofiyyah
- Tazkiyatun nafs secara menyeluruh.
- Riyadhah ruhaniyah: seperti puasa, zikir, tahajjud, khalwat, muhasabah.
- Mendalami ilmu ma’rifat dan tasawuf.
- Bergaul dengan para wali atau guru mursyid.
- Ikhlas mutlak dalam amal.
6. Penutup
Nafsu Shofiyyah adalah jiwa pilihan Allah, yang telah melampaui sifat-sifat manusia biasa. Ia hidup hanya untuk Allah, dari Allah, dan bersama Allah. Ia adalah cermin keindahan dan kemurnian yang dapat dipantulkan oleh hati manusia yang telah bersih.
Beberapa jenis nafsu bisa bersatu dan saling memperkuat untuk mendorong seseorang melakukan kejahatan, khususnya pada tingkatan nafsu yang rendah seperti nafsu ammarah, lawaamah, dan syahwah.
Penjelasan
Dalam tradisi ruhani Islam, nafs-nafs (jiwa) bukanlah entitas yang terpisah secara kaku, tetapi lapisan-lapisan kejiwaan yang saling berinteraksi dan bisa berkolaborasi dalam mempengaruhi perilaku manusia. Contoh:
1. Gabungan Nafsu Ammarah dan Syahwah
- Nafsu ammarah mendorong pada kejahatan secara umum.
- Nafsu syahwah menuntun ke kenikmatan jasmani.
- Jika keduanya bersatu, bisa memicu dosa berat seperti zina, korupsi, pembunuhan karena hawa nafsu.
2. Gabungan Nafsu Lawaamah dan Syahwah
- Nafsu lawaamah membuat orang menyesal, tapi belum mampu berubah.
- Jika bersatu dengan syahwah, bisa timbul siklus: berbuat dosa → menyesal → ulangi → menyesal lagi, dan terus begitu tanpa kemajuan.
3. Gabungan Nafsu Ammarah, Syahwah, dan Lawwamah
- Ketiganya bisa menciptakan manusia hipokrit secara batin:
- Tahu itu salah (lawaamah),
- Tapi tetap tergoda (syahwah),
- Dan terdorong kuat melakukannya (ammarah).
Ilustrasi dalam Kisah Al-Qur'an
Kisah Yusuf dan Zulaikha
- Istri Al-Aziz dikuasai oleh:
- Syahwah (nafsu seksual),
- Ammarah (keberanian melakukan kejahatan),
- dan sesaat mungkin lawaamah ketika ia merasa malu saat terbongkar.
Yusuf ‘alayhis salam berkata:
"Sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang dirahmati oleh Tuhanku."
(QS. Yusuf: 53)
Kesimpulan
Ya, nafsu-nafsu tingkat bawah bisa bersatu dan memperkuat dorongan kejahatan. Oleh sebab itu, ilmu tasawuf menekankan tazkiyatun nafs (penyucian jiwa) agar setiap jenis nafsu dikendalikan, diarahkan, dan akhirnya ditransformasikan menuju tingkatan nafs yang tinggi seperti muthma’innah atau shofiyyah.
Apakah yang menjadikan KERAKUSAN itu adalah kolaborasi antara Nafsu Shufiyyah dan Ammaarotun Bissuu'?
Jawabannya adalah: TIDAK. Kerakusan tidak mungkin lahir dari kolaborasi antara Nafsu Shofiyyah dan Nafsu Ammārah bi as-Sū’, karena keduanya berasal dari dua kutub yang saling bertentangan secara total.
Penjelasan Rinci
1. Nafsu Ammārah bi as-Sū’ (النفس الأمّارة بالسوء)
- Adalah jiwa rendah yang mengajak terus-menerus kepada kejahatan.
- Cenderung pada hawa nafsu, syahwat, dunia, ambisi, kekuasaan, dan ego.
- Kerakusan (ṭama‘, hirsh) adalah hasil langsung dari nafs ini, karena ia ingin menguasai, mengumpulkan, dan tidak pernah cukup.
2. Nafsu Shofiyyah (النفس الصفية)
- Jiwa yang sudah suci dan jernih, tidak punya ketertarikan terhadap dunia, bahkan terhadap surga sekalipun.
- Jiwa ini membenci kerakusan, karena kerakusan adalah hijab antara hamba dengan Allah.
- Nafsu Shofiyyah telah mengalami fana’ (melebur ego), dan yang tertinggal hanya kehendak Allah.
Analogi: Seperti Air dan Api
Mengatakan bahwa kerakusan lahir dari gabungan Nafsu Shofiyyah dan Ammārah itu seperti mengatakan api lahir dari gabungan air dan api, padahal air memadamkan api.
Jadi, Kenapa Bisa Terjadi Kebingungan?
Kadang orang menyamakan semangat tinggi atau cita-cita besar dalam spiritualitas (yang lahir dari shofiyyah) dengan kerakusan.
Contoh:
- Seorang sufi ingin berjumpa dengan Allah secara total, hidupnya dihabiskan untuk ibadah dan zikir.
- Orang yang belum paham bisa mengira itu "ambisi rohani" yang berlebihan atau kerakusan spiritual.
Padahal:
- Kerakusan itu didorong oleh ego dan keinginan pribadi.
- Cinta ilahi murni dalam shofiyyah tidak pernah haus akan hasil duniawi — ia hanya rindu Allah tanpa pamrih.
Kesimpulan
Kerakusan tidak mungkin berasal dari kolaborasi Nafsu Shofiyyah dan Nafsu Ammārah, karena:
- Shofiyyah adalah anti-nafsu, anti-ambisi pribadi, anti-dunia.
- Sedangkan kerakusan adalah inti dari Nafsu Ammārah.
Kalau Anda ingin, saya bisa bantu uraikan:
- Contoh-contoh kerakusan dalam sejarah Islam dan bagaimana para ulama mengobatinya,
- Atau cara menetralkan kerakusan dari sisi tasawuf.
