Ayat lengkapnya terdapat dalam Surah Al-Baqarah ayat 256, bagian akhirnya berbunyi sebagai berikut:
فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِنۢ بِٱللَّهِ فَقَدِ ٱسْتَمْسَكَ بِٱلْعُرْوَةِ ٱلْوُثْقَىٰ لَا ٱنفِصَامَ لَهَا ۗ وَٱللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
Latin:
Faman yakfur bith-thāgūti wa yu’min billāhi faqadis'tamsaka bil-‘urwatil-wuthqā, lā infiṣāma lahā; wallāhu samī‘un ‘alīm.
Artinya:
Maka barang siapa yang ingkar kepada Thagut dan beriman kepada Allah, maka sungguh ia telah berpegang kepada tali yang sangat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.
Berikut Tafsir Surah Al-Baqarah ayat 256 (bagian akhir ayat tentang "al-‘urwat al-wuthqā") dari beberapa ulama tafsir besar:
1. Tafsir Ibnu Katsir
Ibnu Katsir menjelaskan bahwa:
- "Barang siapa yang ingkar kepada Thagut" artinya menolak segala bentuk sesembahan selain Allah, baik berhala, manusia yang diibadahi, jin, atau sistem yang menolak hukum Allah.
- "Dan beriman kepada Allah" berarti mengakui keesaan-Nya, beribadah hanya kepada-Nya, dan mengikuti wahyu-Nya.
- "Maka sungguh ia telah berpegang kepada tali yang sangat kuat (‘urwatil wuthqā)": yaitu berpegang teguh pada Islam, syahadat, dan petunjuk Allah yang tak mungkin goyah atau putus.
- "La infiṣāma lahā" (yang tidak akan putus): maksudnya, ikatan keimanan ini kokoh dan tak akan tergoyahkan oleh kebatilan.
- Kalimat ini menunjukkan kesempurnaan iman dan kekuatan akidah.
2. Tafsir Al-Baghawi
Menurut Al-Baghawi:
- "Al-‘urwatul wuthqā" ditafsirkan sebagai kalimat tauhid: Lā ilāha illallāh.
- Artinya: siapa yang menolak thagut dan ikhlas hanya kepada Allah, maka dia telah memegang tali penyelamat yang kokoh dari kesesatan dan neraka.
- Tali ini tidak bisa diputuskan oleh syubhat atau kekufuran.
3. Tafsir Al-Qurthubi
Al-Qurthubi menyebutkan bahwa:
- Ayat ini adalah penegasan tentang pentingnya pemurnian tauhid.
- "Al-‘urwah al-wuthqā" juga bisa dimaknai sebagai iman, Islam, atau Qur’an, karena semua itu menjadi pengikat yang menyelamatkan dari kehancuran.
- Frasa “lā infiṣāma lahā” menegaskan bahwa tidak akan ada kerusakan atau pelepasan dari pegangan ini jika seseorang sungguh-sungguh beriman.
4. Tafsir As-Sa'di
As-Sa'di menjelaskan:
- Makna “berpegang pada tali yang kuat” adalah bentuk istiqamah dalam agama, dan komitmen untuk menjauh dari kebatilan.
- Seseorang yang mengingkari thagut lalu beriman sungguh-sungguh kepada Allah, akan mendapat kebahagiaan dunia dan akhirat serta perlindungan dari kesesatan.
Kesimpulan makna ayat secara umum:
Ayat ini menegaskan bahwa keselamatan dan petunjuk hanya dimiliki oleh orang yang:
- Menolak thagut (segala bentuk kekufuran, kesyirikan, dan sistem batil),
- Beriman kepada Allah dengan sungguh-sungguh, dan
- Berpegang teguh pada tali yang kokoh (yakni Islam, tauhid, atau wahyu Allah), yang tidak akan pernah putus dan akan membawanya kepada kebaikan abadi.
Surah Al-Baqarah ayat 256 berbunyi:
"Tidak ada paksaan dalam agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu, siapa yang ingkar kepada thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya dia telah berpegang pada pegangan yang sangat kuat, yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui." (QS. Al-Baqarah: 256)
Pandangan Sufi terhadap Surah Al-Baqarah Ayat 256:
Dalam pandangan tasawuf (sufi), ayat ini mengandung beberapa lapisan makna yang lebih dalam, yang berkaitan dengan kebebasan spiritual, kebenaran batin, dan kesadaran akan hakikat iman.
1. Kebebasan dalam Memilih Jalan Iman:
Dalam konteks tasawuf, ayat ini mengajarkan bahwa keimanan dan ketaatan kepada Allah tidak dapat dipaksakan atau diatur oleh kekuatan eksternal. Pilihan untuk beriman harus datang dari kesadaran batin dan keinginan hati untuk mencari kebenaran.
Sufi menekankan bahwa pencarian hakikat Tuhan harus dilakukan dengan hati yang ikhlas, bukan karena paksaan atau pengaruh dari luar. Imam al-Ghazali mengajarkan dalam Iḥyā' ‘Ulūm al-Dīn bahwa "hati manusia adalah tempat pilihan bebas antara benar dan salah," dan tidak ada paksaan dalam mencapai kedekatan dengan Allah. Setiap individu harus sampai kepada Allah dengan kehendak dan kesadarannya sendiri.
2. Menjauh dari Jalan yang Sesat (Thaghut):
Dalam tasawuf, thaghut tidak hanya mencakup penyembahan terhadap berhala atau kekuasaan selain Allah, tetapi juga segala bentuk keinginan duniawi yang mengalihkan perhatian dari Allah. Ibn 'Arabi dalam al-Futūḥāt al-Makkiyyah mengajarkan bahwa thaghut adalah segala hal yang menjauhkan hati dari Allah dan menyebabkan manusia terperangkap dalam ilusi dunia. Pembersihan hati dari pengaruh duniawi adalah bagian penting dalam perjalanan spiritual seorang sufi.
Thaghut bisa berupa ego (nafs), keinginan material, atau bahkan faktor eksternal yang merusak ketulusan dalam beribadah. Oleh karena itu, seorang sufi berusaha untuk menanggalkan segala bentuk penyembahan selain Allah dan berpegang teguh pada iman yang sejati yang hanya menyembah Allah.
3. Pegangan yang Kuat dan Tidak Terputus:
Kalimat "berpegang pada pegangan yang sangat kuat, yang tidak akan putus" mengarah pada konsep "al-'urwatul wuthqa", pegangan yang sangat kuat dalam ajaran tasawuf. Para sufi mengajarkan bahwa pegangan kuat ini adalah iman yang tulus kepada Allah, yang tidak tergoyahkan oleh rintangan duniawi maupun kesulitan spiritual.
Syaikh al-Akbar Ibn 'Arabi dalam Futūḥāt menghubungkan makna pegangan yang sangat kuat ini dengan ma'rifatullah (pengetahuan yang mendalam tentang Allah). Pegangan ini adalah hubungan batin yang tidak dapat diputuskan oleh apapun, karena ma'rifatullah adalah kenyataan sejati yang tidak dapat digantikan oleh apa pun. Ini mengacu pada perjalanan spiritual seorang sufi yang berusaha untuk mencapai kedekatan yang tak terputus dengan Allah.
4. Kebebasan Batin dan Pilihan Hati:
Dalam tasawuf, ayat ini juga mengajarkan bahwa keimanan yang tulus dan murni hanya bisa dicapai melalui kebebasan batin. Seorang sufi tidak hanya mengikuti agama secara lahiriah, tetapi juga merasakan kedamaian batin dalam keputusan untuk mengikuti jalan Allah. Ibn Qayyim al-Jawziyyah dalam Madarij al-Salikin menekankan bahwa paksaan dalam agama tidak membawa seseorang pada pemahaman yang hakiki, karena "hati hanya bisa menerima kebenaran melalui kesadaran yang datang dari dalam."
