Ucapan Salam Nabi Muhammad ﷺ kepada Allah Saat di Sidratul Muntaha
Dalam riwayat Mi’raj, disebutkan bahwa Rasulullah ﷺ mengucapkan salam kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala ketika beliau sampai di tempat tertinggi, yaitu Sidratul Muntaha. Lalu Allah menjawab salam itu, dan terjadilah dialog agung yang dikenal sebagai At-Tahiyyat dalam shalat kita.
Berikut riwayat ringkas dari ucapan salam tersebut:
Ucapan Salam dan Dialog di Sidratul Muntaha
Ketika Rasulullah ﷺ sampai di Sidratul Muntaha, beliau mengucapkan:
"At-Tahiyyatu lillahi, wash-shalawatu wat-thayyibat."
“Segala penghormatan, shalawat, dan kebaikan adalah milik Allah.”
Lalu Allah menjawab:
"As-salaamu ‘alaika ayyuhan-nabiyyu wa rahmatullaahi wa barakaatuh."
“Salam sejahtera atasmu wahai Nabi, beserta rahmat Allah dan keberkahan-Nya.”
Kemudian Rasulullah ﷺ menjawab sambil menyertakan umatnya:
"As-salaamu ‘alainaa wa ‘alaa ‘ibaadillaahish-shaalihiin."
“Salam keselamatan bagi kami dan bagi hamba-hamba Allah yang shalih.”
Lalu para malaikat bersaksi dan mengucapkan:
"Asyhadu an laa ilaaha illallaah, wa asyhadu anna Muhammadan rasuulullah."
Makna dalam Shalat
Dialog ini menjadi isi bacaan tasyahud dalam shalat (At-Tahiyyat), sebagai kenangan akan percakapan Nabi dengan Allah dalam perjalanan Mi’raj.
RIWAYAT HADITS
Riwayat hadits yang menyebutkan dialog antara Nabi Muhammad ﷺ dan Allah Ta‘ala di Sidratul Muntaha, yang menjadi dasar dari bacaan tasyahud (At-Tahiyyat) dalam shalat kita:
Hadits dari Abdullah bin Mas‘ud radhiyallahu ‘anhu
Riwayat ini terdapat dalam Shahih Muslim:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: "عَلَّمَنِي رَبِّي، وَقَالَ: التَّحِيَّاتُ لِلَّهِ وَالصَّلَوَاتُ وَالطَّيِّبَاتُ، قَالَ: السَّلَامُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُّ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ، قَالَ: السَّلَامُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللَّهِ الصَّالِحِينَ..."
(Shahih Muslim, no. 402)
Terjemahannya:
Dari Abdullah bin Mas‘ud radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:
Rasulullah ﷺ bersabda:
"Tuhanku mengajarkan kepadaku, dan Dia berfirman:
'At-tahiyyātu lillāh, was-shalawātu, wat-thayyibāt.'
Lalu Allah berfirman:
'As-salāmu ‘alaika ayyuhan-nabiyyu wa rahmatullāhi wa barakātuh.'
Maka aku menjawab:
'As-salāmu ‘alainā wa ‘alā ‘ibādillāhis-shālihīn.'..."
Catatan Ulama tentang Hadits Ini
- Imam Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim menyebut bahwa ini adalah dalil kuat bahwa bacaan tasyahud berasal dari Mi’raj dan disyari’atkan langsung oleh Allah.
- Ibnu Hajar al-Asqalani juga menyebutkan hal ini dalam Fath al-Bari, menyatakan bahwa dialog ini adalah penghormatan antara Nabi dan Allah, dan menjadi bagian inti dari ritual shalat.
Makna Spiritual
- Kalimat “At-Tahiyyat lillah...” adalah ucapan Nabi ﷺ kepada Allah.
- Kalimat “As-salamu ‘alaika ayyuhan-nabiyyu...” adalah jawaban Allah kepada Nabi.
- Kalimat “As-salamu ‘alaina wa ‘ala ‘ibadillahis shalihin” adalah jawaban Nabi ﷺ, sekaligus bentuk doa untuk seluruh umat Islam yang shalih.
Berikut ini adalah riwayat hadits yang menyebutkan dialog antara Nabi Muhammad ﷺ dan Allah Ta‘ala di Sidratul Muntaha, yang menjadi dasar dari bacaan tasyahud (At-Tahiyyat) dalam shalat kita:
Hadits dari Abdullah bin Mas‘ud radhiyallahu ‘anhu
Riwayat ini terdapat dalam Shahih Muslim:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: "عَلَّمَنِي رَبِّي، وَقَالَ: التَّحِيَّاتُ لِلَّهِ وَالصَّلَوَاتُ وَالطَّيِّبَاتُ، قَالَ: السَّلَامُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُّ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ، قَالَ: السَّلَامُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللَّهِ الصَّالِحِينَ..."