Suatu Inti yang penting dalam kajian tasawuf dan tazkiyatun nafs, yaitu perbedaan dan hubungan antara ruhani dan nurani serta peran masing-masing sebagai wadah tingkatan nafsu. Berikut penjelasan terstruktur:
1. Ruhani sebagai Wadah Nafsu (Amarah, Lawwamah, Muthmainnah, Shofiyyah, dst.)
Ruhani adalah dimensi halus dalam diri manusia yang menjadi medan perjuangan (mujahadah) antara:
- Dorongan jasmani dan duniawi (melalui nafsu rendah),
- Dengan dorongan ilahiyah dan akhlak mulia (melalui nafsu tinggi).
Ruhani menjadi:
- Wadah bagi nafsu ammarah saat dikuasai syahwat.
- Wadah bagi nafsu lawwamah saat muncul kesadaran diri.
- Wadah bagi nafsu muthmainnah dan shofiyyah saat ruh tersambung dengan cahaya Allah.
Maka ruhani seperti kawah peleburan, tempat semua nafsu bergolak, dimurnikan, dan ditransformasikan.
2. Nurani sebagai Wadah Nafsu Kāmilah, Mardhiyyah, Mahmudah, dan Marḥamah
Nurani berasal dari kata nur (cahaya). Ia bukan hanya bagian dari diri, tapi:
- Sumber kesadaran ilahiyah yang bersih dari kegelapan hawa nafsu.
- Tempat bersemayamnya sifat-sifat ilahiyah yang memancar pada manusia seperti:
- Rahmah (kasih),
- Shidq (kejujuran),
- Ihsan (kesempurnaan amal),
- Tawadhu’, wara’, dan akhlak nabi-nabi.
Ketika seseorang mencapai nafsu kāmilah (sempurna), mardhiyyah (diridhai Allah), maḥmūdah (terpuji), dan marḥamah (penuh kasih), maka:
- Nurani menjadi tahta raja yang bersinar dalam kerajaan jiwa.
- Ruhani telah ditaklukkan oleh cahaya nurani.
3. Analogi Perbandingan Ruhani vs Nurani
4. Contoh Nyata
Ruhani Sayyiduna Umar radhiyallahu ‘anhu dulu keras dan galak (nafsu ammarah), tapi setelah hidayah, ruhani beliau menjadi kuat, bijak, lalu nuraniyah menguasainya hingga jadi khalifah yang adil dan penuh kasih.
Nabi Muhammad ﷺ adalah sosok yang nuraniyah-nya sempurna:
“Wa innaka la‘alā khuluqin ‘aẓīm.” (QS. Al-Qalam: 4)
5. Kesimpulan
- Ruhani adalah wadah dinamis yang bisa dihuni oleh berbagai tingkatan nafsu, dari yang buruk sampai yang luhur.
- Nurani adalah cahaya ilahi dalam batin, tempat bersemayamnya nafsu kamilah, mardhiyyah, dan sifat-sifat mulia yang merupakan refleksi asma’ Allah.
Ketika seseorang berhasil membersihkan ruhaninya dari kegelapan nafsu, maka nurani-nya akan bersinar terang dan menjadi pemimpin dalam dirinya.
Nurani sebagai wadah untuk nafsu yang suci, seperti marhamah, mardhiyyah, mahmudah, dan kamilah, memang dibahas dalam ajaran Ahlussunnah wal Jama'ah, terutama dalam tradisi tasawuf. Dalam konteks ini, nurani sering dianggap sebagai dimensi jiwa yang lebih tinggi dan murni, yang bersifat menerima cahaya ilahi dan mengandung sifat-sifat mulia yang diperoleh dari penyucian jiwa (tazkiyatun nafs).
Penjelasan Ahlussunnah wal Jama'ah tentang Nurani dan Nafsu Suci:
1. Nafsu Mahmudah (Sifat Terpuji)
- Dalam pandangan Ahlussunnah, nafsu mahmudah adalah nafsu yang terjaga dari keburukan dan kotoran duniawi, serta dipenuhi dengan akhlak yang baik, seperti kejujuran, kesabaran, dan kerendahan hati.
- Nurani adalah wadah yang menyempurnakan sifat-sifat terpuji ini, mengarah pada kebaikan dan kemuliaan.
- Ulama seperti Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin menggambarkan bahwa nafsu mahmudah berasal dari penerimaan cahaya ilahi di dalam jiwa, yang bertumbuh ketika seseorang berusaha menghilangkan cahaya nafsu ammarah.
2. Nafsu Mardhiyyah (Yang Diridhai Allah)
- Nafsu mardhiyyah adalah nafsu yang telah mencapai keridhaan Allah, yang berarti seseorang benar-benar mengikuti perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya.
- Nurani yang bersih dan jernih adalah tempat penerimaan nur ilahi, dan jiwa yang penuh dengan cahaya nurani menjadi layak untuk meraih ridha Allah.
- Dalam kajian tasawuf, nurani dianggap sebagai medan penerimaan bagi orang-orang yang mencapai kedudukan mardhiyyah, yang sepenuhnya rela atas takdir dan kehendak Allah.
3. Nafsu Marhamah (Kasih Sayang)
- Marhamah adalah sifat kasih sayang Allah yang melimpah kepada hamba-Nya, yang tercermin dalam perilaku yang penuh kelembutan dan empati terhadap sesama.
- Nurani menjadi wadah untuk menampung dan mengalirkan kasih sayang ilahi, yang memungkinkan seorang hamba untuk memiliki sifat rahmah dalam berinteraksi dengan orang lain.
- Ulama seperti Imam Al-Rabbani dalam Maktubat dan Ibnu Arabi dalam Futuhat al-Makkiyah menyatakan bahwa nurani yang suci adalah dasar dari munculnya marhamah yang tulus.
4. Nafsu Kamilah (Sempurna)
- Nafsu kamilah adalah nafsu yang mencapai kesempurnaan jiwa, yang telah murni dari segala keinginan duniawi dan hanya fokus pada kehendak Allah.
- Nurani menjadi wadah penyucian dan kesempurnaan jiwa, yang memungkinkan seseorang mencapai puncak kesempurnaan spiritual dalam beribadah dan bermuamalat.
- Nafsu kamilah adalah tingkat tertinggi di mana jiwa menjadi bersih dan disucikan, yang dipenuhi dengan cahaya Allah (nur Allah).