Seorang sufi yang sejati akan merasa bebas dalam memilih jalan menuju Allah, tanpa adanya paksaan atau tekanan. Ini adalah kebebasan spiritual yang hanya bisa dicapai setelah seseorang membersihkan hatinya dari segala ketergantungan pada dunia dan ego.
5. Pengertian "Thaghut" dalam Perspektif Sufi:
Dalam pandangan sufi, thaghut bisa juga merujuk pada nafs (jiwa atau ego), yang merupakan salah satu penghalang terbesar dalam mencapai ma'rifat kepada Allah. Nafs seringkali mengarah pada keinginan duniawi dan menghalangi perjalanan spiritual seorang sufi menuju Allah. Dalam hal ini, ayat ini mengingatkan bahwa beriman kepada Allah berarti menanggalkan segala bentuk penghambaan pada nafs dan segala sesuatu selain Allah.
Rumi dalam Masnavi sering mengingatkan bahwa nafs adalah penghalang utama yang menghalangi kita untuk mencapai pengenalan yang sejati terhadap Allah, dan hanya dengan mengalahkan ego kita dapat menemukan jalan yang benar.
Kesimpulan:
Dalam pandangan tasawuf, Surah Al-Baqarah ayat 256 adalah ajaran tentang kebebasan batin dalam memilih untuk beriman kepada Allah. Sufi mengajarkan bahwa keimanan sejati tidak bisa dipaksakan dan harus datang dari hati yang ikhlas, tanpa pengaruh dunia atau ego. Sufi berusaha untuk menjauhkan diri dari thaghut, yang dalam konteks ini mencakup ego, keinginan duniawi, dan kesyirikan, serta berpegang pada pegangan yang kuat yang tidak akan pernah terputus, yaitu iman yang sejati kepada Allah.
Kaitan antara konsep "pegangan yang kokoh" dalam Surah Al-Baqarah ayat 256 dengan kalimat "Lā ilāha illā Allāh" sangat dalam dalam pandangan tasawuf. "Lā ilāha illā Allāh" (tiada Tuhan selain Allah) adalah inti dari tauhid dalam Islam, yang merupakan kepercayaan dan pengakuan yang murni bahwa Allah adalah satu-satunya Tuhan yang berhak disembah, tanpa ada sekutu atau tandingan-Nya.
"Pegangan yang kokoh" yang disebutkan dalam Surah Al-Baqarah ayat 256 adalah pegangan kepada iman yang benar, yaitu tauhid yang tidak tergoyahkan oleh pengaruh apapun. Ini dapat dipahami sebagai sebuah keterikatan yang kuat dengan prinsip dasar keimanan kepada Allah, yang hanya bisa dicapai dengan penyerahan diri total kepada-Nya. Inilah yang menjadi "pegangan yang sangat kuat, yang tidak akan putus". Pegangan ini tidak tergoyahkan oleh apa pun karena hanya Allah yang menjadi tujuan akhir dari perjalanan hidup seorang hamba.
Kaitan dengan "Lā ilāha illā Allāh" dalam Tasawuf:
Tauhid sebagai Pegangan Kokoh: Dalam pandangan tasawuf, "Lā ilāha illā Allāh" adalah kalimat yang menegaskan keesaan Allah dan merupakan pegangan utama dalam perjalanan spiritual seorang sufi. "Lā ilāha illā Allāh" menjadi fondasi yang kokoh dalam penyerahan diri dan pembebasan diri dari segala sesuatu selain Allah. Dengan mengucapkan kalimat ini, seorang sufi menyatakan konsistensi dalam berpegang pada Allah sebagai satu-satunya objek yang disembah dan dituju.
Imam al-Ghazali menjelaskan bahwa kalimat ini adalah kunci untuk mengenal Allah, dan setiap kali seorang sufi mengingat Allah, ia memperkuat pegangan kokoh terhadap iman dan ketaatan kepada-Nya. Dalam ajaran sufi, tauhid adalah kunci untuk membuka pintu ma'rifat (pengetahuan batin) terhadap Allah.
Pencapaian Fana' dan Tauhid: Dalam perjalanan spiritual sufi, tujuan akhirnya adalah mencapai fana' (lenyapnya ego) dan buku tauhid (pengesahan keesaan Allah). "Lā ilāha illā Allāh" bukan hanya sebuah pengakuan verbal, tetapi lebih merupakan proses batin yang melibatkan pengosongan diri dari segala bentuk penyembahan selain Allah. Sufi yang sejati berusaha untuk menghilangkan semua penghalang dalam hatinya yang membuatnya terikat dengan dunia atau selain Allah.
Ibn 'Arabi mengajarkan bahwa "fana’" adalah ketika seorang salik (penempuh jalan spiritual) lenyap dalam penghambaan kepada Allah, sehingga hanya ada Allah dalam pandangannya. Ini adalah bentuk penguatan pegangan kokoh terhadap kalimat "Lā ilāha illā Allāh".
Kesatuan antara Makhluk dan Khaliq: Dalam pandangan sufi, ketika seorang salik mengucapkan "Lā ilāha illā Allāh" dengan kesadaran penuh, ia akan mulai merasakan kesatuan antara dirinya dan Allah. Hal ini tidak berarti bahwa ia menyamakan dirinya dengan Allah, tetapi berarti bahwa semua penciptaan dan semua hal dalam dunia ini adalah manifestasi dari kehendak Allah. Oleh karena itu, dalam perjalanan menuju Allah, segala sesuatu selain Allah menjadi tidak berarti dan tersingkap oleh kehadiran Allah.
Rumi dalam Masnavi menggambarkan hal ini dengan mengatakan:
"Bila engkau menyatakan 'Lā ilāha illā Allāh', seluruh dunia akan lenyap dari hatimu, dan hanya yang ada adalah Tuhan yang engkau sembah."
Iman yang Tidak Tergoyahkan: Kalimat "Lā ilāha illā Allāh" juga mencerminkan iman yang tidak tergoyahkan. Para sufi percaya bahwa setelah mencapai pemahaman yang benar terhadap kalimat ini, seorang hamba akan tergantung hanya kepada Allah dan tidak akan tergoyahkan oleh apapun dalam hidupnya. Iman ini menjadi pegangan yang kokoh, tidak terpengaruh oleh keadaan duniawi yang fana. Ini sesuai dengan pegangan kokoh dalam Surah Al-Baqarah ayat 256, yang melambangkan keteguhan dan kekuatan iman yang tidak terpengaruh oleh apapun.
Syaikh Abdul Qadir al-Jilani dalam al-Ghunyah menekankan bahwa seseorang yang mengucapkan "Lā ilāha illā Allāh" dengan hati yang tulus akan memiliki pengalaman batin yang kuat yang tidak bisa diputus oleh apapun. Ia akan merasa terhubung dengan Allah secara langsung, dan ini akan menjadi pegangan hidup yang sejati.
Kesimpulan:
Secara keseluruhan, "Lā ilāha illā Allāh" adalah inti dari iman yang membentuk pegangan kokoh bagi seorang sufi dalam perjalanan menuju Allah. Konsep pegangan yang kokoh dalam Surah Al-Baqarah ayat 256 berkaitan dengan tauhid sebagai landasan utama hidup seorang Muslim, khususnya dalam konteks tasawuf. "Lā ilāha illā Allāh" bukan hanya sekedar pengucapan verbal, tetapi lebih dari itu, ia adalah pengakuan batin yang membawa seorang hamba untuk benar-benar berpegang pada kebenaran yang tidak akan tergoyahkan—yakni keesaan Allah, dalam segala aspek kehidupannya.