(Shahih Muslim, no. 402)
Terjemahannya:
Dari Abdullah bin Mas‘ud radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:
Rasulullah ﷺ bersabda:
"Tuhanku mengajarkan kepadaku, dan Dia berfirman:
'At-tahiyyātu lillāh, was-shalawātu, wat-thayyibāt.'
Lalu Allah berfirman:
'As-salāmu ‘alaika ayyuhan-nabiyyu wa rahmatullāhi wa barakātuh.'
Maka aku menjawab:
'As-salāmu ‘alainā wa ‘alā ‘ibādillāhis-shālihīn.'..."
Catatan Ulama tentang Hadits Ini
- Imam Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim menyebut bahwa ini adalah dalil kuat bahwa bacaan tasyahud berasal dari Mi’raj dan disyari’atkan langsung oleh Allah.
- Ibnu Hajar al-Asqalani juga menyebutkan hal ini dalam Fath al-Bari, menyatakan bahwa dialog ini adalah penghormatan antara Nabi dan Allah, dan menjadi bagian inti dari ritual shalat.
Makna Spiritual
- Kalimat “At-Tahiyyat lillah...” adalah ucapan Nabi ﷺ kepada Allah.
- Kalimat “As-salamu ‘alaika ayyuhan-nabiyyu...” adalah jawaban Allah kepada Nabi.
- Kalimat “As-salamu ‘alaina wa ‘ala ‘ibadillahis shalihin” adalah jawaban Nabi ﷺ, sekaligus bentuk doa untuk seluruh umat Islam yang shalih.
Penjelasan Tiap Kalimat Dalam Dialog Mi’raj
(At-Tahiyyat) menurut pendekatan tasawuf dan makna batiniah, sebagaimana disampaikan oleh para ulama tasawuf seperti Imam Al-Ghazali, Imam Al-Qusyairi, dan para arif billah.
1. "At-Tahiyyātu lillāh"
Makna lahir: Segala bentuk penghormatan, salam, dan pujian hanyalah untuk Allah.
Makna batin/tasawuf:
Ini adalah tahapan fana’ (melebur diri), di mana Nabi ﷺ menyatakan bahwa semua bentuk kehormatan, bahkan ucapan Nabi sendiri, bukan untuk diri beliau, melainkan ditujukan hanya kepada Allah.
Dalam maqam ini, seorang arif sejati menyadari bahwa dirinya bukan pemilik dari ucapan, amal, atau ibadah—semuanya milik Allah.
2. "Was-shalawātu wat-thayyibāt"
Makna lahir: Segala shalat dan kebaikan adalah milik Allah.
Makna batin:
Shalat bukan hanya gerakan fisik, tapi juga perjalanan ruh ke hadirat Allah.
Kata “thayyibāt” berarti segala amal yang bersih dan suci—dan hakikatnya, tidak ada kebaikan murni selain yang berasal dari Allah dan kembali kepada-Nya.
Arif billah menyadari bahwa semua amal saleh yang tampak dari dirinya adalah pancaran dari cahaya Ilahi, bukan karena kekuatan dirinya.
3. "As-salāmu ‘alaika ayyuhan-nabiyyu wa rahmatullāhi wa barakātuh"
Makna lahir: Salam sejahtera atasmu, wahai Nabi, serta rahmat dan berkah Allah.
Makna batin:
Ini adalah jawaban Allah atas salam Rasulullah, dan isyarat bahwa seorang hamba yang sampai ke hadirat-Nya akan disambut langsung oleh Cahaya Kasih Sayang-Nya (rahmah).
Dalam maqam ini, Nabi Muhammad ﷺ tidak lagi hanya menjadi hamba, tetapi juga diberi salam oleh Tuhan, yang menunjukkan maqam maqbuliyyah (kedekatan dan penerimaan sempurna).
4. "As-salāmu ‘alainā wa ‘alā ‘ibādillāhis-shāliḥīn"
Makna lahir: Salam keselamatan bagi kami dan hamba-hamba Allah yang shalih.
Makna batin:
Ini adalah maqam kembali dari fana’ menuju baqa’, di mana Rasulullah ﷺ tidak hanya memikirkan dirinya, tapi juga mengingat umatnya dan para wali Allah.
Dalam tasawuf, ini disebut maqam kamil (kesempurnaan), yaitu hamba yang telah menyatu dengan Allah, tapi tetap menebar rahmat dan salam kepada makhluk.
5. "Asyhadu an lā ilāha illallāh wa asyhadu anna Muhammadan rasūlullāh"
Makna lahir: Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah, dan Muhammad adalah utusan Allah.
Makna batin:
Ini adalah penegasan kembali tauhid dan kenabian—dua puncak kesempurnaan.
Dalam maqam batin, syahadat bukan hanya lisan, tapi penyaksian ruh terhadap wujud hakiki Allah dan kerasulan Muhammad ﷺ, sebagai cermin kesempurnaan Insan Kamil.