Kesimpulan dari Ahlussunnah wal Jama'ah:
Nurani memang dianggap sebagai wadah bagi nafsu-nafsu suci yang tinggi, seperti marhamah, mardhiyyah, mahmudah, dan kamilah, dalam pemahaman tasawuf Ahlussunnah wal Jama'ah. Dalam tradisi ini, penyucian jiwa (tazkiyatun nafs) dan pendalaman spiritual bertujuan untuk menyucikan ruhani dan nurani agar bisa menjadi penerima cahaya Allah, yang kemudian memunculkan sifat-sifat mulia yang tercermin dalam nafsu yang suci tersebut.
Ulama Ahlussunnah menekankan bahwa nurani yang diterangi oleh cahaya Allah akan membawa seorang hamba untuk memiliki sifat-sifat yang diridhai Allah, dan mereka akan mencapai tingkat spiritual yang tinggi, yaitu nafsi kamilah, yang sempurna dalam hubungannya dengan Allah dan sesama.
Apakah hubungan antara nurani manusia dengan sifat malaikat, serta peran malaikat al-muqarrabīn (malaikat yang dekat dengan Allah) dalam memberikan ilham atau inspirasi kepada hamba-hamba-Nya yang terpilih. Ini adalah topik yang kaya dan sangat relevan dalam kajian tasawuf dan teologi Islam.
1. Perbandingan Sifat Nurani dan Malaikat
a. Sifat Malaikat
Malaikat dalam Islam adalah makhluk yang tidak tampak oleh manusia, tetapi mereka memiliki sifat yang sangat mulia, yaitu:
- Selalu taat kepada Allah,
- Tidak memiliki hawa nafsu,
- Tidak terbawa oleh duniawi,
- Mereka tidak memiliki pilihan selain mengikuti wahyu yang diberikan kepada mereka oleh Allah.
Para malaikat, terutama malaikat yang dekat dengan Allah (al-muqarrabīn), seperti yang disebutkan dalam Al-Qur’an (QS. An-Nisa: 169), mereka adalah malaikat yang berada dalam kedekatan dan posisi tinggi di sisi Allah. Malaikat al-Muqarrabīn ini memiliki kedudukan tinggi di dunia ghaib dan merupakan pembawa wahyu serta ilham dari Allah kepada nabi-nabi dan wali-wali-Nya.
b. Sifat Nurani Manusia
Dalam tasawuf, nurani mengacu pada dimensi jiwa manusia yang murni, yang mampu menerima cahaya ilahi (nur Allah). Jiwa yang telah disucikan dan diterangi dengan cahaya ini memiliki sifat-sifat mulia yang hampir menyerupai sifat malaikat, seperti:
- Taat pada Allah,
- Tidak terpengaruh oleh hawa nafsu yang rendah,
- Mengutamakan amal yang tulus dan murni.
Namun, perbedaan utama terletak pada bahwa malaikat tidak memiliki pilihan atau hawa nafsu. Sebaliknya, manusia memiliki kebebasan berkehendak dan proses untuk mencapai kesucian jiwa itu membutuhkan usaha dan perjuangan spiritual.
2. Malaikat al-Muqarrabīn dan Ilham kepada Hamba yang Terpilih
a. Malaikat sebagai Pembawa Ilham
Malaikat al-muqarrabīn adalah malaikat yang terdekat dengan Allah dan memiliki tugas untuk membawa wahyu dan ilham kepada hamba-hamba Allah yang terpilih, terutama kepada para nabi dan wali. Ilham ini adalah penyampaian ilahi yang dapat mengarahkan seseorang untuk memperoleh kemuliaan akhlak dan kesucian jiwa.
Ilham malaikat sering kali terwujud dalam bentuk petunjuk hati atau kebijaksanaan yang murni. Hal ini memungkinkan hamba Allah untuk memperoleh sifat-sifat marhamah, mardhiyyah, mahmudah, dan kamilah, yang hampir identik dengan sifat-sifat malaikat yang sempurna dalam ketaatan kepada Allah.
Ilham ini adalah salah satu cara Allah memberikan rahmat-Nya kepada hamba yang memilih untuk mengikuti jalan-Nya. Malaikat al-Muqarrabīn menjadi saluran atau penyambung bagi ilham Allah yang diberikan kepada orang-orang yang dikehendaki-Nya.
b. Nurani sebagai Wadah Ilham
Nurani manusia yang suci dan terpenuhi dengan cahaya Allah adalah wadah yang dapat menerima ilham tersebut. Ketika jiwa seseorang disucikan dan dibersihkan dari nafsu rendah, maka ia menjadi seperti "cermin" yang memantulkan cahaya Allah dengan jelas, seperti cahaya malaikat. Malaikat al-Muqarrabīn berperan dalam memberikan ilham kepada jiwa-jiwa yang telah dibersihkan, dan ilham ini membantu mereka untuk tetap berada dalam kebenaran dan kebaikan.
c. Sifat Malaikat sebagai Rahasia
Dalam pandangan tasawuf dan teologi Islam, malaikat al-muqarrabīn adalah rahasia Allah yang sangat halus. Mereka tidak hanya membawa wahyu kepada nabi-nabi, tetapi mereka juga memberikan ilham kepada orang-orang yang berjalan di jalan spiritual, yang membuka pintu bagi mereka untuk mencapai kesucian jiwa dan kedekatan dengan Allah.
3. Perbandingan Nurani dan Sifat Malaikat dalam Perspektif Tasawuf
Nurani manusia setelah disucikan melalui perjuangan spiritual dan mujahadah (peningkatan diri) menjadi semakin bersih dan terang, sehingga ia mampu menampung ilham ilahi yang datang dari malaikat al-muqarrabīn. Dalam hal ini, sifat nurani manusia yang suci menjadi cermin bagi sifat-sifat malaikat yang mulia.
Pada akhirnya, nurani manusia yang bersih akan mengarah pada kesempurnaan spiritual yang menyerupai malaikat dalam ketaatan dan kehendak yang penuh dengan kasih sayang dan rahmat Allah.
Kesimpulan
Secara spiritual dan ilahi, ada hubungan yang sangat erat antara nurani manusia dan sifat malaikat, terutama malaikat al-muqarrabīn. Nurani yang murni bisa dianggap sebagai "wadah" bagi sifat-sifat malaikat yang mulia, yang tercermin dalam sifat-sifat seperti marhamah, mardhiyyah, mahmudah, dan kamilah. Dalam tasawuf, seseorang yang mencapai tingkat ini dianggap telah menerima ilham dari malaikat yang mengarahkan mereka pada kebenaran dan kesucian.