Laa ilaaha illallaah Laa ma'buuda illaallaah, Laa ilaaha illallaah Laa maqshuuda illallah, Laa ilaaha illallaah Laa mathluuba illallah,
Laa ilaaha illallaah Laa Maujuuda illallah.
Kalimat-kalimat yang Anda sebutkan adalah variasi dari "Lā ilāha illā Allāh" (tiada Tuhan selain Allah) yang dipadukan dengan frasa tambahan yang memperluas makna tauhid dan keesaan Allah dalam perspektif sufi. Setiap frasa ini menggambarkan berbagai aspek dalam perjalanan spiritual seorang hamba yang menuju pengenalan dan ketaatan penuh kepada Allah. Berikut penjelasan dari setiap kalimat tersebut:
1. Lā ilāha illā Allāh, Lā ma'būda illā Allāh
Makna:
"Tiada Tuhan selain Allah, tiada yang disembah selain Allah."
Dalam pandangan sufi, ini menegaskan bahwa Allah adalah satu-satunya yang berhak disembah. Tidak ada kekuatan lain yang layak untuk mendapatkan ibadah atau pengabdian. Seluruh keberadaan hanya menyembah kepada Allah, dan dalam pencerahan spiritual, seorang sufi menyadari bahwa segala bentuk penyembahan yang ada di dunia ini adalah manifestasi dari keinginan untuk kembali kepada Allah. Di sini, ma’būdah (yang disembah) adalah Allah yang mutlak, tanpa sekutu.
Pandangan Sufi:
Menurut para sufi, segala bentuk penyembahan selain Allah hanyalah ilusi atau penyimpangan dari kebenaran. Oleh karena itu, seorang sufi akan berusaha untuk menghilangkan segala bentuk penyembahan selain Allah, baik itu nafs (ego), dunia, maupun keinginan-keinginan duniawi yang menghalangi kedekatannya dengan Tuhan.
2. Lā ilāha illā Allāh, Lā maqshūda illā Allāh
Makna:
"Tiada Tuhan selain Allah, tiada yang dituju selain Allah."
Kalimat ini menunjukkan bahwa tujuan hidup seorang Muslim yang sejati adalah Allah. Dalam konteks tasawuf, ini berarti bahwa seluruh perjalanan spiritual seorang hamba haruslah hanya untuk mendekatkan diri kepada Allah. Baik amalan duniawi maupun amalan akhirat semuanya ditujukan untuk mencapai keridhaan Allah.
Pandangan Sufi:
Para sufi melihat dunia ini sebagai tempat ujian, dan bagi mereka, satu-satunya tujuan sejati adalah mendekatkan diri kepada Allah. Allah adalah tujuan akhir dari segala upaya spiritual, dan seorang sufi akan berusaha untuk menyucikan hatinya agar tidak terganggu oleh penyimpangan duniawi atau keinginan yang tidak sesuai dengan kehendak-Nya.
3. Lā ilāha illā Allāh, Lā mathlūba illā Allāh
Makna:
"Tiada Tuhan selain Allah, tiada yang dicari selain Allah."
Frasa ini mengungkapkan bahwa segala pencarian seorang hamba, baik itu dalam kehidupan dunia maupun dalam perjalanan spiritual, seharusnya hanya untuk Allah. Dalam ajaran sufi, segala bentuk pencarian duniawi yang dilakukan dengan niat yang salah atau tidak tulus akan membawa manusia lebih jauh dari Allah. Sufi mengajarkan untuk mencari Allah dalam setiap aspek kehidupan dan menjadikan-Nya sebagai satu-satunya tujuan.
Pandangan Sufi:
Bagi seorang sufi, pencarian sejati adalah pencarian Allah dalam segala aspek kehidupan. Mereka tidak mencari kepuasan duniawi atau keinginan pribadi, melainkan mereka hanya menginginkan kebersamaan dengan Allah. Sebagai contoh, dalam karya-karya Rumi dan Ibn Arabi, mereka menekankan pentingnya menyaring niat dalam segala tindakan, agar semua pencarian itu terfokus hanya kepada Allah.
4. Lā ilāha illā Allāh, Lā māwjūdā illā Allāh
Makna:
"Tiada Tuhan selain Allah, tiada yang ada selain Allah."
Dalam perspektif tasawuf, kalimat ini mengandung makna "wujud Allah yang mutlak". "Māwjūd" di sini merujuk pada segala sesuatu yang ada. Dalam ajaran sufi, ini berarti bahwa segala sesuatu yang ada di alam semesta ini pada hakikatnya merupakan manifestasi dari Allah. Sebagai contoh, Ibn Arabi mengajarkan bahwa segala yang ada adalah wujud Allah yang tampak dalam berbagai bentuk, dan kita hanya perlu mengenal Allah melalui semua ciptaan-Nya.
Pandangan Sufi:
Bagi seorang sufi, perasaan "tiada yang ada selain Allah" berarti bahwa Allah adalah sumber dari segala sesuatu. Bahkan dalam pengalaman mistik para sufi, mereka bisa mencapai kesadaran bahwa segala sesuatu dalam alam semesta ini hanyalah pancaran dari wujud-Nya. Ketika seorang sufi mencapai puncak ma'rifat (pengetahuan batin) tentang Allah, ia menyadari bahwa hanya Allah yang ada, sementara yang lainnya adalah penampakan sementara.
Kesimpulan:
Keempat kalimat ini saling melengkapi dalam mengungkapkan inti tauhid dan ketaatan kepada Allah dari berbagai perspektif dalam ajaran tasawuf:
- Lā ilāha illā Allāh menegaskan keesaan Allah.
- Lā ma'būda illā Allāh menegaskan bahwa Allah adalah satu-satunya yang berhak disembah.
- Lā maqshūda illā Allāh mengingatkan bahwa Allah adalah tujuan akhir dari setiap amal dan usaha.
- Lā mathlūba illā Allāh mengingatkan bahwa hanya Allah yang dicari dari setiap langkah kehidupan
- Lā māwjūdā illā Allāh menunjukkan bahwa hanya Allah yang ada dalam hakikatnya, dan segala yang ada hanyalah manifestasi dari-Nya.
Semua ini menunjukkan bahwa seorang sufi berusaha meninggalkan segala bentuk ketergantungan pada selain Allah dan senantiasa berusaha mengenali Allah dalam setiap aspek kehidupan, menyadari bahwa segala sesuatu selain Allah adalah sementara dan hanya Allah yang kekal.
PENJELASAN MENDALAM PADA PANDANGAN SUFI
Kalimat "لَا مَعْبُودَ إِلَّا اللَّهُ" (Lā ma'būdā illā Allāh) memiliki makna yang sangat mendalam dalam ajaran tasawuf. Secara harfiah, kalimat ini berarti "Tidak ada yang disembah selain Allah." Kalimat ini mengandung penegasan akan tauhid (keesaan Allah) yang menjadi inti ajaran Islam, yang menegaskan bahwa hanya Allah yang berhak disembah dan tidak ada Tuhan selain-Nya.
Terima kasih atas klarifikasinya. Berikut adalah kesimpulan untuk kalimat "Lā ma'būda illā Allāh" dalam konteks yang lebih lengkap:
Lā ma'būda illā Allāh
Makna:
"Tiada yang disembah selain Allah."
