Mi’raj dalam mimpi dan kasyf menurut para sufi, serta hubungan antara tajalli dan ilham dalam maqam kenabian dan kewalian:
I. MI’RAJ DALAM MIMPI DAN KASYF MENURUT PARA SUFI
1. Mi’raj dalam Mimpi:
Para sufi memandang bahwa mimpi bukan sekadar bunga tidur, melainkan salah satu saluran ruhani bagi hamba Allah yang Jujur dan Dekat kepada-Nya.
Nabi ﷺ bersabda:
الرؤيا الصالحة جزء من ستة وأربعين جزءا من النبوة
“Mimpi yang benar adalah satu bagian dari 40 bagian kenabian.”
(HR. Bukhari, Muslim)
a. Pandangan para sufi:
- Imam al-Ghazali: Dalam al-Munqidz min ad-Dhalal, ia menyebut bahwa mi’raj batin bisa terjadi dalam mimpi yang jernih jika hati telah disucikan.
- Sahl at-Tustari: Mimpi menjadi salah satu jendela ke alam malakut, tempat ruh bisa berjumpa dengan cahaya para nabi, para wali, bahkan mengalami syuhud atau penyaksian batin.
b. Mi’raj mimpi sebagai latihan batin:
Mi’raj dalam mimpi bagi para salik adalah simulasi ruhani, latihan jiwa dalam meninggalkan alam jasad menuju alam ruh.
2. Mi’raj melalui Kasyf (Penyingkapan):
Kasyf adalah terbukanya tabir antara alam nyata dan batin, sebuah pengalaman penyaksian hakikat melalui cahaya dari Allah.
Ibnu Arabi berkata:
“Kasyf bukan hasil usaha hamba, tapi anugerah dari Allah kepada hati yang telah suci dari dunia dan hawa nafsu.”
Kasyf terbagi dua:
- Kasyf Bashirah: Penyingkapan makna (rahasia ayat, sifat Allah, dll.)
- Kasyf Bashar: Penyingkapan dalam bentuk visual ruhani (melihat cahaya, malaikat, dll.)
Dalam kasyf, seorang sufi bisa mengalami perjalanan ruhani (mi’raj) tanpa berpindah tempat jasad, seperti Nabi ﷺ saat Isra’-Mi’raj, tapi dengan kadar yang jauh lebih kecil.
II. HUBUNGAN TAJALLI DAN ILHAM DALAM MAQAM KENABIAN & KEWALIAN
1. TAJALLI (Penampakan Ilahi):
- Dalam kenabian: Tajalli berupa wahyu, langsung dari Allah, melalui malaikat atau langsung ke hati nabi.
- Dalam kewalian: Tajalli berupa ilham, yaitu cahaya pengetahuan yang muncul di hati wali melalui pembersihan jiwa.
Perbedaan:
Aspek | Kenabian | Kewalian |
---|---|---|
Tajalli | Wahyu dengan amanah syariat | Ilham tanpa syariat baru |
Bentuk | Jelas, tegas, tidak multi-tafsir | Kadang bersifat simbolik atau isyarat |
Fungsi | Untuk umat | Untuk pribadi atau lingkup terbatas |
2. ILHAM:
Ilham berasal dari kata alhama yang berarti “menanamkan dalam hati”.
QS Asy-Syams: 8
فَأَلْهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقْوَاهَا
“Lalu Allah ilhamkan kepada jiwa itu kefasikan dan ketakwaannya.”
Para sufi seperti:
- Imam al-Qusyairi dalam Risalah Qusyairiyyah menyebut ilham sebagai karunia Allah kepada orang yang jujur dalam suluk.
- Abu Yazid al-Busthami berkata:
“Ilham datang saat akal tunduk, nafsu mati, dan ruh menyaksikan Rabb-nya.”
3. Kenabian vs. Kewalian menurut Ibnu Arabi:
- Kenabian telah berakhir dengan Nabi Muhammad ﷺ.
- Kewalian tetap ada, dan para wali mewarisi warisan ruhani dari Nabi: makrifat, tajalli, dan batin syariat.
- Tapi tidak ada syariat baru, hanya penyaksian baru terhadap yang sudah ada.
Kesimpulan Ringkas:
Aspek | Mi’raj Mimpi | Mi’raj Kasyf | Tajalli | Ilham |
---|---|---|---|---|
Akses | Hamba yang ikhlas dan jujur | Salik dengan penyucian jiwa | Cahaya kehadiran Allah | Pengetahuan batin |
Tujuan | Simulasi spiritual | Perjalanan ruhani hakiki | Penyaksian Dzat/Sifat | Bimbingan ruhani |
Derajat | Bagian dari nubuwah | Jalan para wali | Bukan hasil usaha | Warisan dari cahaya nabi |
Apakah Mi’raj batin, tajalli, dan maqam-maqam sufi bisa dijelaskan atau dicapai hanya dengan pemahaman akal dari tulisan?
Jawabannya dalam tasawuf adalah:
Bisa dijelaskan, tetapi tidak bisa dicapai hanya dengan akal dan tulisan.
1. Bisa Dijelaskan dengan Tulisan, Tapi Hanya Sebatas Isyarat
Para sufi seperti Abu Yazid al-Busthami, Imam al-Ghazali, dan Ibnu Arabi menekankan bahwa:
“Tulisan adalah pintu, bukan rumah.”
“Kalam (ucapan) hanya isyarat kepada sesuatu yang tidak bisa ditangkap kecuali dengan rasa (dzauq).”
Contohnya: Anda bisa membaca tentang rasa madu sebanyak apa pun, tapi Anda tidak akan tahu rasa madu sampai mencicipinya.
Begitu pula, tajalli, fana’, dan musyahadah adalah hal yang bisa dibicarakan, tetapi hanya bisa dipahami secara sejati melalui pengalaman ruhani langsung.
2. Tidak Bisa Dicapai Hanya dengan Akal dan Bacaan
Dalam tasawuf, akal berfungsi sebagai alat awal untuk menimbang dan memahami syariat dan jalan. Tapi untuk naik ke maqam-maqam ruhani, dibutuhkan:
- Dzikir dan muraqabah (kesadaran terhadap Allah)
- Suluk (perjalanan spiritual dengan bimbingan mursyid)
- Tazkiyatun nafs (penyucian jiwa)
Akal dan bacaan hanya seperti peta, tapi perjalanan menempuh realitas (haqiqah) hanya bisa dilakukan dengan hati yang bersih dan latihan ruhani.
3. Penjelasan Ibnu Arabi & Al-Ghazali:
Ibnu Arabi dalam Futuhat al-Makkiyyah mengatakan:
“Ilmu yang diwariskan dari para nabi tidak ditangkap oleh logika dan kata, tetapi disingkap oleh cahaya dalam dada.”
Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumiddin mengatakan:
“Orang awam memahami dari tulisan, orang berilmu memahami dari akal, dan para wali memahami dari rasa (dzauq) dan cahaya Allah di dalam hati mereka.”
4. Penyeimbangnya: Menjaga Syariat dan Berdoa
Tasawuf bukan menolak akal dan ilmu, tapi menekankan bahwa:
Ilmu (tulisan dan akal) adalah jalan masuk,
amal (ibadah & dzikir) adalah kendaraan,
dan cahaya (nur) Allah-lah yang menjadi penuntun menuju maqam-maqam itu.
0 komentar:
Posting Komentar