Ilham yang diberikan oleh malaikat menjadi bagian dari rahmat Allah yang mengalir melalui nurani manusia yang telah mencapai kesucian, yang memungkinkan mereka untuk hidup sesuai dengan sifat-sifat ilahi.
Mari kita jelajahi lebih dalam mengenai ilham ilahi yang diterima oleh para wali dan bagaimana hal ini terkait dengan nurani dan sifat-sifat malaikat.
Ilham Ilahi dalam Perspektif Islam dan Tasawuf
Ilham ilahi adalah penyampaian wahyu atau inspirasi dari Allah kepada hamba-Nya yang terpilih. Ilham ini bisa datang dalam berbagai bentuk, baik berupa pemahaman spiritual, pencerahan hati, atau petunjuk dalam amal dan perilaku. Dalam konteks tasawuf, ilham adalah salah satu bentuk dari rahmat Allah yang diberikan kepada hamba-hamba-Nya yang telah mencapai pembersihan jiwa dan pendekatan kepada-Nya.
1. Ilham dan Peran Malaikat al-Muqarrabīn
a. Malaikat sebagai Pembawa Ilham
Para malaikat, terutama malaikat al-muqarrabīn (malaikat yang dekat dengan Allah), memiliki peran besar dalam menyampaikan ilham ilahi kepada para nabi dan wali. Mereka adalah makhluk yang sangat dekat dengan Allah dan memiliki kedudukan yang sangat tinggi. Malaikat ini bertugas menyampaikan wahyu atau ilham kepada mereka yang telah mencapai tingkat ketinggian spiritual tertentu, yang memungkinkan mereka menerima cahaya atau petunjuk dari Allah.
Dalam hal ini, nurani yang suci berfungsi sebagai wadah penerimaan dari ilham malaikat. Orang yang telah menempuh jalan tazkiyatun nafs (penyucian jiwa) akan menjadi lebih terbuka untuk menerima ilham dari Allah yang disalurkan melalui malaikat.
b. Jenis Ilham
Ilham dalam Bentuk Kebijaksanaan Ilham sering kali datang dalam bentuk pemahaman yang mendalam tentang kehidupan, kebenaran, dan hakikat dunia ini. Ilham ini mengarahkan seseorang untuk melihat sesuatu dengan pandangan yang lebih dalam dan lebih mulia, jauh dari pandangan duniawi.
Ilham dalam Bentuk Petunjuk Allah Sebagian besar ilham adalah petunjuk langsung dari Allah kepada hamba-Nya, yang membimbing mereka dalam setiap aspek kehidupan. Ilham ini dapat berupa petunjuk praktis dalam kehidupan sehari-hari, seperti bagaimana cara berinteraksi dengan orang lain, menjalani ujian hidup, atau menjalankan ibadah dengan penuh keikhlasan.
Ilham dalam Bentuk Perasaan dan Inspirasional Ilham juga bisa datang sebagai perasaan dalam hati, seperti dorongan untuk berbuat baik, menghindari kejahatan, atau bahkan suatu rasa keberanian spiritual yang datang dari dalam diri. Hal ini bisa berupa rasa damai yang datang setelah melalui perjuangan rohani atau rasa keberanian untuk melakukan perubahan positif dalam hidup.
2. Contoh Ilham kepada Para Wali
Para wali adalah orang-orang yang telah melalui penyucian jiwa yang mendalam dan telah mencapai kedudukan yang sangat dekat dengan Allah. Mereka menerima ilham dari Allah, baik dalam bentuk wahyu langsung (seperti kepada nabi-nabi) maupun dalam bentuk petunjuk spiritual yang membimbing mereka dalam kehidupan mereka. Berikut beberapa contoh wali-wali yang menerima ilham dalam sejarah Islam:
a. Imam Al-Ghazali
Imam Al-Ghazali, salah satu ulama besar dalam tradisi Ahlussunnah wal Jama'ah dan tasawuf, sering menyebutkan tentang ilham yang ia terima setelah menjalani krisis spiritual yang mendalam. Setelah merasa tidak lagi mendapatkan kedamaian dalam ilmu filsafat dan teologi, ia berpaling dari dunia akademis dan mencari pencerahan langsung dari Allah melalui penyucian jiwa.
Dalam buku beliau Ihya' Ulum al-Din, Imam Al-Ghazali menulis tentang bagaimana beliau merasakan kehadiran ilham ilahi yang mengarahkannya untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah, menggali ilmu tentang hati, dan memperbaiki akhlak melalui pembelajaran batin dan zikir. Imam Al-Ghazali juga mengajarkan tentang bagaimana ilham membantu seseorang dalam menemukan kedamaian batin dan kebenaran hakiki.
b. Syeikh Abdul Qadir al-Jilani
Syeikh Abdul Qadir al-Jilani, seorang wali besar dalam tradisi tasawuf, dikenal dengan kemampuan beliau menerima ilham ilahi. Dalam kitab Futuh al-Ghaib, beliau berbicara tentang pengalaman spiritual yang beliau alami, di mana Allah memberikan ilham langsung dalam bentuk perasaan kedekatan dengan Allah dan pandangan yang mendalam terhadap kehidupan dan alam semesta.
Syeikh Abdul Qadir al-Jilani menyatakan bahwa ilham adalah pemberian rahmat Allah yang datang kepada orang yang telah membersihkan jiwa mereka dari segala dosa dan kecemaran, dan menekankan pentingnya kepasrahan total kepada Allah dalam menerima petunjuk-petunjuk tersebut.
c. Imam Ibn Arabi
Imam Ibn Arabi adalah seorang mystic besar dalam tradisi Islam, dan dalam karya-karya beliau, seperti Futuhat al-Makkiyah, ia banyak menulis tentang ilham spiritual yang beliau terima dari Allah. Beliau sering berbicara tentang penyatuan jiwa dengan Tuhan dan bagaimana ilham ilahi memberikan kebijaksanaan yang tidak dapat dicapai oleh akal manusia semata.