Kalimat ini menegaskan bahwa hanya Allah yang berhak disembah, baik secara lahiriah (ibadah ritual) maupun batiniah (dengan seluruh hati dan jiwa). Dalam ajaran tasawuf, ini adalah pengingat bahwa segala bentuk penyembahan dan pengabdian hanya boleh diarahkan kepada Allah semata. Tidak ada sesuatu pun di dunia ini—baik itu manusia, benda, atau keinginan-keinginan duniawi—yang layak mendapat tempat dalam hati seorang hamba selain Allah.
Pandangan Sufi tentang "Lā ma'būda illā Allāh":
Melepaskan Ketergantungan pada selain Allah
Seorang sufi memahami bahwa semua bentuk penyembahan selain Allah, baik itu kepada nafs (ego), harta, status sosial, atau keinginan duniawi, adalah penyimpangan dari tujuan spiritual. Dalam ma'rifat (pengetahuan batin), seorang sufi menyadari bahwa hanya Allah yang pantas mendapatkan sembahan dan pengabdian. Ini mengarah pada pemurnian niat dan tindakan, mengarah kepada Allah semata.Keikhlasan dalam Ibadah
"Lā ma'būda illā Allāh" juga mengajarkan kepada seorang sufi untuk ikhlas dalam melaksanakan ibadah, bukan sekadar mengikuti ritual secara lahiriah, tetapi dengan kesungguhan hati, bahwa hanya Allah yang menjadi tujuan dan sasaran ibadahnya. Ibadah bukan hanya sekadar kewajiban, melainkan penyerahan total kepada Allah.Penyembahan yang Lebih dalam
Dalam pandangan sufi, penyembahan kepada Allah lebih dari sekadar ritual formal seperti shalat dan doa. Itu mencakup penyerahan diri sepenuhnya dalam tindakan sehari-hari, pikiran, dan perasaan. Segala aspek kehidupan seorang sufi ditujukan untuk memuliakan Allah. Semua yang dilakukan harus berdasarkan keinginan untuk mendekatkan diri kepada-Nya, dan bukan untuk tujuan duniawi atau materi.Mengosongkan Hati dari selain Allah
Seorang sufi yang mendalami makna "Lā ma'būda illā Allāh" akan berusaha untuk membersihkan hatinya dari segala keinginan selain Allah, menjadikan hati tersebut hanya tempat bagi cinta dan pengabdian kepada-Nya. Sebagaimana Rumi menggambarkan dalam puisi-puisinya, seorang sufi yang sejati adalah mereka yang hati dan jiwanya sepenuhnya terfokus kepada Allah, tanpa ada gangguan dari dunia luar atau hasrat pribadi.
Kesimpulan:
Secara keseluruhan, "Lā ma'būda illā Allāh" adalah penegasan bahwa hanya Allah yang berhak disembah, dan seorang hamba harus menempatkan segala pengabdian, penyembahan, dan cinta hanya kepada-Nya. Dalam tasawuf, ini mencakup penyerahan total hati dan jiwa kepada Allah, mengosongkan diri dari segala ketergantungan pada selain-Nya. Hal ini mengarah pada perjalanan spiritual seorang sufi untuk mencapai kesadaran penuh akan kehadiran Allah dalam setiap aspek kehidupan, baik lahiriah maupun batiniah.
Makna dalam Perspektif Tasawuf:
Penegasan Tauhid: Kalimat ini mengungkapkan prinsip dasar tauhid dalam agama Islam, yaitu bahwa Allah adalah satu-satunya yang berhak disembah, baik dalam bentuk ibadah maupun penghambaan. Para sufi melihat kalimat ini sebagai bentuk penyerahan diri total kepada Allah, menyucikan diri dari segala bentuk kesyirikan dan membuang segala perasaan atau penghambaan selain kepada Allah.
Meneguhkan Pengabdian Sejati kepada Allah: Dalam ajaran tasawuf, seorang salik (penempuh jalan Allah) berusaha untuk menyucikan hati dan pikirannya agar hanya Allah yang menjadi tujuan dari segala penghambaan dan ibadah. Pengertian ini mengarah pada pemurnian niat agar tidak ada kesyirikan dalam ibadah, baik yang tampak maupun yang tersembunyi.
Ibn 'Arabi, seorang sufi besar, mengatakan bahwa "tidak ada yang berhak disembah selain Allah" berarti bahwa segala bentuk penyembahan selain Allah adalah bentuk kebodohan yang harus dihindari oleh seorang salik.
Mengatasi Penyembahan Selain Allah: Dalam kehidupan sehari-hari, seringkali manusia cenderung menyembah selain Allah dalam bentuk materi, kekuasaan, atau bahkan hasrat-hasrat duniawi. Para sufi mengajarkan bahwa seorang hamba harus membersihkan hati dan pikirannya dari segala yang mengarah pada kesyirikan tersebut. Segala sesuatu yang bukan Allah harus dipahami sebagai sarana, bukan objek penyembahan.
- Imam al-Ghazali dalam Iḥyā' ‘Ulūm al-Dīn mengingatkan bahwa "Menyembah selain Allah adalah bentuk pengabdian yang palsu. Hanya Allah yang layak disembah, dan segala yang ada di dunia ini adalah cerminan dari kuasa-Nya."
Fana’ (Lenyapnya Ego) dalam Penghambaan: Dalam tasawuf, konsep fana' merujuk pada lenyapnya ego dan keinginan pribadi dalam perjalanan menuju Allah. Dengan mengucapkan "Lā ma'būdā illā Allāh", seorang sufi menyadari bahwa segala penghambaan harus diarahkan kepada Allah semata, tanpa adanya keinginan pribadi yang tercampur. Hati yang fana hanya menginginkan Allah, tanpa ada keinginan selain-Nya.
- Syaikh al-Akbar Ibn 'Arabi menjelaskan bahwa "Fana' adalah ketika seorang hamba benar-benar lenyap dalam penghambaan kepada Allah, tanpa ada yang tersisa selain kehendak-Nya."
Menyembah Allah dengan Kesadaran Penuh: "Lā ma'būdā illā Allāh" mengandung ajaran untuk menyembah Allah dengan kesadaran penuh bahwa hanya Dialah yang berhak menerima ibadah kita. Ini adalah penghargaan terhadap kedudukan Allah yang Maha Esa dan tidak ada yang setara dengan-Nya. Ibnu Atha'illah mengajarkan dalam al-Hikam bahwa "Tuhan yang disembah bukan hanya dalam tindakan ibadah, tetapi juga dalam setiap aspek kehidupan yang dipenuhi dengan kesadaran akan keberadaan-Nya."
Tawhid dalam Setiap Aspek Kehidupan: Kalimat ini juga menyiratkan bahwa seluruh kehidupan seorang Muslim, khususnya seorang sufi, harus dipenuhi dengan penghambaan kepada Allah. Tidak hanya dalam ritual ibadah, tetapi dalam seluruh aktivitas, baik itu pekerjaan, pergaulan, atau apa pun yang dilakukan, harus dilakukan dengan kesadaran penuh bahwa semuanya hanya untuk Allah.
- Imam al-Qushayri mengatakan bahwa seorang sufi yang sejati adalah orang yang dalam setiap detik hidupnya, bahkan dalam hal-hal yang tampaknya remeh, hanya menginginkan Allah.
Praktik Sufi dalam Kehidupan Sehari-hari:
Menjadikan Allah Sebagai Satu-Satunya Tujuan: Para sufi selalu berusaha untuk mengingat bahwa Allah adalah satu-satunya tujuan dalam hidup ini, bukan dunia, kekayaan, atau status sosial. Dalam setiap tindakan, seorang sufi hanya berusaha mencari ridha Allah dan mendekatkan diri kepada-Nya.