Kesimpulan Tasawuf
- Dialog ini adalah percakapan ruhani antara hamba yang telah fana’ dengan Tuhan-nya.
- Dalam shalat, ketika membaca At-Tahiyyat, seorang salik (penempuh jalan Allah) hendaknya merasakan seolah-olah ia sedang bermi’raj.
- Para sufi berkata:
“As-shalāh mi‘rājul mu’min.”
Shalat adalah mi’rajnya orang beriman.
Penjelasan Dialog Mi’raj (At-Tahiyyat)
Penjelasan dialog Mi’raj (At-Tahiyyat) berdasarkan kutipan dan pendekatan kitab-kitab sufi besar, dimulai dari Imam Al-Ghazali, Al-Qusyairi, dan Ibnu Arabi, serta dikaitkan dengan maqamat (tahapan ruhaniyah).
1. "At-Tahiyyātu lillāh..." — [Kitab Ihya’ Ulumuddin, Imam Al-Ghazali]
Kutipan:
Imam Al-Ghazali dalam Ihya’, Kitab Shalat menyebut bahwa:
“Ucapan tahiyyat ini bukan hanya ungkapan hormat, tapi ikrar fana-nya kehormatan makhluk kepada Zat yang Maha Sempurna.”
Makna tasawuf:
Ini adalah maqam takhalli (mengosongkan diri dari segala selain Allah). Seorang arif akan melepas ego, jabatan, pujian, dan amal, sebab semua "kehormatan" adalah semu jika bukan kepada Allah.
2. "Was-shalawātu wat-thayyibāt..." — [Risalah Qusyairiyah]
Kutipan:
Dalam Risalah Qusyairiyah, Imam Al-Qusyairi menjelaskan bahwa:
“Segala amal yang baik, bila tidak disucikan oleh niat karena Allah, tidak thayyib. Dan tidak akan sampai ke hadirat-Nya kecuali amal yang thayyib.”
Makna tasawuf:
Maqam ini adalah tahalli (menghiasi diri dengan amal saleh). Tapi para arif menekankan: amal itu bukan karena kita, tapi karunia dari Allah. Maka bahkan amal pun "dikembalikan" kepada-Nya. Seolah Nabi berkata, "Ya Allah, shalatku dan semua kebaikanku hanyalah milik-Mu."
3. "As-salāmu ‘alaika ayyuhan-nabiyyu..." — [Futuhat al-Makkiyyah, Ibnu ‘Arabi]
Kutipan:
Ibnu ‘Arabi berkata dalam Futuhat:
“Salam Allah kepada Nabi adalah bentuk tajalli (penampakan) cinta ilahiyah kepada insan kamil, di maqam pengakuan langsung oleh Zat Yang Maha Tinggi.”
Makna tasawuf:
Ini maqam tajalli wa musyahadah—penyingkapan hijab. Rasulullah ﷺ disapa langsung oleh Allah, tanpa perantara. Dalam jalan ruhani, ini maqam kedekatan sempurna (maqam qurb), di mana hamba diselimuti salam, rahmat, dan berkah Ilahi.
4. "As-salāmu ‘alainā wa ‘alā ‘ibādillāhis-shāliḥīn..." — [Manāzil al-Sā’irīn, Imam Al-Harawi]
Kutipan:
Al-Harawi menyebut dalam kitabnya:
“Maqam tertinggi bukan hanya ketika seorang salik bersatu dalam cintanya kepada Allah, tetapi ketika dia kembali dari ‘suluk’-nya dan mendoakan umat.”
Makna tasawuf:
Ini maqam baqā’ setelah fana’, kembali ke dunia dengan misi. Seorang nabi atau wali sejati tak hanya mabuk dalam cinta, tapi berbagi rahmat untuk seluruh alam. Maka Nabi ﷺ, meski berada di hadirat Allah, tidak melupakan umatnya.
5. "Asyhadu an lā ilāha illallāh..." — [Al-Hikam Ibn ‘Atha’illah & Futuhat]
Kutipan:
Ibnu Atha’illah dalam Al-Hikam menyatakan:
“Jangan engkau mengira bahwa syahadat adalah sekadar kata-kata. Itu adalah nur (cahaya) yang menyinari hati, menyaksikan tiadanya wujud hakiki kecuali Allah.”
Ibnu Arabi menambahkan:
“Syahadat itu maqam tauhid haqiqi—pemusnahan segala selain Allah dalam pandangan batin.”
Makna tasawuf:
Syahadat adalah penyaksian batin, bukan sekadar lisan. Ketika Nabi ﷺ bersaksi atas keesaan Allah, itu bukan dalam keraguan, tapi dari puncak penyaksian ruhani tertinggi—karena beliau telah “melihat” tanda-tanda Allah dengan mata hati dan cahaya basirah.
0 komentar:
Posting Komentar