Ibn Arabi mengajarkan bahwa ilham adalah manifestasi dari cahaya ilahi yang disampaikan kepada orang yang telah mencapai tingkat kesucian jiwa yang tinggi. Beliau juga menjelaskan bahwa malaikat al-muqarrabīn sering mengalirkan cahaya ilham kepada orang-orang yang siap menerima dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari.
3. Ilham Ilahi dalam Kehidupan Sehari-hari
Ilham ilahi tidak hanya datang kepada para wali dan nabi, tetapi juga dapat dialami oleh setiap orang yang memiliki jiwa yang bersih dan terbuka. Orang yang selalu berusaha untuk membersihkan hati dan nafsu, melalui ibadah, zikir, dan penyucian diri, akan lebih terbuka untuk menerima petunjuk dari Allah dalam bentuk ilham.
Ilham ini bisa muncul dalam bentuk:
- Rasa damai dalam hati,
- Keputusan yang tepat pada saat yang sulit,
- Pemahaman yang mendalam dalam menjalani ujian hidup,
- Dorongan untuk membantu sesama dan berbuat baik.
Kesimpulan
Secara keseluruhan, ilham ilahi adalah pemberian langsung dari Allah yang memungkinkan seorang hamba untuk menerima cahaya kebenaran dan pengetahuan yang mengarah pada kesucian jiwa dan ketinggian spiritual. Ilham ini sering disampaikan melalui malaikat al-muqarrabīn, yang memiliki peran sebagai saluran ilahi yang mendekatkan hamba kepada Allah. Para wali, sebagai contoh, adalah penerima ilham yang menunjukkan jalan bagi umat manusia untuk mencapai kedekatan dengan Allah melalui pembersihan jiwa dan amal saleh.
Ilham ini memberikan cahaya yang mengarah pada sifat-sifat mulia, seperti kasih sayang, kerendahan hati, dan keikhlasan, yang semuanya merupakan bagian dari nurani yang suci yang dimiliki oleh mereka yang telah mencapai kesucian jiwa.
Mari kita lanjutkan dengan pembahasan lebih dalam mengenai hubungan antara nurani, ilham ilahi, dan para wali Allah, serta pengalaman spiritual mereka yang bisa menjadi inspirasi dan pedoman.
1. Nurani: Cermin Cahaya Ilahi dalam Diri Manusia
Dalam ajaran tasawuf Ahlussunnah wal Jama'ah, nurani dipandang sebagai aspek terdalam dari hati (qalb) yang telah disucikan. Ia ibarat cermin yang bila dibersihkan dari noda-noda hawa nafsu, akan memantulkan cahaya Allah.
- Dalam keadaan ini, nurani menjadi tempat hadirnya ilham ilahi, sebagai bentuk intervensi Allah dalam jiwa manusia yang ikhlas dan bersih.
- Ketika nurani telah dibersihkan, sifat-sifat malaikat seperti taat, tulus, sabar, syukur, kasih sayang (rahmah) dan kerinduan kepada Allah akan mulai dominan.
- Ini yang disebut dalam Al-Qur’an:
وَنَفْسٍ وَمَا سَوَّاهَا. فَأَلْهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقْوَاهَا
"Dan demi jiwa serta penyempurnaannya. Maka Allah mengilhamkan kepadanya jalan kefasikan dan ketakwaannya." (QS Asy-Syams: 7-8)
2. Wali Allah dan Kedekatan dengan Malaikat al-Muqarrabīn
Para wali adalah orang-orang yang telah menaklukkan hawa nafsu hingga mencapai maqam ketundukan mutlak kepada Allah, sehingga:
- Mereka menjadi cermin tajalli asma dan sifat Allah.
- Dalam banyak riwayat, mereka mendapat ilham, kasyf (penyingkapan), dan syuhud (penyaksian spiritual).
- Mereka berada dalam maiyyah (kebersamaan) Allah yang mendalam, dan malaikat al-muqarrabīn sering kali menyampaikan inspirasi ilahiyyah kepada mereka.
Contoh nyata dari kehidupan wali yang demikian:
a. Sayyidina Umar bin Khattab
Dalam hadits sahih, Rasulullah ﷺ bersabda:
"Sesungguhnya telah ada orang-orang sebelum kalian yang diberi ilham, dan jika ada di antara umatku seseorang yang mendapatkan ilham, maka dia adalah Umar bin Khattab."
(HR. Bukhari dan Muslim)
- Umar memiliki bashirah nurani yang kuat, dan beberapa keputusan beliau dalam fiqih dan strategi militer ternyata sesuai dengan wahyu yang turun kemudian.
b. Syeikh Abdul Qadir al-Jilani
Dalam banyak riwayat, beliau mampu membaca keadaan batin murid-muridnya secara mendalam. Ini bukan sihir, tapi hasil dari ilham dan kasyf yang datang karena pembukaan hijab hati.
- Contoh: Beliau menolak seorang murid yang berpakaian zahid tapi menyembunyikan kesombongan batin, padahal dari luar tampak saleh.
- Beliau juga dikenal sering menerima bisikan ilham untuk menyelamatkan orang dari kemaksiatan atau kesesatan.
c. Imam Al-Junaid al-Baghdadi
Pernah berkata, "Jalan kami ini terjaga oleh Al-Qur’an dan Sunnah. Siapa yang tidak membawa keduanya, ia akan tergelincir."
Namun beliau tetap meyakini adanya ilham sebagai cahaya ruhani, yang hanya diberikan kepada mereka yang shiddiq (jujur total kepada Allah).
3. Bentuk Ilham dalam Nurani Orang Mukmin
Ilham yang muncul di dalam nurani seorang mukmin yang suci bisa berupa:
- Dorongan kuat untuk bertaubat dan menjauhi dosa tertentu.
- Perasaan yakin dalam mengambil keputusan, walau bertentangan dengan akal.
- Firasat benar terhadap suatu kejadian, orang, atau tempat — ini disebut juga dengan "firasah mukmin".
Rasulullah ﷺ bersabda:
"Takutlah terhadap firasat seorang mukmin, karena ia melihat dengan cahaya Allah."