Membersihkan Hati dari Penyembahan Selain Allah: Seorang sufi berusaha keras untuk membersihkan hatinya dari keinginan-keinginan duniawi yang berpotensi menjadi bentuk penyembahan selain Allah. Misalnya, seorang sufi harus menjaga diri agar tidak terikat pada kekayaan, kemasyhuran, atau keinginan pribadi yang bisa menggantikan posisi Allah dalam hati mereka.
Melakukan Ibadah dengan Ketulusan dan Keikhlasan: Setiap ibadah yang dilakukan oleh seorang sufi haruslah dengan ketulusan dan keikhlasan semata-mata untuk Allah. Tidak ada ruang untuk riya' (pamer) atau niat selain untuk mencari ridha Allah dalam setiap amal yang dilakukan.
Kutipan dari Para Sufi:
Ibn 'Arabi dalam al-Futūḥāt al-Makkiyyah menulis:
"Tidak ada yang berhak disembah selain Allah. Semua yang kita lakukan haruslah dimaksudkan untuk mencapai kedekatan dengan-Nya."
Imam al-Ghazali dalam Iḥyā' ‘Ulūm al-Dīn berkata:
"Menyembah selain Allah adalah bentuk pengabdian yang palsu, dan hanya Allah yang dapat memberikan kedamaian hati."
Rumi dalam Masnavi menyatakan:
"Apa yang dicari oleh setiap jiwa, baik mereka tahu atau tidak, adalah Allah. Semua pencarian ini hanyalah untuk menuju kepada-Nya."
Kesimpulan:
Kalimat "Lā ma'būdā illā Allāh" mengandung penegasan akan tauhid yang mendalam. Dalam ajaran tasawuf, ini mengajarkan bahwa hanya Allah yang berhak disembah, dan seorang hamba harus mengarahkan segala bentuk ibadah dan penghambaan hanya kepada-Nya. Seorang sufi berusaha untuk menyucikan hatinya dari segala bentuk penghambaan selain Allah dan berusaha agar segala amal dan niatnya hanya untuk mendapatkan ridha Allah semata.
Lā ilāha illā Allāh, Lā maqshūda illā Allāh
Makna:
"Tiada Tuhan selain Allah, tiada yang dituju selain Allah."
Kalimat ini menegaskan bahwa tujuan utama hidup seorang hamba hanya Allah. Dalam konteks tasawuf, maqshūd berarti "yang dituju" atau "tujuan akhir". Artinya, segala tujuan hidup seorang hamba, baik dalam amal ibadah, perjalanan spiritual, maupun dalam kehidupan dunia, hanya untuk mencapai Allah.
Pandangan Sufi:
Para sufi menafsirkan kalimat ini sebagai penekanan pada satu-satunya tujuan sejati yang harus dicapai dalam hidup. Bagi mereka, dunia ini hanyalah medan ujian dan segala pencarian spiritual, amalan, dan niat seorang sufi harus hanya untuk mencapai kedekatan dengan Allah.
Tujuan Spiritual:
Seorang sufi berusaha untuk menyucikan hatinya, agar semua amalnya terfokus pada Allah dan tidak teralihkan oleh hal-hal duniawi. Dalam ** perjalanan menuju Allah**, semua bentuk kesenangan atau tujuan selain Allah dianggap sebagai halangan yang perlu diatasi.Cinta kepada Allah:
Sufi juga menekankan bahwa cinta kepada Allah adalah inti dari segala tujuan hidup. Oleh karena itu, segala usaha seorang sufi, baik dalam bentuk ibadah maupun kebaikan duniawi, semata-mata bertujuan untuk mendapatkan keridhaan dan kedekatan dengan Allah.Konsep "Maqshūd":
Maqshūd di sini merujuk pada "yang harus dicapai". Oleh karena itu, seorang sufi tidak akan merasa puas dengan apa pun selain Allah sebagai tujuan utamanya. Sebagai contoh, para sufi seperti Imam al-Ghazali mengajarkan bahwa seseorang yang mencari kebahagiaan atau kesenangan duniawi akan selalu merasa kosong, karena Allah adalah tujuan sejati yang harus dicapai.
Kesimpulan:
Secara keseluruhan, "Lā ilāha illā Allāh, Lā maqshūda illā Allāh" menunjukkan bahwa segala pencarian dan tujuan hidup seorang hamba seharusnya hanya terfokus pada Allah. Para sufi menekankan bahwa dunia ini hanyalah tempat sementara dan Allah adalah satu-satunya tujuan yang sejati. Semua usaha, pencarian, dan doa yang dilakukan oleh seorang hamba harus menyatu dalam tujuan yang tunggal, yaitu mendekatkan diri kepada Allah dan mencari keridhaan-Nya.
Dengan demikian, kalimat ini menggambarkan konsistensi dan keteguhan dalam fokus tujuan hidup seorang sufi yang berusaha menghapuskan segala bentuk tujuan selain Allah dan meletakkan-Nya sebagai satu-satunya yang dituju.
Kalimat "لَا مَقْصُودَ إِلَّا اللَّهُ" (Lā maqsūdā illā Allāh) adalah ungkapan yang sangat dalam dalam ajaran tasawuf yang menunjukkan bahwa tujuan hidup yang sejati adalah Allah semata. Kalimat ini mengungkapkan pandangan sufi tentang kehidupan, di mana segala usaha, niat, dan tujuan seorang salik (penempuh jalan Allah) hanya diarahkan untuk meraih keridhaan Allah dan pertemuan dengan-Nya.
Makna Kalimat:
- Lā: Tidak ada
- Maqsūd: yang dimaksud, yang menjadi tujuan
- Illā Allāh: kecuali Allah
Makna lengkapnya:
"Tidak ada tujuan selain Allah."
Penjelasan dalam Perspektif Tasawuf:
Tujuan Sejati Adalah Allah: Kalimat ini menegaskan bahwa dalam pandangan para sufi, semua pencapaian, amal, dan usaha dalam hidup hanya memiliki nilai dan makna sejati jika tujuannya adalah Allah. Ini mencakup semua aspek kehidupan, baik ibadah, pekerjaan, pergaulan, dan segala aktivitas lainnya. Semua harus diarahkan untuk mencapai ridha Allah, bukan untuk kepentingan pribadi atau duniawi.
Keikhlasan dalam Perjalanan Spiritual: Para sufi mengajarkan bahwa seorang hamba harus memiliki keikhlasan total dalam setiap langkahnya. Kalimat "Lā maqsūdā illā Allāh" mengingatkan mereka untuk membersihkan niat dan menghindari segala bentuk riya' (pamer) atau kesia-siaan dalam amal. Tujuan sejati mereka adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah, bukan untuk mencari keuntungan pribadi atau popularitas.
Fana’ dan Baqa’ dalam Tasawuf: Dalam tasawuf, konsep fana' (lenyapnya ego) dan baqa' (kekal dalam Allah) sangat terkait dengan kalimat ini. Seorang sufi berusaha untuk lenyap dalam kehendak Allah sehingga keinginan pribadi tidak lagi menjadi tujuan utama. Ketika ego dan kehendak pribadi lenyap, yang ada hanya kehendak Allah.
- Imam al-Junayd mengatakan:
"Fana’ adalah ketika seseorang tidak memiliki tujuan selain Allah."
- Imam al-Junayd mengatakan:
Sufisme dan Kehidupan Duniawi: Dalam pandangan sufi, dunia ini hanya sebuah sarana untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi, yaitu Allah. Dunia tidak boleh menjadi tujuan utama atau tempat mencari kepuasan pribadi, karena segala sesuatu di dunia ini hanya sementara. Sebaliknya, yang kekal adalah Allah.