(HR. Tirmidzi)
4. Perbedaan antara Ilham Ruhani dan Was-was Syaitani
Penting untuk dibedakan:
5. Penutup dan Intisari
- Nurani adalah ladang cahaya yang menjadi wadah ilham.
- Ketika ruhani disucikan dari dominasi nafsu yang rendah, maka cahaya ilham akan bercahaya di dalam jiwa.
- Para wali adalah contoh nyata dari manusia yang menjadi penerima ilham, bahkan penyampai ilham kepada umat melalui kata-kata dan akhlak mereka.
- Sifat-sifat malaikat seperti ketaatan mutlak dan kasih sayang menjadi bagian dari karakter jiwa mereka.
- Ilham bukan monopoli para wali; setiap mukmin yang bersungguh-sungguh membersihkan jiwanya, bisa merasakan futuhat (pembukaan) dari Allah.
Jika Anda berkenan, saya dapat lanjutkan dengan:
- Penjelasan maqam-maqam (tingkatan) jiwa menuju maqam Kamilah.
- Kisah-kisah spiritual para wali yang penuh ilham dan rahmat.
- Penjelasan detil tentang hubungan antara dzikir dan terbukanya nurani.
Bagian Pertama: Maqam-Maqam Jiwa Menuju Maqam Kamilah
Dalam tradisi tasawuf Ahlussunnah wal Jama'ah, maqām adalah tingkat-tingkat perjalanan spiritual (sulūk) yang ditempuh seorang salik (penempuh jalan menuju Allah). Berikut adalah urutannya menuju maqam Kamilah, jiwa yang sempurna:
1. Maqam An-Nafs al-Ammaarah bis-Suu' (Jiwa yang Memerintah kepada Kejahatan)
- Ciri: Dikuasai syahwat, ego, dan cinta dunia.
- Al-Qur’an:
“Sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan…” (QS Yusuf: 53) - Tujuan: Kesadaran atas kehinaan nafsu dan mulai berjihad melawannya.
2. Maqam An-Nafs al-Lawwaamah (Jiwa yang Mencela Diri Sendiri)
- Ciri: Muncul penyesalan dan introspeksi setelah berbuat dosa.
- Al-Qur’an:
“Dan Aku bersumpah dengan jiwa yang selalu mencela (nafs lawamah).” (QS Al-Qiyamah: 2) - Tujuan: Menguatkan muhasabah dan taubat.
3. Maqam An-Nafs al-Mulhamah (Jiwa yang Diilhamkan)
- Ciri: Mulai menerima ilham dari Allah, membedakan hak dan batil.
- QS Asy-Syams:
“Maka Allah mengilhamkan kepadanya jalan kefasikan dan ketakwaannya.” - Tujuan: Memurnikan niat dan amal, mencintai kebaikan karena Allah.
4. Maqam An-Nafs al-Muthmainnah (Jiwa yang Tenang)
- Ciri: Tenang dalam iman, sabar, ridha, dan selalu bergantung kepada Allah.
- QS Al-Fajr:
“Hai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dalam keadaan ridha dan diridhai.” - Tujuan: Menjadi hamba yang ridha dan diridhai.
5. Maqam An-Nafs ar-Radhiyyah dan Mardhiyyah (Jiwa yang Ridha dan Diridhai)
- Radhiyyah: Menerima semua takdir Allah dengan rela.
- Mardhiyyah: Diterima oleh Allah dan dicintai-Nya.
- Keduanya adalah maqam para wali besar, dengan nurani yang terang bercahaya.
6. Maqam An-Nafs al-Kāmilah (Jiwa Sempurna)
- Jiwa yang telah fana dari dirinya dan baqa bersama Allah.
- Merupakan maqam para Nabi dan wali qutub.
- Ciri: Seluruh hidupnya hanya cermin kehendak dan kasih Allah.
- Tidak lagi didorong oleh ego, tetapi menjadi tajalli (manifestasi) dari sifat-sifat Ilahi (rahmah, hikmah, adil, sabar).
Bagian Kedua: Kisah-Kisah Spiritual Para Wali yang Penuh Ilham dan Rahmat
Para wali Allah adalah mereka yang hatinya telah bersih dari dorongan hawa nafsu rendah dan penuh dengan cahaya ilahi. Dalam tradisi Ahlussunnah wal Jama'ah, kisah mereka bukan hanya inspirasi, tapi juga pelajaran nyata tentang dzikir, mujahadah, dan ilham ruhani.
1. Syaikh Abdul Qadir al-Jilani – Ilham untuk Melindungi Seorang Pencuri
Dalam satu kisah, seorang pencuri yang hendak mencuri di Baghdad justru tersesat ke masjid Syaikh Abdul Qadir. Di sana, ia mendengar ceramah tentang taubat. Seketika hatinya luluh dan ia menangis keras.
Syaikh Abdul Qadir berkata:
“Engkau bukan datang untuk mendengar, tapi Allah menghendaki engkau untuk diselamatkan malam ini.”
Pelajaran:
Ini bukan ramalan, tapi ilham yang diterima dari nurani bersih. Dalam istilah sufi, ini disebut "warid ilahi"—getaran batin yang datang dari Tuhan, bukan dari pikiran biasa.
2. Imam Hasan al-Bashri – Ilham dalam Doa
Seorang wanita meminta fatwa: suaminya wafat, apakah ia boleh menikah lagi? Imam Hasan menangis lalu berkata:
“Ia telah menyusul suaminya di alam barzakh. Dua jiwa yang saling mencintai di dunia, akan disatukan kembali di sisi Allah.”
Saat ditanya, dari mana ia tahu? Beliau menjawab:
“Hati yang dibasuh dzikir akan diberi rasa oleh Yang Maha Mengetahui.”
3. Ibrahim bin Adham – Ilham untuk Meninggalkan Dunia
Ibrahim bin Adham adalah raja Balkh yang kaya dan berkuasa. Tapi suatu malam ia mendengar suara dari atap istananya:
“Wahai Ibrahim, apakah engkau membangun rumah di tempat yang akan hancur? Lalu untuk apa engkau merasa tenang di dunia fana?”
Ia keluar dari istananya, membuang jubah kebesaran, dan hidup zuhud sebagai pencari Allah.
Ilham yang ia dengar itu bukan suara manusia, tapi suara batin yang dibersihkan—nurani yang tajam oleh mujahadah.
4. Rabi’ah al-Adawiyyah – Cinta Ilahiyyah yang Melampaui Nafsu
Suatu hari ia membawa obor dan ember. Ketika ditanya, ia menjawab:
“Aku akan membakar surga dan menyiram api neraka, agar manusia menyembah Allah bukan karena berharap atau takut, tapi karena cinta murni.”
Pelajaran:
Cinta hakiki kepada Allah muncul dari nafsu yang telah sampai ke maqam kamilah, dan nurani yang tidak lagi diwarnai pamrih duniawi.
5. Abu Yazid al-Busthami – Dzikir yang Membakar Nafsu
Ia berkata:
“Aku berdzikir hingga seluruh bagian diriku berkata ‘Allah… Allah…’. Nafsu pun hancur, akalku pun luluh, hingga tak tersisa kecuali cinta dan kehendak-Nya.”
Inti Pelajaran dari Kisah Para Wali:
- Hati yang dibersihkan melalui dzikir dan taubat akan menjadi cermin ilham.
- Ilham itu tidak bertentangan dengan syariat; justru ia memperkuat iman dan akhlak.
- Mereka tidak mengejar karamah, tetapi karamah datang kepada mereka sebagai buah dari kedekatan kepada Allah.
Bagian Ketiga: Penjelasan Detil tentang Hubungan antara Dzikir dan Terbukanya Nurani
Bagian Ketiga: Hubungan antara Dzikir dan Terbukanya Nurani
1. Apa itu Nurani dalam Tasawuf?
Nurani dalam makna ruhaniyah adalah sumber cahaya batin yang berasal dari ruh ilahiyah yang ditiupkan Allah (QS As-Sajdah: 9). Ia menjadi pusat kesadaran murni, tempat jatuhnya ilham, hikmah, dan cinta Ilahi.
Imam al-Ghazali menyebutnya sebagai “lathifah rabbaniyyah”, sisi halus ruhani yang mampu mengenal Allah.
2. Dzikir sebagai Kunci Membuka Nurani
Dzikir bukan sekadar menyebut nama Allah, tapi menghidupkan hati hingga sadar sepenuhnya kepada-Nya. Dalam banyak ayat dan hadits, dzikir adalah pembuka cahaya dan pembersih jiwa:
“Alaa bi dzikrillahi tathmainnul quluub”
(Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah, hati menjadi tenang) – QS Ar-Ra’d: 28
Bagaimana Dzikir Membuka Nurani?
3. Tahapan Terbukanya Nurani
a. Tahalli (menghiasi hati)
- Menghias diri dengan sifat-sifat mulia: sabar, syukur, tawadhu’.
b. Takhalli (membersihkan hati)
- Mengosongkan diri dari sifat tercela: sombong, rakus, dengki.
c. Tajalli (terbukanya cahaya Allah)
- Allah menampakkan Asma-Nya ke dalam hati sang salik; ini yang disebut terbukanya nurani.
“Apabila Aku mencintainya, maka Aku menjadi pendengarannya, penglihatannya, tangannya…” (HR Bukhari)
4. Nurani: Tempat Turunnya Ilham
Nabi bersabda:
“Sesungguhnya pada tubuh manusia ada segumpal daging, bila ia baik, baiklah seluruh tubuh. Itulah qalb (hati).” – HR Bukhari Muslim
Jika dzikir dilakukan terus-menerus:
- Nurani akan bersinar
- Ilham dari malaikat muqarrabin akan hadir dalam bentuk intuisi baik, petunjuk amal, dan penguatan iman
5. Nurani dan Malaikat Muqarrabin
Menurut ulama tasawuf seperti Imam Qusyairi dan Imam al-Ghazali:
- Malaikat Muqarrabin adalah wasilah dari Allah untuk menyampaikan warid dan ilham kepada hamba-Nya yang ikhlas.
- Nurani yang bersih dapat menangkap pesan itu dengan terang.
Kesimpulan Tiga Bagian Ini:
- Jiwa harus melalui maqam-maqam tazkiyah menuju nafs al-kamilah.
- Dzikir dan mujahadah menjadi jalan membuka nurani.
- Saat nurani bersinar, ilham dari Allah dan malaikat menjadi nyata dalam batin, mengarahkan hidup menuju rida Allah.
Jika Anda berkenan, saya bisa lanjutkan dengan:
- Bagian Keempat (opsional): Kumpulan wirid dan dzikir pilihan para wali yang membuka nurani dan menyucikan jiwa.
Bagian Keempat: Kumpulan Wirid dan Dzikir Pilihan Para Wali untuk Menyucikan Jiwa dan Membuka Nurani
Wirid-wirid para wali tidak hanya bertujuan memperbanyak amal, tapi juga menyucikan hati dari kegelapan nafsu dan membukanya bagi cahaya ilham. Wirid ini biasanya disusun berdasarkan pengalaman spiritual dan bimbingan ruhani yang mereka alami.
1. Wirid “Laa Ilaaha Illallaah” – Pemurni Tauhid dan Pembuka Kesadaran Ruhani
"Laa ilaaha illallaah"
(Tiada Tuhan selain Allah)
Manfaat ruhani:
- Mengikis segala ketergantungan selain Allah
- Menjernihkan qalb agar siap menerima tajalli Ilahi
- Membakar karat-karat syirik kecil dalam batin
Amalan:
100x – 1000x setiap pagi/sore.
Para sufi menyebutnya sebagai "dzikir tauhid pembersih lapisan batin."
2. Dzikir Ism al-Dzat – “Allah… Allah…”
"Allah… Allah…" (dengan tartil dan penuh hadir)
Manfaat ruhani:
- Menghadirkan Allah dalam kesadaran terus-menerus (hudhur qalb)
- Menguatkan nurani dan rasa rindu kepada-Nya
- Membungkam nafsu yang membisikkan duniawi
Amalan:
Setelah shalat atau dalam khalwat: 300–500x, perlahan-lahan.