- Syaikh Abdul Qadir al-Jilani, dalam karya-karyanya, mengingatkan bahwa segala bentuk pencapaian duniawi tidak akan pernah membawa kebahagiaan sejati kecuali jika diarahkan untuk ridha Allah.
Pencapaian Makrifatullah (Pengenalan terhadap Allah): Para sufi percaya bahwa tujuan akhir kehidupan manusia adalah untuk mencapai makrifatullah, yaitu pengenalan hakiki terhadap Allah. Dengan mencapai makrifat ini, seseorang akan mengetahui bahwa Allah adalah satu-satunya tujuan sejati dalam hidup, dan segala yang lain hanya jalan menuju-Nya.
Penerapan dalam Kehidupan Seorang Sufi:
- Amal dengan niat tulus: Seorang sufi akan selalu mengarahkan niat dan amalnya hanya untuk Allah, bukan untuk pujian manusia atau keinginan duniawi lainnya.
- Menghindari kepentingan pribadi: Para sufi berusaha untuk menanggalkan segala bentuk keinginan egois dan memusatkan hati dan pikiran mereka hanya pada Allah.
- Pergeseran fokus hidup: Dalam setiap tindakan, seorang sufi berusaha untuk menyadari bahwa dunia ini hanya sementara dan tidak ada yang lebih penting daripada berusaha mencapai ridha Allah.
Contoh Kutipan dalam Karya Sufi:
Ibn 'Arabi dalam al-Futūḥāt al-Makkiyyah menulis:
"Tidak ada tujuan yang lebih tinggi daripada mengenal Allah, dan segala sesuatu di dunia ini hanya alat untuk mencapai tujuan tersebut."
Imam al-Ghazali dalam Iḥyā' ‘Ulūm al-Dīn menegaskan:
"Hidup ini adalah perjalanan menuju Allah, dan setiap amal yang kita lakukan harus diarahkan untuk mencari ridha-Nya. Tiada tujuan selain Allah."
Rumi dalam Masnavi berkata:
"Segala pencarian kita hanyalah untuk Allah, walaupun terkadang kita tidak menyadarinya. Semua tujuan kita pada akhirnya mengarah kepada-Nya."
Kesimpulan:
Kalimat "Lā maqsūdā illā Allāh" mengandung makna yang sangat mendalam dalam ajaran tasawuf. Ini mengingatkan seorang sufi bahwa tujuan sejati hidup adalah Allah semata. Semua amal dan usaha dalam hidup harus diarahkan untuk mencapai keridhaan Allah. Dalam jalan tasawuf, seorang salik berusaha untuk menanggalkan segala keinginan egois dan menghentikan pencarian-pencarian duniawi yang tidak berkaitan dengan Allah. Dalam setiap aspek kehidupan, hanya Allah yang menjadi tujuan akhir yang hakiki.
Lā ilāha illā Allāh, Lā mathlūba illā Allāh
Makna: "Tiada Tuhan selain Allah, tiada yang dicari selain Allah."
Penjelasan Sufi:
Dalam pandangan sufi, kalimat "Lā mathlūba illā Allāh" mengungkapkan bahwa segala bentuk pencarian seorang hamba seharusnya hanya ditujukan kepada Allah. Tidak ada yang lebih layak untuk dicari selain Allah, baik dalam kehidupan duniawi maupun dalam perjalanan spiritual.
Makna Dalam Tasawuf:
Seorang sufi memahami bahwa seluruh perjalanan hidup adalah pencarian hakiki untuk Allah, baik itu dalam bentuk ibadah, dzikir, atau perbuatan sehari-hari. Semua usaha dan amal yang dilakukan seharusnya dilandasi oleh niat untuk mendekatkan diri kepada Allah semata, bukan untuk tujuan selain-Nya.
Dalam ajaran tasawuf, pencarian duniawi atau ambisi pribadi yang tidak sesuai dengan kehendak Allah dianggap sebagai sesuatu yang sia-sia. Seorang sufi akan selalu berusaha untuk membersihkan niat dalam setiap pencarian dan hanya mencari Allah dalam setiap aspek kehidupannya.
"Lā mathlūba illā Allāh" mengingatkan seorang hamba bahwa segala yang dicari di dunia ini—baik itu kebahagiaan, kesuksesan, kedamaian, atau bahkan pengetahuan—seharusnya hanya dicari dalam konteks hubungan dengan Allah. Dengan demikian, semua pencarian, keinginan, dan tujuan hidup seorang hamba hanya bermuara pada satu titik: mendekatkan diri kepada Allah dan mendapatkan keridhaan-Nya.
Pandangan Sufi tentang Pencarian Sejati:
Para sufi mengajarkan bahwa pencarian sejati bukanlah tentang mencari hal-hal duniawi yang bersifat sementara. Sebaliknya, itu adalah pencarian kepada Allah yang abadi. Seorang salik (penempuh jalan spiritual) harus mengarahkan seluruh kehidupannya untuk mencari Allah, yang berarti ia harus melepaskan segala bentuk keterikatan pada dunia dan hanya berfokus pada Allah sebagai tujuan utama.
Kesimpulan untuk "Lā Mathlūba illā Allāh":
Kalimat "Lā mathlūba illā Allāh" mengajarkan bahwa pencarian sejati dalam hidup ini adalah pencarian kepada Allah, dan segala hal yang dicari selain-Nya adalah ilusi atau penyimpangan. Dalam perspektif tasawuf, ini adalah pengingat bagi seorang hamba untuk tidak tergoda oleh keinginan duniawi atau ambisi pribadi yang tidak sejalan dengan kehendak Allah. Seorang sufi berusaha untuk membersihkan niat dan menjadikan Allah satu-satunya yang dicari dalam setiap langkah kehidupannya.
Kalimat "لَا مَطْلُوبَ إِلَّا اللَّهُ" (Lā maṭlūba illā Allāh) mengandung makna yang sangat mendalam dalam ajaran tasawuf. Secara harfiah, kalimat ini berarti "Tidak ada yang dicari selain Allah." Kalimat ini berfokus pada konsep bahwa dalam pandangan sufi, segala bentuk permintaan, harapan, dan kebutuhan yang sesungguhnya adalah untuk Allah semata, karena Dia adalah sumber segala sesuatu.
Makna dalam Perspektif Tasawuf:
Mencari Allah Sebagai Tujuan Utama:
- Dalam ajaran tasawuf, segala permintaan atau keinginan seorang hamba harus diarahkan kepada Allah sebagai satu-satunya yang dapat memenuhi kebutuhan sejati. Ini berarti bahwa seorang sufi harus mengalihkan segala bentuk pengharapan dan permintaan dari selain Allah kepada-Nya.
- Ibnu 'Arabi mengajarkan bahwa segala yang ada di dunia ini pada hakikatnya adalah perwujudan dari kehendak Allah, sehingga seorang hamba yang telah mencapai kesadaran ini tidak akan lagi meminta atau mencari sesuatu selain dari Allah.
Pencarian akan Allah adalah Tujuan Utama:
- Seorang sufi berusaha untuk memurnikan niat dan tindakan mereka agar hanya untuk meraih keridhaan Allah. Mereka percaya bahwa keinginan duniawi adalah sementara dan tidak dapat memenuhi kebutuhan rohani yang lebih dalam. Oleh karena itu, Allah adalah satu-satunya yang layak diminta, baik dalam hal dunia maupun akhirat.