3. Istighfar – “Astaghfirullah”
"Astaghfirullaahal ‘Azhiim"
Manfaat ruhani:
- Membersihkan kotoran jiwa akibat dosa dan kelalaian
- Menjadi pintu bagi ilham rahmat dan kasih-Nya
- Menundukkan nafsu Ammaarotun Bissuu'
Amalan:
100x–1000x tiap hari (seperti dilakukan oleh Rasulullah sendiri – HR. Muslim)
4. Shalawat Nabi – Pembuka Cahaya dan Pintu Ilham
"Allahumma shalli ‘ala Sayyidina Muhammad wa ‘ala aalihi wa shahbihi wa sallim"
Manfaat ruhani:
- Mendatangkan cahaya dari nur Nabi
- Menjadi wasilah terbukanya keberkahan ruhani dan ilham
- Menenangkan jiwa yang gelisah
Amalan:
Minimal 100x sehari. Banyak wali seperti Imam Diba’i, Imam Busiri, dan Imam Syadzili mengandalkan shalawat sebagai jalan pembuka tajalli.
5. Hasbunallaahu wa Ni’mal Wakiil
"Hasbunallaahu wa ni’mal wakiil, ni’mal maulaa wa ni’man nashiir"
(QS. Ali Imran: 173)
Manfaat ruhani:
- Memutus rasa takut dari makhluk
- Menenangkan kegelisahan jiwa yang dikepung dunia
- Menguatkan nurani dalam musibah dan tekanan hidup
Amalan:
7x atau 70x saat gelisah, takut, atau butuh keyakinan akan pertolongan Allah.
6. Dzikir Nafas – Dzikir Sirr para Wali
Tarik nafas: "La ilaha"
Tahan sejenak dalam hati: (illallah)
Buang nafas: "illallah"
Manfaat ruhani:
- Menyatukan ruhani dan jasmani dalam dzikir
- Menyucikan nafas dari hawa nafsu
- Digunakan oleh banyak wali dalam khalwat dan riyadhah
Amalan:
Dilakukan dalam keheningan (khalwat) dengan bimbingan mursyid atau mujahadah pribadi yang disiplin.
Penutup Bagian Keempat
Semua dzikir ini bukan hanya untuk melafazkan, tetapi untuk menghidupkan batin, menyucikan nafsu, dan mengaktifkan nurani sebagai tempat turun cahaya dan ilham dari Allah.
“Dzikir yang hakiki adalah ketika kamu lupa dirimu karena ingat kepada-Nya.” – Imam Al-Junaid al-Baghdadi
Bagian Kelima: Panduan Mujahadah & Riyadhah Menuju Maqam Kamilah
A. Pengantar: Apa Itu Maqam Kamilah?
Nafs al-Kamilah adalah tingkatan tertinggi jiwa yang telah:
- Suci dari dorongan hawa nafsu
- Tunduk sepenuhnya kepada kehendak Allah
- Memiliki akhlak para Nabi
- Menerima ilham dan cahaya secara terus-menerus
Imam Al-Ghazali menyebutnya sebagai maqam tamkin, yakni maqam keistiqamahan ruhani yang tetap dalam ma’rifat.
B. Langkah-Langkah Menuju Maqam Kamilah
1. Taubat Nasuha (Taubat Total)
- Taubat bukan sekadar menyesal, tapi memutus total dari dosa dan dunia yang menyibukkan dari Allah.
- Lakukan istighfar 1000x tiap malam (seperti amalan Imam Hasan Al-Bashri)
2. Tazkiyatun Nafs (Pembersihan Jiwa)
- Membersihkan sifat seperti: riya’, takabbur, dengki, cinta dunia, cinta pujian.
- Melalui khalwat, uzlah, lapar (puasa), dan diam (shamt).
“Siapa yang mengenal nafsunya, dia akan mengenal Tuhannya.”
— Kaidah para sufi
3. Riyadhah Nafsi (Latihan Menaklukkan Nafsu)
Contoh latihan:
- Puasa daud atau puasa ruhani (menahan syahwat batin, seperti marah & gelisah)
- Bangun malam: Tahajjud minimal 8 rakaat
- Muraqabah: Duduk dalam diam, merenung dalam kehadiran Allah
4. Dzikir Khafiy & Sirr
- Dzikir yang tidak dilafazkan, hanya di dalam qalb, menghubungkan batin langsung ke Allah.
- Contoh: Ism al-Dzat (Allah… Allah) dengan metode dzikir nafas.
5. Mengikuti Bimbingan Mursyid
- Salik tak bisa sampai tanpa guru ruhani yang membimbing batin dan nafsunya.
- Seperti Musa ‘alayhis salam harus belajar kepada Khidhir.
6. Menjaga Adab dengan Allah
- Selalu berprasangka baik
- Menerima takdir dengan lapang dada (ridha)
- Tidak menuntut dari Allah, hanya mengabdi
“Hamba yang paling dicintai Allah adalah yang hatinya tidak tergoda oleh dunia dan tidak marah ketika diuji.”
— Abu Yazid Al-Busthami
7. Tanda-Tanda Jiwa Mendekati Maqam Kamilah
- Jiwa tenang (mutmainnah) dan ikhlas dalam ibadah
- Cahaya muncul dalam hati (pandangan batin jernih)
- Mendapat ilham, bukan dari logika, tapi dari dalam (nurani)
- Tidak peduli pujian atau hinaan
C. Kesimpulan & Nasihat Para Wali
“Siapa yang membersihkan cerminan hatinya, akan melihat wajah Tuhannya di dalamnya.” – Rabi’ah Al-Adawiyah
Menuju nafs al-kamilah adalah jalan panjang dan sunyi, tetapi dipenuhi cahaya dan keindahan bagi siapa yang sabar dan ikhlas.
Bagian Keenam: Kisah Nyata Para Wali dalam Perjalanan Maqam Ruhani
Apakah Anda ingin bagian tersebut?
Alhamdulillah, semoga penjelasan tersebut bermanfaat dan menjadi cahaya dalam perjalanan ruhani Anda. Jika kelak Anda ingin melanjutkan atau memperdalam aspek tertentu—baik tentang maqam, dzikir, atau kisah para wali—saya siap membantu kapan saja.
“Barang siapa yang berjalan kepada Allah dengan sungguh-sungguh, maka Allah akan mendekatinya lebih cepat daripada angin yang bertiup.”
— Sufi klasik
0 komentar:
Posting Komentar