- Dalam pandangan sufi, segala hal selain Allah hanya akan membawa seseorang lebih jauh dari tujuan yang sejati. Oleh karena itu, hati yang ikhlas akan senantiasa menuntut Allah sebagai tujuan tunggal mereka.
Kebergantungan Mutlak pada Allah:
- "Lā maṭlūba illā Allāh" mengandung makna kebergantungan mutlak kepada Allah. Para sufi mengajarkan bahwa dalam segala aspek kehidupan, seorang hamba tidak boleh tergantung pada selain Allah, baik dalam hal rezeki, keselamatan, kesuksesan, ataupun kebahagiaan. Semua itu hanya berasal dari Allah, dan hanya Dia yang memiliki kuasa untuk memberikan atau menahan segala sesuatu.
- Syaikh Abdul Qadir al-Jilani mengajarkan bahwa, "Ketika seorang hamba menyerahkan segala keinginannya kepada Allah, dia akan menemukan bahwa Allah adalah segala-galanya."
Menghapuskan Kebutuhan Duniawi:
- Dalam tasawuf, seorang sufi berusaha untuk menghapuskan keinginan duniawi dan kebutuhan ego. Dengan mengucapkan kalimat "Lā maṭlūba illā Allāh," mereka mengingatkan diri mereka bahwa Allah adalah satu-satunya yang memberikan kebahagiaan sejati. Oleh karena itu, mereka menghindari keinginan akan penghormatan, kekayaan, atau status sosial, karena semua itu sementara dan tidak dapat memberikan kepuasan sejati.
- Imam al-Ghazali dalam Iḥyā' 'Ulūm al-Dīn menyatakan bahwa seseorang yang benar-benar memahami prinsip ini akan menyadari bahwa hanya Allah yang layak diminta dalam segala hal, baik itu kebutuhan fisik maupun spiritual.
Penyatuan dengan Allah dalam Doa dan Ibadah:
- Para sufi meyakini bahwa doa dan ibadah mereka harus dilakukan dengan penuh kesadaran bahwa mereka hanya meminta kepada Allah. Tidak ada tujuan lain dalam ibadah selain mendekatkan diri kepada-Nya. Dalam doa, seorang sufi tidak hanya meminta hal-hal duniawi, tetapi mereka memohon pengenalan kepada Allah yang lebih dalam, agar bisa merasakan kehadiran-Nya dalam setiap aspek hidup mereka.
- Rumi dalam Divan-i Shams-i Tabrizi berkata:
"Aku tidak meminta dunia ini dari-Mu, Ya Tuhan, karena aku tahu bahwa hanya dengan Engkau, aku akan memperoleh segala yang aku butuhkan."
Praktik Sufi dalam Kehidupan Sehari-hari:
Ibadah dengan Fokus kepada Allah:
- Seorang sufi akan menjalani ibadah dengan penuh kesadaran bahwa tujuannya hanya Allah. Mereka tidak mengharapkan sesuatu selain keridhaan dan kedekatan dengan Allah.
- Dalam sholat, doa, atau dzikir, mereka menginginkan pembebasan dari segala ikatan duniawi dan hanya berharap pada rahmat dan kasih sayang Allah.
Menghindari Bergantung pada Sesama Makhluk:
- Para sufi mengajarkan untuk tidak tergantung pada makhluk dalam segala aspek kehidupan. Meskipun mereka saling membantu satu sama lain, mereka menyadari bahwa segala bantuan sejati hanya datang dari Allah. Oleh karena itu, mereka berusaha untuk tidak menggantungkan harapan mereka pada selain Allah, baik itu orang lain, kekayaan, atau kekuasaan.
Mengubah Niat dan Motif dalam Setiap Tindakan:
- Para sufi akan berusaha untuk mengubah niat dan motif mereka dalam setiap tindakan mereka, apakah itu dalam pekerjaan, hubungan sosial, atau segala aspek kehidupan. "Lā maṭlūba illā Allāh" menjadi prinsip dalam setiap aspek hidup mereka, memastikan bahwa segala amal mereka tidak terpengaruh oleh motif duniawi tetapi semata-mata untuk mendapatkan ridha Allah.
Kutipan-Kutipan dari Para Sufi:
Syaikh al-Akbar Ibn 'Arabi mengatakan:
"Allah adalah satu-satunya yang layak diminta, karena hanya Dia yang mengatur segala sesuatu, dan tidak ada yang dapat memenuhi kebutuhan kita selain-Nya."
Imam al-Ghazali dalam Iḥyā' ‘Ulūm al-Dīn berkata:
"Setiap permintaan kita yang benar adalah permintaan kepada Allah. Hanya kepada-Nya kita berharap, karena hanya Allah yang dapat memberikan apa yang kita butuhkan."
Rumi juga menyatakan dalam Masnavi:
"Jika Anda mencari selain Allah, Anda akan selalu merasa kosong. Karena yang Anda cari adalah Allah, yang ada di dalam setiap keresahan dan kebahagiaan."
Kesimpulan:
Kalimat "Lā maṭlūba illā Allāh" mengajarkan bahwa dalam pandangan tasawuf, segala bentuk permintaan dan pengharapan hanya layak ditujukan kepada Allah. Para sufi menekankan untuk menghindari bergantung pada makhluk dan hanya mengharapkan rahmat dan pertolongan Allah dalam setiap aspek kehidupan. Ini adalah pengingat bahwa segala kebutuhan rohani dan duniawi hanya dapat dipenuhi oleh Allah, dan bahwa hati seorang salik (penempuh jalan Allah) seharusnya hanya berharap kepada-Nya.
Terima kasih atas klarifikasinya! Berikut adalah tambahan penjelasan untuk kalimat "Lā māwjūdā illā Allāh" dalam konteks kesimpulan sebelumnya:
Lā māwjūdā illā Allāh:
Makna:
"Tiada yang ada selain Allah."
Dalam ajaran tasawuf, kalimat ini mengandung pencerahan mendalam tentang hakikat wujud. Konsep ini merujuk pada keyakinan bahwa segala sesuatu yang ada di alam semesta tidak terlepas dari keberadaan Allah. Para sufi mengajarkan bahwa segala sesuatu yang tampak di dunia ini adalah manifestasi atau tampilan dari wujud Allah. Oleh karena itu, pada tingkat tertinggi kesadaran batin, seorang sufi menyadari bahwa Allah adalah satu-satunya yang ada secara sejati dan segala bentuk eksistensi lainnya adalah penampakan sementara atau ilusi.
Pandangan Sufi:
Dalam pandangan sufi, "Lā māwjūdā illā Allāh" menggambarkan kedalaman pemahaman bahwa segala sesuatu yang kita lihat dan alami, baik yang bersifat fisik maupun non-fisik, pada hakikatnya adalah ciptaan Allah. Bahkan seluruh alam semesta ini tidak lepas dari wujud Allah yang menghidupkan dan mengatur segala-galanya. Semuanya adalah manifestasi dari kehendak dan kekuasaan Allah.
Seorang sufi yang mencapai pemahaman ini akan menyadari bahwa tidak ada realitas selain Allah. Semua yang ada adalah bayangan atau refleksi dari wujud-Nya, dan bahkan ketika seseorang mengamati makhluk atau alam semesta, ia sebenarnya sedang melihat manifestasi dari sifat-sifat Allah yang tampak dalam ciptaan-Nya.
Contoh Pemahaman dalam Tasawuf:
Para sufi seperti Ibn Arabi mengajarkan bahwa wujud Allah adalah hakikat segala sesuatu, dan segala yang ada di dunia ini adalah "tampaknya" saja yang berasal dari wujud yang mutlak. Dalam konteks ini, kalimat "Lā māwjūdā illā Allāh" mengajak seorang hamba untuk melihat keberadaan dengan cara yang lebih dalam—yaitu menyadari Allah di balik segala ciptaan.
Kesimpulan dari Semua Kalimat:
- Lā ilāha illā Allāh menegaskan bahwa hanya Allah yang layak disembah.
- Lā ma'būda illā Allāh menunjukkan bahwa Allah adalah satu-satunya yang berhak menerima ibadah.
- Lā maqshūda illā Allāh mengingatkan bahwa Allah adalah tujuan akhir hidup seorang hamba.
- Lā māwjūdā illā Allāh menegaskan bahwa hanya Allah yang sejati ada dan segala yang lain adalah manifestasi dari wujud-Nya.
Secara keseluruhan, kalimat-kalimat ini menyarankan bahwa perjalanan spiritual seorang sufi adalah penyerahan penuh kepada Allah dalam semua aspek kehidupan, serta pengakuan bahwa Allah adalah satu-satunya wujud yang benar-benar ada. Dalam ajaran tasawuf, pengucapan kalimat ini membawa seorang hamba pada pencerahan dan kesadaran batin yang semakin mendalam tentang keesaan Allah yang mutlak.
Kalimat "لَا مَوْجُودَ إِلَّا اللَّهُ" (Lā mawjūdah illā Allāh) menurut persepsi para sufi memuat makna yang sangat dalam dan merupakan penegasan tentang tauhid yang murni dan absolut. Di dalam ajaran tasawuf, kalimat ini mencerminkan pemahaman tentang keesaan Allah dalam segala aspek kehidupan dan realitas. Para sufi, dengan pemahaman fana' (lenyapnya diri) dan baqa' (kekekalan dengan Allah), melihat segala yang ada di dunia ini sebagai bayangan dari wujud Allah yang sejati.
Makna dalam Perspektif Tasawuf:
Wujud Allah Sebagai Satu-satunya yang Hakiki:
- "Lā mawjūdah illā Allāh" menyiratkan bahwa hanya Allah yang benar-benar ada dengan eksistensi hakiki. Segala sesuatu selain Allah adalah sementara dan bergantung pada-Nya. Ini adalah penekanan atas konsep tauhid yang lebih mendalam, yaitu bahwa hanya Allah yang memiliki wujud yang mutlak dan kekal, sementara segala yang lain adalah fana dan bersifat ilusi.
Penyataan tentang Fana' (Lenyapnya Diri):
- Salah satu konsep utama dalam tasawuf adalah fana', yaitu lenyapnya ego dan keakuan seseorang sehingga dia hanya melihat Allah dalam segala hal. Dalam pandangan sufi, segala yang ada selain Allah adalah ilusi yang tidak memiliki eksistensi sejati. Dalam keadaan fana', seorang salik (penempuh jalan Allah) menyadari bahwa dirinya sendiri tidak ada selain Allah.
- Syaikh al-Junayd berkata: “Fana' adalah ketika seseorang tidak lagi melihat adanya selain Allah dalam segala sesuatu.”
- Salah satu konsep utama dalam tasawuf adalah fana', yaitu lenyapnya ego dan keakuan seseorang sehingga dia hanya melihat Allah dalam segala hal. Dalam pandangan sufi, segala yang ada selain Allah adalah ilusi yang tidak memiliki eksistensi sejati. Dalam keadaan fana', seorang salik (penempuh jalan Allah) menyadari bahwa dirinya sendiri tidak ada selain Allah.
Manifestasi Allah dalam Segala Sesuatu:
- Para sufi memahami dunia sebagai manifestasi dari sifat Allah. Artinya, meskipun segala sesuatu tampak berbeda-beda, sesungguhnya semua itu adalah tanda-tanda atau bayangan dari wujud Allah. Inilah yang disebut sebagai tanzīl dan tajallī—penurunan dan perwujudan cahaya-Nya dalam bentuk makhluk-Nya.
- Ibn ‘Arabi, dalam karya-karyanya seperti al-Futūḥāt al-Makkiyyah, menyatakan bahwa “tidak ada yang ada selain Allah”. Semua wujud selain Allah hanyalah perwujudan dari sifat-Nya, dan dengan demikian, segala yang ada adalah "pencitraan" atau "bayangan" Allah.
"Yang tampak dalam dunia ini hanyalah bayangan dari hakikat yang abadi, yaitu Allah."
Kehidupan Duniawi Sebagai Kegilaan Semata:
- Dalam pandangan sufi, jika seseorang hanya fokus pada dunia yang sementara dan materi, ia akan terperangkap dalam ilusi. Dunia ini hanyalah perjalanan sementara menuju Allah, dan pemahaman tentang "lāmāwjūdah illā Allāh" mengingatkan bahwa Allah adalah satu-satunya tujuan yang hakiki.
- Imam al-Ghazali menegaskan bahwa dunia hanyalah pencapaian sementara menuju kenyataan hakiki yang hanya ditemukan dalam Allah.
“Dunia ini hanyalah bayangan dari hakikat yang hakiki, yang kita cari adalah Allah, karena hanya Dialah yang ada dan segala yang lain adalah fana.”
Penerapan dalam Kehidupan Seorang Sufi:
Berpaling dari selain Allah:
- Para sufi mengajarkan untuk berpaling dari selain Allah dan fokus hanya pada-Nya. Mereka menyadari bahwa segala yang ada di dunia ini adalah sementara dan tidak kekal, sedangkan Allah adalah satu-satunya yang kekal. Inilah yang mengarahkan mereka pada konsep tawakkul (berserah diri) kepada Allah sepenuhnya.
- Sufyan al-Thawri berkata: “Segala sesuatu yang kita kejar selain Allah, akan membawa kita semakin jauh dari-Nya. Hanya Allah yang layak dikejar dan dicari.”
Pengesahan Konsep Wujud Tuhan dalam Hati:
- Dalam perjalanan spiritual mereka, para sufi berusaha memurnikan hati mereka untuk melihat Allah dalam segala hal. Segala sesuatu yang ada di dunia ini hanya ada karena kehendak Allah. Dengan demikian, seorang sufi berusaha untuk melihat kehadiran Allah di balik setiap kejadian dan makhluk.
- Ibn ‘Aṭā'illāh berkata: "Jika hati telah dibersihkan, maka dia akan melihat Allah dalam setiap makhluk yang ada."
Contoh Kutipan dalam Karya Sufi:
Ibn ‘Arabi dalam al-Futūḥāt al-Makkiyyah:
“Segala sesuatu yang tampak dalam wujud alam ini adalah perwujudan dari sifat-sifat Tuhan. Tidak ada yang benar-benar ada kecuali Allah.”
Imam al-Ghazali dalam Iḥyā' ‘Ulūm al-Dīn menulis:
“Bila seseorang memahami bahwa segala yang ada hanya merupakan bayangan Allah, maka ia akan menyadari bahwa segala perbuatan dan keadaan ini adalah bagian dari takdir-Nya dan kita hanyalah hamba yang harus berserah pada-Nya.”
Kesimpulan:
"Lā mawjūdah illā Allāh" dalam pandangan para sufi menunjukkan bahwa hanya Allah yang benar-benar ada dan segala yang lain hanyalah bayangan atau manifestasi dari-Nya. Ini adalah inti dari tauhid yang murni, di mana seorang salik (penempuh jalan spiritual) berusaha untuk mencapai fana' (lenyapnya ego) dan melihat Allah dalam segala sesuatu. Dunia dan segala isinya hanyalah ilusi yang akan lenyap, sementara Allah adalah wujud yang abadi dan hakiki.
0 komentar:
Posting Komentar